Oleh: Syafrizaldi Aal
KENDATI sistem tanam paksa dihapus pada 1908, hingga kini kemasyhuran kopi tak pernah lekang. Kopi bagi orang Minangkabau tak hanya soal komoditas, tapi sebuah budaya. Kopi kawa daun menyelip di antara rehat petani ketika mengolah lahan pertanian. Sedekade belakangan kopi kawa daun bahkan menjelma menjadi minuman publik yang bergengsi
Aroma kopi seketika menguar di udara saat Sardi Sutan Pangeran, 54 tahun, membuka penutup ketel perebusan daun kopi. Uapnya melayang hingga ke jalan raya. Para pengendara mencium uap itu dengan sedikit campuran asap knalpot dan hawa sejuk pegunungan.
Di bawah ketel, bara api tampak berkobar. Sardi menjaga api agar tak terlalu besar. Dia mengeluarkan sebagian kayu yang masih tampak menyala. Sesekali gelembung udara naik dari dasar ketel menandakan air telah mendidih. Di dalam ketel, daun kopi tampak kehitaman. Itulah kopi kawa daun, minuman dari hasil perebusan daun kopi.
“Ini daun kopi arabika,” ujar Sardi.
Daun kopi itu bersumber dari Nagari Pariangan di kaki Gunung Marapi. Dia memilih daun kopi arabika karena mudah diakses dan tidak terlalu kelat. Sedangkan daun dari jenis kopi robusta jauh lebih kelat.
“Kopi dan lahan punya keluarga, posisinya terpencar dan tidak dalam satu hamparan, kalau ditotal luasnya bisa mencapai 10 hektare,” katanya.
Dua hari sekali Sardi bolak-balik dengan sepeda motor ke nagari asalnya di Pariangan untuk menjemput dan membawa daun kopi ke kedainya. Jaraknya hanya sekitar satu jam perjalanan dari kedainya di Nagari Air Angek, dekat dengan Kota Padangpanjang di Sumatera Barat. Kondisi jalan mulus, tapi banyak belokan tajam, agak mendaki di beberapa tempat.
“Stok daun kopi harus segar, jadi tidak baik menumpuk daun di gudang, baik dibiarkan saja di dahan kopi,” katanya.
Sardi telah menyiapkan tempurung kelapa sebagai wadah air daun kopi. Orang Minangkabau mengenalnya dengan sebutan “sayak".
Zaman dahulu sayak jamak digunakan di kampung-kampung. Kendati wadah dari plastik, logam atau kaca datang kemudian, tapi tempat minum sayak tetap bertahan. Para perajin sayak adalah perajin amatir, mereka memakai sayak untuk kebutuhan sendiri.
“Kopi kawa daun memang legenda, zaman dulu masyarakat minum ini waktu istirahat bertani,” ungkap Sardi.
Dikisahkan Sardi, penyajian kopi kawa daun hingga hari ini merujuk pada bentuk asli. Tungku tidak pernah padam kecuali bila kedai sudah tutup tengah malam. Hal serupa juga terjadi di sawah atau kebun.
Para petani zaman dulu terus menjaga api tetap menyala, supaya air dalam ketel selalu hangat. Selain itu keberadaan api juga turut menjaga para petani dari gangguan hewan buas seperti beruang dan harimau.
Di sepanjang jalan utama antara Kota Padang dan Bukittinggi, setidaknya para pelintas akan melewati lima kedai kopi kawa daun, temasuk kedai Sardi.
Bila tidak ramai, Sardi menemani pengunjung kedainya untuk bercakap-cakap. Tapi hari itu, 14 Mei 2020 ia terlihat sibuk sekali. Ia sedang memasak lemang, penganan dari ketan dengan menggunakan wadah bambu.
Dulu, lanjutnya, lemang menemani kopi kawa daun di sela rehat bertani. Biasanya petani memasak lemang di rumah, lalu dibawa ke lahan garapan. Lemang buatan Sardi tampak berminyak karena dimasak dengan santan.
Sesayak kopi kawa daun kini siap dihidangkan berkawan lemang. Bila pengunjung tak tahan dengan rasa pahit dan kelat, Sardi menyiapkan gula aren sebagai pemanis. Selain sajian original, Sardi juga melayani kopi kawa daun dicampur krim kental manis.
