PADA pagi yang masih berkabut di Bukittinggi, Sumatera Barat, kami bersiap berangkat mengunjungi rumah Tan Malaka di Pandan Gadang, Limapuluh Kota, sekitar 80 kilometer di utara Bukittinggi.
Saya duduk di sebelah sejarawan Belanda Harry A. Poeze, seorang peneliti yang mencurahkan waktu selama 30 tahun untuk Tan Malaka. Teman seperjalanan lainnya adalah Zulhasril Nasir, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Roger Tol, direktur KITLV Jakarta dan Eri Ray, seniman Padang yang kami tumpangi mobilnya.
Sementara di belakang, dengan bus pariwisata, ada 28 peserta lain yang akan mengunjungi rumah Tan Malaka. Mulai dari sejarahwan Mestika Zed, mahasiswa sejarah, mahasiswa seni, dan guru. Keluarga Tan Malaka akan memperingati 59 tahun kematian pejuang revolusioner itu tepat hari ini, 21 Februari.
Mobil dan bus mulai beriringan keluar dari halaman hotel tempat kami menginap. Tiba-tiba Harry Poeze berkata kepada Eri Ray.
”Bisakah kita sebentar ke sekolah Tan Malaka, saya ingin melihat lagi sekolah itu dan ambil beberapa gambar,” katanya.
Mobil berbelok ke SMA Negeri 2 Bukittinggi, sementara bus terus melanjutkan perjalanan ke Pandan Gadang. Gedung sekolah Tan Malaka semasa di Kweek School masih kokoh berdiri, kini berubah menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi.
Dulu sekolah ini juga dinamai Sekolah Raja, karena hanya anak-anak Belanda dan anak bangsawan pribumi atau anak orang kaya yang bisa bersekolah di tempat ini, salah satunya Tan Malaka. Tan Malaka sekolah di Kweek School selama enam tahun dan lulus dengan nilai baik, karena Tan anak terpintar dari semua teman sekolahnya. Ia lalu melanjutkan sekolahnya ke Belanda.
Harry turun dan memeriksa dinding ruang guru, mencari-cari sesuatu.
“Saya mencari prasasti sekolah ini dan prasasti yang menerangkan tentang Nawawi Sutan Makmur yang pernah menjadi satu-satunya guru pribumi di tempat ini,” kata Harry.
Prasasti yang dicari-cari akhirnya ketemu. Prasasti yang menempel di dinding yang menerangkan pendirian Kweek School pada1873-1908. Sementara itu satu prasasti lagi yang menerangkan tentang Engku Nawawai Sutan Makmur yang pernah menjadi guru di Kweek School tersembunyi di balik lemari.
Melihat itu, Zulhasril Nasir, penulis buku “Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau” geleng-geleng kepala.
“Ini aset lho Pak Guru, kok malah ada di balik lemari, harusnya kita hargai, ini malah orang Belanda yang lebih menghargai bangsa kita,” sindirnya kepada guru-guru yang ada di ruangan itu.