BOHINOI menanti di tangga rumahnya di kampung Rumukoi, Desa Rantau Malam, Kecamatan Serawai, Sintang, Kalimantan Barat. Sebuah tiang kayu di beranda rumah menjadi sandaran. Satu tangannya melingkar di tiang itu.
Dia tersenyum ketika saya baru saja tiba. Senyum itu meluruhkan penat setelah 32 jam perjalanan saya dari Sintang sehari sebelumnya pada 10 Agustus 2020.
Senyum itu pula yang mengonfirmasi catatan Carl Lumholtz dalam “Through Central Borneo; an account of two years' travel in the land of the head-hunters between the years 1913 and 1917” yang terbit 1920.
“Orang Uud Danum sangat ramah. Mereka kebanyakan berukuran sedang dan para wanita yang betubuh gempal dengan pergelangan kaki yang tebal. Sebaliknya, paras mereka cantik,” kata Lumholtz.
Dayak Uud Danum merupakan satu sub suku dayak dengan ciri khas bermukim di wilayah hulu sungai. Hal ini terbukti dengan tidak ada pemukiman lain yang terdapat di hulu Desa Rantau Malam.
Kakek Bohinoi, Agustinus Nenen adalah sekretaris Lembaga Adat Rantau Malam. Menurutnya, Dayak Uud Danum adalah orang-orang yang akan terus mencari hulu sungai. Kalau ada pemukiman lain di hulu, maka mereka akan membuat pemukiman baru yang berlokasi lebih ke hulu.
Nieuwenhuis dalam buku “In Centraal Borneo. Reis van Pontianak naar Samarinda. Uitg. door de Maatschappij ter Bevordering van het Natuurkundig Onderzoek der Nederlandsche Koloniën” yang terbit pada 1900) menyebutkan orang Uud Danum mulanya bermukim di hulu Sungai Kapuas.
Pencarian hulu sungai oleh Dayak Uud Danum terus berkembang seiring dengan budaya mengayau yang disebut Nieuwenhuis sebagai budaya penggal kepala.
“Budaya ini melekat dalam banyak ritual adat, mulai dari perkawinan, melahirkan, serta ritual lain,” katanya.
Dia mengonfirmasi Carl Bock yang telah berkunjung ke Kalimantan beberapa tahun sebelum itu. Bock dalam “Verblijf Te Bandjermassin dan Tocht Naar de Afdeeling Amoentai”, terbit pada 1880, menukilkan kisah para pemburu kepala yang dia sebutkan sebagai kanibalisme. Kendati demikian, budaya mengayau telah pupus seiring Perjanjian Tumbang Anoi pada 1894.
Agustinus tak menampik eksistensi mengayau pada periode tersebut. Dia mengatakan itu adalah periode gelap orang Dayak. Sebagai pelajaran, lanjut dia, anak muda Dayak memang perlu tahu bagaimana nenek moyang mereka bertahan hidup dari kerasnya alam Kalimantan.
“Namun kini semua berubah, anak-anak muda Dayak mestinya memperlihatkan semangat untuk membangun,” kata Agustinus.
Bohinoi terangguk-angguk kala mendengar obrolan kami beberapa hari setelah kedatangan saya. Dia tampak menyimak pelajaran dari Sang Kakek.
Rumahnya, sudah menjadi semacam penginapan buat para pendaki Bukit Raya. Setidaknya di Rantau Malam sudah ada 9 homestay yang siap menanti tamu. Para tamu berdatangan saban tahun untuk mencapai puncak Bukit Raya yang diklaim sebagai daratan tertinggi Kalimantan di wilayah Indonesia.
Menurut Agustinus, Rantau Malam dulunya dikenal dengan sebutan Korong Ondo, merujuk pada nama Macan Ondo, seorang keturunan dari Panembahan Sintang. Macan Ondo melarikan diri dari kejaran tantara Belanda dan tiba di Korong Ondo pada 1920.
“Kini disebut Rantau Malam karena pendatang harus menginap, pendatang biasanya membawa barang dagangan ataupun mencari gaharu, dulu banyak pendatang yang mencari kayu,” kata Agustinus.
Saya datang ke Desa Rantau Malam dari pusat kabupaten di Sintang dengan melewati perjalanan darat menuju Nanga Pinoh selama dua jam. Lalu melanjutkan perjalanan melintas sungai Melawi menuju Serawai selama empat jam.
