“UNGKU lewat, ungku lewat, ayo cepat pergi sana minta tiup jidat!” kata etek-etekku bergegas.
Seorang etekku (adik perempuan ibu) mendorong bahuku ke arah jalan. Aku bergegas dengan dua sepupu laki-lakiku ke sana. Mendekati seorang pria kecil yang berjalan kaki lewat pinggir jalan depan rumah kami.
“Tiup jidat Ungku, tiup jidat Ungku!” kata kami.
Ungku membungkukkan badannya meniup jidat kami satu persatu. Udara mengalir ke jidatku dalam embusan panjang yang pelan.
Kami pun berlari kesenangan kembali ke beranda rumah dekat etek-etekku bersantai. Mereka tersenyum pada Ungku yang lewat dengan khas: baju gamih, berkain sarung, kain tersampar di bahu, dan kupiah. Seorang muridnya mengiring di belakang. Keduanya berjalan tidak terlalu pelan, tidak terlalu cepat.
“Kalian akan menjadi anak yang pintar karena sudah ditiup Ungku Saliah,” kata seorang etekku.
Itu adalah Ungku Saliah Kiramatullah. Ia tokoh penyebar agama Islam tarekat Syattariyah terkenal di Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Banyak kisah tentangnya yang kudengar di masa kecil. Sebagian di luar logika.
Ketika Agresi II 1948, Belanda masuk Sungai Sariak. Banyak penduduk berlindung kepada Ungku Saliah di suraunya. Ia memimpin zikir. Mortir yang dijatuhkan dari pesawat yang tertuju ke suraunya hanya nyemplung ke kolam di samping surau, tak meledak.
Setelah lama berzikir dan warga semakin banyak datang, ia berkata, “Ampang lapeh” (penghambat lepas atau hambatan yang dilakukannya untuk menghalangi pasukan Belanda masuk tidak bisa dibendung lagi). Tak lama, pasukan pun datang menyerbu. Banyak laki-laki yang kemudian dibawa, diikat dua hingga lima orang, digiring jalan kaki ke Sicincin, berjarak 27 km, tempat markas dan rumah tahanan Belanda.
Ungku Saliah salah satu yang ditangkap. Ia kemudian dilepaskan kembali beberapa hari kemudian. Konon ia dilepas karena meski dalam sel yang tertutup, setiap waktu salat ia bisa keluar menembus jeruji besi. Setelah selesai salat ia kembali masuk tanpa dibuka pintunya.
Saat ditahan itu pula dua orang pernah bertengkar setelah salat Jumat. Yang satu bersikukuh Ungku Saliah menjadi imam di masjidnya, sedangkan yang satu lagi bersikukuh saat itu ia di samping Ungku Saliah salat Jumat di masjid lainnya.
“Ungku Saliah itu berjalan tidak menginjak tanah, itu pernah dikeker (teropong) Belanda, karena itu tengkelek dan ujung sarung yang dipakainya meski berwarna putih, tak pernah kotor dan kena lakek kanji (ujung rumput yang bisa menempel di kain),” cerita ibuku yang ia dapat dari cerita orang lainnya.
Tapi kisah yang paling popular terkait Ungku Saliah adalah tingkahnya di pasar Sungai Sariak setiap Rabu. Ia terkenal belanja seenaknya tanpa memperhatikan nilai uang. Jika ia ingin membeli sesuatu, misalnya seonggok cabe jika harga Rp25 dan ia punya uang Rp15, jika si penjual menolak maka jualannya tidak akan laku hingga sore. Tapi kerap kali ia juga membeli dengan uang lebih besar dan tak mau menerima kembaliannya. Hampir semua pedagang di sana sudah tahu tabiat Ungku yang berbelanja seperti itu. Dan Ungku juga tidak mau menerima gratis jika ditawarkan.
Suatu kali ia pernah menusuk uang bergambar Soekarno. “Orang ini akan jatuh,” katanya. Itu adalah waktu tak lama kemudian Presiden Soekarno jatuh dari jabatannya sebagai presiden.
Cerita lain tentang Ungku Saliah adalah pencuri pernah masuk ke dalam rumahnya, kemudian ketika meninggalkan rumah ia hanya berputar-putar keliling rumah hingga Subuh dan tersadar setelah disapa Ungku.
Tetangga saya bernama Tek Cah, lebih tua dari Ibu saya. Ia pernah menjadi murid Ungku Saliah. Suatu kali, waktu saya kecil, ia bercerita sangat malu atas sikap Ungku Saliah. Tek Cah disuruh Ungku Saliah pergi ke kedai kain seseorang untuk meminta sehelai kain sarung.
Tek Cah pun pergi ke sana menyampaikan permintaan Ungku dan diberikan sehelai kain sarung yang baru. Setelah kembali, Ungku kemudian menyuruhnya kembali meminta sehelai kain sarung yang baru. Setelah diberikan Tek Cah mengantarkannya kepada Ungku. Kemudian Ungku menyuruhnya meminta selembar lagi.
“Untuk apa oleh Ungku kain sebanyak ini?” tanyanya. “Sudah, minta saja lagi,” perintah Ungku. Dengan berat hati bercampur malu Tek Cah kembali ke kedai itu meminta sehelai kain lagi.
“Untuk apa oleh Ungku kain sebayak itu ya? Ungku kan ada kainnya?” kata pemilik kedai, “Tapi nggak apa-apa,bawalah, pasti ada sesuatu,” katanya kepada Tek Cah.
Saya menyimpulkan, Ungku Saliah sering mengetes masyarakat di sekitarnya agar tidak terlalu mengutamakan keduniawian. Dan itu dilakukannya dengan cara-cara yang unik.
Ungku Saliah meninggal suatu siang 3 Agustus 1974 di usia tua. Kuburannya dibuat di dalam suraunya karena semasa hidup ia pernah berpesan, jika meninggal agar dikuburkan di mana ia meninggal.
Pada kelas 1 SMP saya pernah tidur di surau itu setelah belajar bersama dengan teman sekelas saya Malik yang masih cucu Ungku Saliah. Detak jam berbendul yang cukup banyak di dinding surau terasa menenangkan. Dan di kuburan Ungku Saliah sejumlah uang terlihat dari para penazar.
Jika Anda pernah mampir di rumah makan padang atau sebuah kedai dan toko dan di sana tergantung sebuah pigura dengan foto hitam-putih seorang kakek berjenggut putih, berkupiah hitam, dan sarung tersampir di leher, itu adalah foto Ungku Saliah Kiramatullah. Banyak pemilik kedai dari Sumatera Barat, terutama pengikut Syattariyah dari Padang Pariaman yang percaya dengan memajang foto Ungku, kedainya akan jauh dari kejahatan dan rezekinya mudah.
Soal ini, hanya Tuhanlah yang tahu. Seperti juga jidatku ditiup Ungku diwaktu kanak yang dipercaya bisa menambah kecerdasan. (Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)