TIGA putra mahkota Aleksander Agung atau Raja Iskandar Zulkarnain diharuskan melakukan pelayaran menjalani semua wilayah kerajaan ayahnya yang maha luas untuk dirajakan. Membagi bumi menjadi tiga penguasa, seperti memotong buah semangka. Para putra mahkota bersama seorang cendikiawan istana menaiki kapal tanpa layar dari Roma mengarungi lautan.
Mereka menaiki “buayan kaliang” sejenis ayunan yang berputar secara vertikal yang tiangnya tertancap ke tanah. Mempunyai empat buah sangkar atau kotak kayu besar yang dapat ditempati masing-masing dua orang. Setiap putra mahkota masing- masing naik dalam satu sangkar ditemani pemain musik talempong.
Buayan Kaliang setinggi empat meter itu mulai diayun dua orang, naik turun berputar seperti kapal yang sedang mengarungi samudera. Ayunan semakin kecang dan mereka mulai takut, gamang, dan ngeri. Terdengar suara-suara mereka saling bersahutan dan bergalau.
Akhirnya sampailah mereka di satu negeri yang orang-orangnya menolak kedatangan mereka karena mereka tidak bisa menujukkan mahkotanya yang asli. Mahkota itu telah jatuh ke laut.
Mereka kembali berlayar dan sampai ke negeri lain. Rakyat di sana juga menolak kehadiran para putra mahkota itu, mengusirnya dengan meriam dari tikar.
Mahkota palsu dibuatkan oleh cendekiawan istana dan sang cendekiawan kemudian mati secara misterius. Suatu hari putra mahkota mendarat di Nagari Ko, sebuah nagari yang tidak lagi mempersoalkan mana yang asli dan mana yang palsu. Ayunan buayan kaliang diperlambat.
Terjadilah percakapan di atas buayan.
“Di mana kita, negeri itu tidak ada di dalam peta,” kata yang pertama.
“Tapi aku harus mendarat, begitu menurut kisahnya,” kata yang kedua.
“Mahkotanya?” katanya lagi.
“Bukan mahkota yang penting sekarang, tetapi kekuasaannya, mahkota ini terus simpan, wariskan, mewariskan kepalsuan, memang begitu kisahnya, soal mahkota, harus jadi rahasia keluarga kita, jika ada yang membocorkannya lagi, bungkam,” kata yang pertama.
Dari atas Buayan Kaliang putra mahkota ketiga menghamburkan uang kepada penduduk Nagari Ko yang ada di bawah.
Mereka menyambutnya dengan penuh penghormatan. Dipayungi, disambut dengan tari pasambahan, pertunjukan silat, dan diangkat sebagai raja di Nagari Ko. Sementara kedua putra yang lainnya terus melakukan perjalanan.
Itulah cerita “Lakon Mandi Angin” karya Wisran Hadi yang dipentaskan kembali di lapangan rumput Taman Budaya Sumatera Barat di Padang pada malam 11 November 2018 dalam rangkaian acara Festival Bumi yang belangsung 10-14 November 2018 untuk memperingati 43 tahun Bumi Teater.
Naskah “Mandi Angin” yang ditulis Wisran diambil dari tambo, cerita asal mula Minangkabau yang dikisahkan turun-temurun. Dalam tambo disebutkan bahwa orang Minang adalah keturunan Aleksander Agung, karena salah satu anaknya disebut menjadi raja di Minangkabau.
“Yang ingin dikritik Wisran Hadi dalam Mandi Angin adalah orang Minang yang belum lagi menemukan jawaban tentang identitas dia yang sebenarnya, baginya orang Minang ya Minang, orang Romawi ya orang Romawi, nggak ada hubungan dengan orang Minang,” kata Syafril Prell T yang menjadi sutradara pementasan “Mandi Angin”.
Festival Bumi menjadi reuni pertemuan seniman yang pernah aktif di Bumi Teater. Bumi Teater didirikan sejumlah seniman, di antaranya Wisran Hadi, Hamid Jabbar, Rauda Thaib, A. Alin De, dan Herisman Is.
“Berdirinya Bumi Teater diwarnai semangat lokal sekaligus nasional, tidak saja pada hari pahlawan, sekaligus pula hari wafatnya Hoeriah Adam, koreografer nasional asal Minangkabau, dua momen penting itu setidaknya secara implisit telah membentuk orientasi semangat Bumi Teater, yang tidak saja bersifat lokal tetapi juga nasional,” kata Syafril Prel T.
Bumi Teater telah memproduksi sekitar lima puluhan karya teater. Tidak saja dipentaskan di Padang tetapi juga di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Medan, Yogyakarta, dan Malaysia.
“Karya-karya Wisran Hadi banyak yang monumental, seperti Jalan Lurus, Imam Bonjol, Anggun Nan Tongga, Tuanku Nan Renceh, Senandung Semenanjung, Dara Jingga, Salonsong, Puti Bungsu, dan Wayang Padang,” kata Prel T yang juga dosen di Fakultas Sastra Unversitas Andalas.
