MEMBELI sekeranjang buah dan memesan sepiring soto dengan secangkir teh manis dilakukan sambil bergoyang. Bukan kami, pembeli dan penjual, yang bergoyang sendiri, tapi tempat kami bertransaksi, jukung dan klotok, yang bergoyang karena riak Sungai Martapura.
Bustam, perempuan yang saya kira berumur 40 tahun, mendekati klotok yang kami tumpangi dengan jukung-nya. Wajahnya yang tersisa oleh lingkaran jilbab dipolesi bedak beras untuk menamengi kulitnya dari terik matahari.
Kedua tangannya cekatan mengayuh dan mengipas-ngipas pendayung untuk memutar arah jukung, nama untuk perahu kecil di Banjarmasin. Sedangkan klotok adalah nama untuk perahu yang lebih besar dan beratap yang bisa membawa penumpang hingga 20 orang.
Ketika jukungnya merapat, ia menjangkau dinding klotok dan berpegangan dengan tangan kirinya.
Ia menawarkan aneka buah yang dijualnya di atas perahunya. Hanya ada dia dan buah-buahan di depannya di perahu sepanjang empat meter itu. Ada mangga, pisang, sankis lokal, dan jeruk.
Oh, ada juga ikan kecil kering. Keranjang anyaman pandan yang kecil tersedia untuk kantongnya. Real, di sini tidak butuh kampanye anti katong plastik untuk belanjaan.
Meski perempuan, ia menyebut di depan namanya “haji”, bukan “hajah”, sebutan yang biasa untuk perempuan muslim yang sudah berhaji.
"Saya tiga tahun jadi TKI di Arab Saudi, balik lagi ke sini sejak enam bulan lalu,” katanya ketika saya tanya dari pinggir klotok di dekat perahunya.
Mungkin melihat saya sedikit melongo mendengar kisah, ia melanjutkan.
“Sejak sebulan lalu saya jadi pedagang lagi di sini karena pasarnya makin ramai oleh turis, dulu nggak ada turis, paling yang beli orang di sekitar sini saja," ujarnya.
Bustam dari puluhan pedagang perempuan di Pasar Terapung Lok Baintan. Mereka adalah perempuan-perempuan Banjar. Saya langsung teringat perempuan Banjar pertama yang saya kenal, teman satu kampus ketika kuliah yang berasal dari Riau. Ingatan saya adalah, perempuan cantik yang ramah. Menyenangkan.
Itulah yang saya temui hari ini, perempuan-perempuan ramah yang cekatan, meski cantik itu relatif dan subjektif.
Mereka dengan cekatan mendayung sendiri perahunya di atas Sungai Martapura yang besar dan berwarna coklat muda, membawa dagangan dari rumah dan memburu pembeli dari satu klotok ke klotok berikutnya. Menawarkan dagangan dengan ramah.
Menurut Monalia, sekitar 50 tahun, setiap hari ia berjualan di satu tempat di sungai ini yang disebut Pasar Lok Baintan.
Rumahnya terletak arah ke hulu setengah jam dari lokasi pasar. Ia membawa jeruk sunkis dari kebun sendiri dan buah-buahan lainnya yang dibeli ke tetangga pada malam hari.
Monalia datang dengan mendayung sendiri perahunya. Tidak berat, karena menghiliri sungai. Ketika hendak pulang perahunya bersama perahu pedagang lainnya ditarik klotok dengan sewa Rp2.000.
PASAR KHAS KALSEL
Pasar terapung adalah pasar tradisional khas Kalimantan Selatan. Foto-foto pasar ini terkenal memperlihatkan para perempuan dengan topi pandan bercaping lebar berjualan di atas perahu kecil.
Lebih terkenal lagi setelah sebuah stasiun televisi Jakarta menjadikan sebagai tayangan pembuka. Seorang perempuan pedagang di atas jukung tersenyum menyapa pemirsa dengan jempolnya.
Sebelumnya pasar terapung yang terkenal adalah Pasar Terapung Muara Kuin di Kota Banjarmasin. Pasar ini terletak di muara Sungai Kuin yang mengalir ke Sungai Barito. Sungai Barito merupakan sungai terbesar di Kalimantan Selatan dengan lebar sampai 1,2 km. Pasar ini sudah ada sejak Kesultanan Banjar pada abad ke-18.
Pasar terapung ini tercipta karena sungai-sungai merupakan jalur transportasi vital masyarakat Banjar. Boleh dikatakan akses utama adalah sungai dan kendaraannya adalah perahu dan kapal. Jalur darat sangat minim karena umumnya tanah bergambut dan berawa. Sedangkan rumah, warung, dan masjid terletak di pinggir dan menghadap sungai.
Namun seiring perkembangan pembangunan di darat, termasuk pembangunan pasar dan mall, Pasar Terapung Kuin yang terletak di pusat kota pun memudar. Pasar tempat pedagang perantara membeli hasil bumi dari pedagang pun mulai menyusut. Pasar ini semakin sedikit pedagang dan beraktivitas pun lebih pagi, dari Subuh hingga pukul 8 Waktu Indonesia Bagian Tengah. Hanya sekitar 2 jam.