Lengkap sudah, sajian Sardi mengaduk-aduk lidah. Kopi kawa daun rasanya agak mirip dengan minuman teh kental. Para pengunjung menikmati sajian itu di balai-balai yang menghadap ke jalan. Di seberang jalan, Gunung Marapi tampak tertutup awan sebagian.
“Kalau berminat, saya bisa siapkan kopi kawa daun telur,” kata Sardi.
Kopi kawa daun telur merupakan varian baru dalam jenis minuman tradisi ini. Cara membuatnya, Sardi mengocok kuning telur dengan gula pasir sampai mengembang. Adonan ini lantas diseduh dengan air daun kopi mendidih dari dalam ketel.
Tidak ada kedai kopi kawa daun di sepanjang pesisir barat Sumatra Barat. Minuman ini unik dan hanya ditemukan di sebagian wilayah pegunungan, seperti di Kabupaten Agam, Kabupaten Tanahdatar, dan Kabupaten Limapuluh Kota.
Sardi mengisahkan, jauh sebelum sistem tanam paksa diberlakukan Kolonial Belanda, para petani menanam kopi sebagai tanaman sampingan. Komoditas inti pada masa itu adalah padi ladang serta bahan pangan lainnya. Sembari berkebun, petani memasang perangkap untuk berburu binatang di darat maupun di sungai.
“Tanaman kopi hanya tumbuh pada batas-batas kebun atau sebagai penghias di depan pondok, benih kopi arabika dibawa oleh pedagang asal Arab, sedangkan teh baru dikenal pada akhir abad ke-19,” katanya.
Sejarawan Mestika Zed dalam Jurnal “Tingkap” terbitan 2010 menyebutkan bahwa orang Minangkabau sudah mengenal kopi jauh sebelum kedatangan Belanda. Bagi orang Minangkabau daun kopi lebih penting dari buahnya. Sebaliknya, bagi Belanda buah kopi justru jauh lebih berharga. Bukan saja untuk dikonsumsi sendiri, bagi Belanda kopi justru menjadi komoditas yang laku di pasar.
Pada 1830 Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Setiap desa di Jawa diwajibkan menyediakan 20 persen lahannya untuk ditanami komoditas ekspor seperti kopi dan tebu. Sistem ini mulai diterapkan di wilayah Minangkabau pada 1847. Setiap keluarga diwajibkan menanam kopi 100 hingga 150 batang.
Orang Minang diperintahkan untuk menanam kopi di atas tanah yang ditetapkan oleh pemerintah. Hasil panen kopi harus disetor ke gudang kopi (pakhuis) milik Dutch East India Company (Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC).
Ketika harga komoditas kopi semakin naik, nenek moyang Sardi dan orang Minang lainnya malah bersedia menanam kopi lebih banyak daripada yang ditetapkan VOC. Tetapi hasilnya tak lagi sepenuhnya diserahkan ke pakhuis, melainkan dijual sendiri ke pantai timur Sumatera hingga ke Singapura dan Malaka.
Menurut Mestika, hal tersebut dipengaruhi kabar harga kopi yang dibawa para saudagar dari dan ke Selat Malaka. Harga biji kopi di Malaka lebih tinggi dibanding harga yang dipatok VOC. Akibatnya pakhuis menjadi sepi.
Dalam konteks sejarah Minangkabau abad ke-19, lanjut Mestika, petani Minangkabau relatif berhasil menyiasati tekanan kekuasaan politik ekonomi Belanda.
Orang Minangkabau menelikung kebijakan sistem tanam paksa kopi yang menyebabkan minus devisa bagi VOC. Pada masa itulah muncul umpatan, “God verdomd zeg!” yang kira-kira maksudnya, “Dasar Melayu kopi daun!”
Dulu daun saja yang dimakan, sekarang buahnya juga.
Kecuali itu, lemahnya sistem kontrol mempercepat merosotnya kebijakan cultuurstelsel.
Pada 1908 sistem ini dihapuskan, tapi sisa tanaman kopi tetap bertahan hingga kini. Ini berarti pula mempertahankan teguk demi teguk kopi kawa daun suguhan Sardi. (Syafrizaldi Aal)