Beberapa karya Wisran juga dianggap kontroversial oleh masyarakat dan pemerintah daerah. Misalnya pementasan “Puti Bungsu (Wanita Terakhir)” yang digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1976 yang menyebabkan sebagian masyarakat Minangkabau emosional karena Wisran dalam karyanya dianggap sengaja menjungkirbalikkan mitos Malin Kundang.
“Orang Minang tidak bisa terima cerita mitos kebanggaanya dijungkirbalikan, bahkan saat itu Wisran akan disidang oleh Lembaga Kerapatan Alam Minangkabau (LKAAM) di Padang, mereka (pengurus LKAAM) meminta pendapat kepada Pak A. A. Navis dan Navis melarangnya,” kata Raudha Thaib istri Wisran Hadi yang juga pendiri Bumi Teater.
“Senandung Semenanjung” yang pernah dipentaskan di Johor, Malaysia juga mengundang perdebatan panas dari penonton Malaysia. Cerita yang diangkat dari mitos Hang Tuah sebagai pahlawan Melayu itu dalam pementasan dinilai meruntuhkan kebesaran tokoh Hang Tuah. Hang Jebat yang dianggap pembangkang kepada raja lebih ditonjolkan oleh Wisran sebagai orang yang kritis kepada raja.
“Kami saat itu tampil diundang Dewan Kesenian di Malaysia, sekitar awal 1980-an, setelah tampil perdebatan panas, marah orang Malaysia, kami dibantai dalam diskusi, tapi Wisran Hadi tenang saja, dia itu memang fenomenal ,” kata Darvies Rasidin, angkatan pertama Bumi Teater.
Wisran juga sudah menulis 84 naskah drama. "Entah bagaimana dia bisa menulis sebanyak itu, novel juga naskah drama, ada 84 naskah drama, William Shakespeare saja saya hitung hanya 70 naskah drama," kata Sastrawan Darman Munir.
Ada enam tampilan teater di Festival Bumi. Selain Teater Bumi juga tampil Teater Bel, Imaji, Hitam Putih, Ranah Performing Art Company, dan Trikora Performing Art.
Pertunjukan Ranah Performing Art pada malam kedua, Senin, 12 November 2018 mengangkat “Pekaba” yang juga ditulis sutradaranya, S. Metron Masdison.
“Pekaba” berkisah tentang pertarungan antar juru cerita dalam menunjukkan siapa yang paling hebat di antara mereka. Biasanya, di tengah gelanggang yang penuh lalu-lalang manusia, para juru cerita menguji kehebatannya.
Semakin banyak orang berkumpul di dekatnya, mendengar, merespon, bahkan mencoba menandingi ceritanya, maka kelihaiannya sebagai juru cerita semakin teruji. Namun, setiap juru cerita sebenarnya menginginkan tantangan lain. Diam-diam, para juru cerita itu menghendaki pertarungan antar sesama juru cerita.
Teater Hitam Putih yang tampil Selasa malam, 13 November juga mementaskan naskah yang ditulis Wisran Hadi berjudul “Perempuan Salah Langkah”. Ini adalah naskah terakhir Wisran Hadi yang belum sempat ia pentaskan.
“Saya diminta untuk menyutradarai satu pertunjukan untuk acara ini, karena ada acara mengenang Bumi ini, saya pikir ada baiknya menampilkan naskah Pak Wisran,” kata Yusril Katil, sutradaranya.
Penampilan “Perempuan Salah Langkah” di gedung lantai empat Dinas Kebudayaan Sumatera Barat itu digarap dengan akrab dan santai. Penonton lesehan, sedangkan pemain dan kru, termasuk penata lampu dan pemusik berada di satu panggung. Bahkan pemain juga berganti konstum di atas panggung.
Festival Bumi menjadi reuni pertemuan seniman yang pernah aktif di Bumi Teater. Bumi Teater didirikan sejumlah seniman, di antaranya Wisran Hadi, Hamid Jabbar, Rauda Thaib, A. Alin De, dan Herisman Is. Peresmiannya ditandai pementasan Gaung di Padang sebagai pagelaran teater yang pertama dari Bumi Teater pada 10 November 1976.
Dalam perjalanannya, Bumi Teater kemudian berkembang menjadi “Bumi” yang lain, seperti Bumi Sastra, Bumi Senirupa, dan Swara Bumi (musik). Namun sejak pementasan terakhir Bumi Theater di Taman Ismail Marzuki pada Juli 2006 dengan mengangkat “Wayang Padang”, kegiatan Bumi Teater pun menurun.
Sebelum menggelar Festival Bumi 2018, para alumni “Bumi” membentuk Lembaga Bumi Kebudayaan sebagai penyelenggara.
“Festival Bumi ini selain untuk memperingati 43 tahun Bumi Teater dan grup Bumi, juga untuk mengenang peran penting seorang Wisran Hadi, dan dari festival ini diharapkan akan muncul titik bangkit bagi Bumi, ” kata Ketua Panitia Penyelenggara Trikora Irianto.
Selain teater, di Festival Bumi juga berlangsung pameran lukisan para pelukis anggota Bumi dan penerbitan buku puisi, esai, dan naskah drama. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)