Kepulauan Wayag di Raja Ampat, Papua Barat telah menjadi salah satu ikon wisata Indonesia di dunia. Tak dapat dipungikiri, lokasi ini memang pantas menjadi simbol gugusan kepulauan Nusantara.
Sengal napas tak tertahankan, saya harus menuntaskan pendakian ini. Karang tajam telah menyobek sebagian alas kaki yang saya pakai, tapi pendakian seakan tak berakhir. Tangan saya harus menggapai mencari pegangan, salah-salah bisa turut robek terkena pandan berduri.
Semula saya tak pernah membayangkan perjalanan yang menyiksa ini. Saya sudah meninggalkan Waigeo sejak subuh, menggunakan perahu panjang berkekuatan 25 tenaga kuda. Di Waisai, ibukota Raja Ampat, banyak yang meragukan kemampuan perahu panjang itu. Kunjungan ke Wayag bisanya dilakukan dengan perahu wisata berkekuatan setidaknya dua kali 40 tenaga kuda.
Kala matahari mulai naik, saya tiba di celah sempit berpulau-pulau kecil berbentuk cendawan. Di sini, di Selat Kabui, perjalanan terasa lebih mencekam. Air laut bergelombang tak beraturan. Bentuk alirannya justru mirip sungai besar. Pengemudi perahu panjang harus ekstra hati-hati agar tak terhempas ke salah satu pulau.
Sahabat saya, Simon, dikenal dengan kemampuannya mengemudi perahu. Dia tegak di haluan. Sementara Ritz berada di bagian mesin. Kami penumpang berjumlah tujuh orang dilanda gusar. Begitu perahu berputar ke kanan, gelombang dari kiri menerpa hingga Ritz segera harus membelokkan arah. Tangan Simon menjulur ke kiri dan ke kanan, Ritz mengikuti arahan Simon.
Tubuh saya terguncang-guncang. Goncangan itu yang mungkin saja dirasakan Alfred Russel Wallace pada 1860. Naturalis ini sesungguhnya tengah dalam perjalanan dari Pulau Seram menuju Misol, tapi terbawa arus dan angin hingga akhirnya harus menghabiskan waktu di Waigeo sepanjang Juni hingga September.
Wallace pula yang lantas menulis catatan dalam bukunya yang legendaris berjudul The Malay Archipelago. Dalam bahasa Indonesia, buku itu terbit dengan judul “Sejarah Nusantara”. Bertahun catatan Wallace mengendap di Inggris sebelum dia menuliskannya. Buku itu diyakini sebagai landasan teori Darwin tentang evolusi.
Hampir satu jam kami terkepung di Selat Kabui hingga Pos Informasi Wayag kini ada di depan mata. Tapi mengunjungi Wayag bukan perkara gampang, rombongan saya mestinya berbekal pin yang harus dibeli di Waisai. Apa daya, pin seharga Rp500 ribu rupiah per kepala akhirnya harus kami beli di pos ini.
Dari Waisai, kumpulan pulau-pulau karang Wayag hanya dapat ditempuh lewat transportasi laut. Saya melakoni perjalanan panjang melintas laut selama hampir 5 jam. Segerombolah burung camar tampak di kejauhan tengah santap. Sesekali, Simon di haluan perahu berteriak, manta!
Dia berkali-kali melihat pari manta melintas, tapi sayangnya saya tak sempat menyaksikan kejadian langka itu.
Di pantai Pos Informasi, Hendra, pengunjung asal Bali menaburkan ikan sebagai makanan hiu. Menurut penjaga pos, hiu-hiu itu biasa mendekat ke pantai.
Pemandu kami, John Sumbiaganan memimpin perjalanan mengitari perairan dari Pos Informasi menuju Wayag. Dia menceritakan banyak pengunjung yang datang hanya untuk menyaksikan gugusan kepulauan dari puncak bukit karang. Namun sesungguhnya, terkadang pengunjung lupa bahwa tempat itu dilindungi. Kerap kami harus memungut botol minuman kemasan yang ditinggalkan.
Di puncak bukit karang itu, saya kini dimanjakan pemandangan kepulauan Wayag. Wayag, selain karena bentuknya yang unik dengan perdu yang kuat tumbuh di atas karang yang keras, juga didominasi komposisi pulau-pulau yang sempit dan runcing. Lantai laut seolah hanya ditutup kaca transparan memperlihatkan keindahan bawah laut. Saya bahkan tak memerlukan alat bantu untuk menikmatinya.
Banyak agen wisata yang menyediakan jasa layanan berkunjung ke lokasi ini. Wisatawan yang ingin melakukan aktivitas penyelaman dan mengunjungi kawasan wisata dan suaka alam diwajibkan membeli pin sebagai tiket masuk. Itu yang luput kami perhatikan dalam perjalanan ini. Tanpa itu, aktivitas wisata hanya dapat dilakukan terbatas di kota Waisai dan Pulau Waigeo saja.
Ketika matahari sudah tinggi, saya membayangkan harus kembali. Tapi rindu pada gugusan pulau-pulau ini belum terbayar, petualangan ini baru saja dimulai. (Syafrizaldi Aal/ JurnalisTravel.com)