Kemudian populerlah Pasar Terapung Lok Baintan. Sekarang pasar ini menjadi primadona bagi wisatawan untuk menikmati sensasi keunikan pasar terapung. Pasar tradisional ini diperkirakan juga sudah ada sejak Kesultanan Banjar pada abad ke-18. Cuma letaknya di Kabupaten Banjar di bagian hulu Sungai Martapura, sungai dengan badan terlebar 211 meter.
Karena tidak berada di pusat Kota Banjarmasin, kami yang menginap di sebuah hotel di Banjarmasin harus ke sana naik klotok selama 30 menit.
Sungai Martapura melewati Kota Banjarmasin, jadi untuk mencapai dermaga yang menyewakan klotok ke Pasar Lhok Baintan cukup dekat dari hotel. Kami pergi ke Warung Soto Ayam Bang Amat di Jalan Banua Anyar yang terletak di pinggir Sungai Martapura.
Di sana tersedia perahu bermesin atau klotok 26 PK. Klotok beratap rendah dan penumpang bisa duduk di atapnya ini berkapasitas 30 penumpang. Ini versi pemilik klotok, tapi saya baca di sebuah berita versi pemerintah kota maksimal muatan klotok yang dijamin asuransi adalah 20 orang.
Namun jangan heran, kita bisa menyewanya untuk menikmati Pasar Lok Baintan hanya Rp300 ribu. Ini tarif pergi, pulang, dan menikmati pasar lebih satu jam. Saya hanya menyewa untuk ditumpangi bertiga.
“Tapi turis asing lebih suka men-carter perahu yang lebih kecil dengan tarif separohnya,” kata Haji Amat, pemilik sekaligus operator klotok yang saya sewa.
JANGAN SAMPAI KESIANGAN
Jika Anda ingin menikmati suasana Pasar Lok Baintan, datanglah pagi sekali. Paling tidak pukul 5.30 WITA sudah berada di dermaga penyewaan klotok. Sebab Pasar Terapung Lok Baintan beraktivias mulai pukul 06.00 hingga 08.00 WITA.
Suasana pagi sangat mendukung pemotretan atau pengambilan gambar video, tentu saja jika cuaca cerah. Sembutan sunrise, meski terkadang posisi kita menghadap matahari terbit, justru bisa menambah sensani objek.
Meski menyusuri Sungai Martapura selama 30 menit, kita bisa menikmati pemandangan yang unik, kehidupan masyarakat Banjar sepanjang sungai. Di kiri-kanan deretan rumah penduduk yang berdiri di badan sungai dengan tiang-tiang terpancang ke dalam air terlihat diselingi tanaman nipah.
Karena berangkat pagi, terlihat penghuni rumah masih beraktivitas mandi dan mencuci menggunakan air sungai. Ada juga warung dan masjid menghadap sungai. Jadi menikmati perjalanan menyusuri sungai seperti menikmati jalan raya saja. Termasuk juga ada rambu-rambu untuk pelayaran yang terpasang di pinggir sungai.
Di Pasar Terapung Lok Baintan tidak ada fasilitas pasar. Hanya pinggir sungai tempat perahu-perahu berisi dagangan berkumpul dan perahu atau klotok pembeli datang bertransaksi. Di klotok tak hanya wisatawan lokal dan asing, tapi juga pembeli lokal. Mereka menawar dan membeli dagangan.
Pasar ini mirip pasar tradisional di darat. Bedanya jika di darat pedagang menggelar dagangan di kios-kios kecil, di sini pedagang membawa dagangannya di atas perahu. Jika di darat pedagang menunggu di kiosnya, di pasar terapung pedagang dengan cekatan memburu calon pembeli ke klotok.
“Ini buah mentega namanya, isinya lebut seperti mentega dan enak, ini buah asli sini,” kata Nurul, seorang pedagang perempuan menawarkan buah sebesar dua kepal berwarna merah hati.
Ia pandai sekali merayu dengan mengajak bercakap. Harga buah yang isinya putih dan enak ini Rp10 ribu per buah. Ia juga menawarkan sankis lokal seharga Rp50 ribu sekeranjang yang harga per biji cuma Rp1.000. Murah sekali.
Jika pengunjung lapar, ada juga “warung” makanan dan penganan. Jukung berisi penganan seperti kue-kue tradisional juga akan mendatangi klotok Anda. Ada juga nasi kuning, nasi khas Banjar dengan aneka lauk. Bahkan juga ada soto untuk disantap.
Jadi jangan sarapan dulu sebelum berangkat ke Pasar Lok Baintan. Bawa saja perut keroncongan biar bisa menikmati sensani sarapan bergoyang di atas Sungai Martapura.
Pasar juga menjual kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Ada berbagai jenis ikan basah dan kering. Juga ada yang menjual beras, telur, minyak goreng, gula, cabai, bawang, dan sayur-sayuran.
Sesama pedagang juga saling membeli untuk kebutuhan rumah tangga mereka. Konon dulu sebelum uang belum begitu familiar, para pedagang melakukan barter untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Selain itu, juga ada yang menjual kain, tas, sandal, sepatu, dan bedak beras. Khusus untuk wisatawan, sebagai kenang-kenangan juga ada yang khusus menjual souvenir miniatur jukung dan klotok.
Kami pun kembali sambil membawa sekeranjang anyaman rotan buah-buahan segar khas Kalimantan Selatan seharga Rp50 ribu. (Syofiardi bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)