Setelah menginap semalaman, dari pusat kecamatan di Serawai saya berganti kendaraan air agar bisa masuk ke Sungai Serawai dan melanjutkan perjalanan hingga ke Desa Rantau Malam selama lima sampai enam jam.
Ketika pandangan kami jauh ke balik bukit Memulu dan Bukit Mohipit, saya dan Bohonio berbagi kisah. Kami membunuh waktu dengan menyambangi kebun-kebun terdekat dan bermain air di sungai.
Di sebelah timur, kebun-kebun bercampur dengan hutan sekunder. Keadaan hutan sekunder bercampur dengan tanaman hutan bukan kayu seperti bambu. Beberapa tembawang tua juga jamak ditemui di wilayah ini.
Bohinoi mengajak saya menyambangi tembawang yang tak jauh dari pusat pemukiman. Jaraknya sekitar satu jam berjalan kaki. Dia memperlihatkan jenis-jenis pakis, bambu, dan jamur untuk bahan pangan. Kecuali itu, tembawang juga menyediakan tanaman obat.
Kendati identifikasi tanaman obat belum dilakukan, penduduk percaya bahwa kawasan tersebut masih menyediakan keperluan obat-obatan yang mereka butuhkan.
“Tembawang merupakan sistem penggunaan lahan orang Dayak,” kata Bohinoi.
Tembawang umumnya sudah mengalami suksesi alami sehingga mirip hutan primer. Wilayah ini dikelola dengan sistem dan nilai adat, berbasis pada kelompok orang Dayak yang lebih dahulu menguasai wilayah tersebut.
“Di dalamnya kami memanfaatkan hasil hutan untuk berbagai keperluan,” ujarnya.
Sedianya Bohinoi harus berada di Sintang untuk sekolah. Namun pagebluk Covid-19 memaksa gadis 17 tahun itu untuk diam di rumah.
Selain karet, warga juga bertanam padi. Jenis padi yang mereka tanam adalah padi ladang yang dapat dipanen sekali dalam setahun.
“Padi hanya dikonsumsi pribadi dan tidak dijual, penduduk menjemur padi di sela rumah atau di tepi jalan poros, selanjutnya padi ditumbuk manual dan berasnya disimpan untuk keperluan keluarga,” katanya.
Penduduk Desa Rantau Malam memanfaatkan air dari sungai yang berada di sisi selatan desa. Musim kemarau airnya jernih, sedangkan pada musim hujan kerap banjir.
Di sini tak satu rumah pun yang memasak air, kecuali untuk keperluan menyeduh teh atau kopi. Warga beranggapan, air yang disediakan sungai sudah cukup aman untuk langsung diminum. Jika air sungai keruh, warga tak meminumnya, penduduk memanfaatkan tampungan air hujan sebagai air minum.
Untuk keperluan rumah tangga, air disalurkan dari sungai. Kendati sungai berada jauh di bawah kompleks perumahan, penduduk menggunakan mesin air untuk menaikkan air. Namun sebagian rumah yang berada dekat sungai tidak menggunakan mesin, tapi langsung mengambil air dari sungai, karena jaraknya dekat.
Sebuah bendungan telah dibangun jauh di hulu desa, lebih di hulu dari Dusun Rumukoi. Butuh sekitar dua hingga tiga jam berjalan kaki menuju bendungan itu. Bendungan dilengkapi dengan pengukur tinggi air, berikut dengan bak kontrol.
Di bendungan itu, saya dan Bohinoi menikmati air terjun Seruhoi yang tampak bagai dua sejoli. Dua air terjun hanya terpisah sekitar 20 meter saja. Terjunan air memang tak terlalu tinggi, hanya sekitar 7 sampai 9 meter, namun keduanya seperti mengalirkan simpati satu dengan lainnya. Keadaan teduh di sekitar air terjun membuat kami tega berlama-lama membunuh waktu di sini.
Di sini, sungai-sungai mengalir mengikuti lekuk dan ceruk yang disediakan alam. Bebatuan menghias sebagian besar landasan sungai. Di beberapa tempat, bahkan terdapat riam yang sulit dilalui perahu bermotor.
Saya melewatkan seminggu dalam dekapan hulu Serawai. Bohinoi saban usai belajar daring sedia menemani saya berkeliling. Bahkan di sungai, saya mengajarinya menyusun batu. (Syafrizaldi Aal)