DARI DERMAGA Pokai di Muara Sikabaluan, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai perahu motor 40 PK membawa kami membelah riak laut di tengah gerimis. Kami berenam, empat wartawan media nasional dan dua dari Conservation Internasional Indonesia akan ke hutan Paleonan, melihat tempat penelitian primata endemik Mentawai.
Sebenarnya badan masih pegal dan lelah karena semalaman tidur di kabin sempit dalam Kapal Motor Sumber Rejeki yang membawa kami dari Padang ke Siberut selama 10 jam.
Memasuki perairan paling utara Pulau Siberut, ombak mulai mengganas dan bergulung, jenis gelombang yang lebih cocok untuk surfing. Dibalut kecemasan, tangan kami makin erat mencengkeram bibir perahu agar badan tak terpental keluar.
Dua jam kemudian, sampai di mulut Muara Sigep, kami berganti perahu lebih kecil yang disebut pompong untuk menyusuri Sungai Pungut. Arus Sungai Pungut yang melebar oleh banjir tampak menyimpan beberapa pusaran yang mengancam. Bila tak hati-hati perahu bisa terbalik dimakan arus.
Saya agak tegang karena tak begitu pandai berenang. Tapi semangat baja ingin melihat empat jenis monyet yang di dunia ini hanya ada di Mentawai, telah membunuh rasa takut.
Keempat primata itu adalah Bokkoi (Macaca siberu), Joja (Presbytis potenziani), Bilou atau Siamang kerdil (Hylobates klosii), dan Simakobu (Nasalis concolor). Mereka primata endemik Mentawai dan hanya bisa ditemukan di Kepulauan Mentawai.
Setelah menepi dan keluar dari pompong, kami menginjak lantai hutan dan berjalan di antara pohon dan perdu yang basah karena hujan. Puluhan pacet meloncat dari dedaunan hinggap di kaki dan tangan. Walau sudah waspada, ternyata beberapa tetes darah saya sempat dinikmati seekor pacet sampai kekenyangan. Jalan kaki dan menyeberang sungai ini memakan waktu 1 jam.
Menjelang senja akhirnya kami tiba jua ke stasiun riset primata. Stasiun riset ini sangat sederhana, hanya ada enam bangunan kayu mirip uma, rumah adat Mentawai, didirikan untuk tempat pengamatan monyet dan tempat tinggal peneliti. Keenam bangunan itu dihubungkan jalan setapak dari susunan kayu.
Stasiun ini letaknya di lembah di kelilingi hutan campuran, selain pohon dipterocarpase seperti meranti dan katuka. Juga ada pohon durian, pisang, pepaya, jeruk, aren, dan perdu.
SIMAKOBU DI POHON DURIAN
Di tengah hutan Peleonan ini sejak 2003 lalu didirikan Siberut Conservation Project (SCP) sebuah pusat penelitian primata kerjasama Institut Pertanian Bogor dan DPZ (Deutches Primatenzentrum), sebuah pusat penelitian primata di Universitas Gottingen, Jerman.
Kami disambut Thomas Ziegler, Susilo Hadi, Jessica Yorsinsky, dan Alice Trend. Mereka adalah peneliti monyet dan staf SCP. Selain mereka juga ada beberapa warga Dusun Policoman yang bekerja di sana.
”Kalau nggak hujan, dari sini empat primata itu mudah terlihat saat mereka sedang makan atau berayun di atas pohon-pohon besar itu,” kata Susilo, saat makan malam.
Ah, syukurlah, karena selain ingin melihat kerja peneliti, jauh-jauh datang ke mari kami juga sangat berharap mengamati empat primata Mentawai yang terkenal itu di habitatnya.
Dari referensi yang saya baca, keempat primata itu sangat menarik. Suara Bilou misalnya, dipuji-puji sebagai nyanyian terindah mamalia darat. Suaranya yang konon mencapai tujuh oktaf itu akan terdengar merdu di pagi hari selama 12 menit tanpa henti. Saya jadi makin tak sabar ingin melihat Bilou.
Namun esoknya impian mendengarkan nyanyian Bilou di pagi hari pupus sudah. Yang ada hanya suara hujan, angin kencang, dan pohon katuka yang berderak tumbang. Hujan membatalkan rencana kami menjelajahi transek-transek penelitian di tengah hutan mencari monyet. Akhirnya terpaksa tinggal di posko induk ngobrol-ngobrol dengan Thomas dan Susilo di beranda.
Bagi kedua peneliti ini cuaca tak bersahabat tak menghalangi rutinitas mereka. Mereka membuat herbarium dengan mengeringkan daun-daun, tangkai dan bunga. Herbarium itu terdiri dari sekitar 200 jenis tangkai pohon dan perdu lengkap dengan daun dan bunga yang dipetik di hutan Paleonan.
Daun-daun itu disusun di atas lembaran koran, lalu dijepit dengan bambu. Lalu diangin-anginkan, dibiarkan mengering berbulan-bulan, agar mudah membawanya ke IPB Bogor untuk diteliti dan diberi nama. Membuat herbarium adalah satu cara untuk mengetahui jenis tumbuhan yang hidup di sekitar habitat keempat primata endemik Mentawai.
Menjelang siang hujan baru reda. Ada seekor Simakobu terlihat di atas pohon durian.
“Ayo ke beranda belakang agar lebih jelas terlihat,” kata Thomas sambil menyambar teropong.
Kami bergegas mengikutinya. Simakobu itu tampak melewati dahan pohon durian seperti sedang berjalan di atas pentas. Dengan bantuan teropong untuk pertama kalinya saya melihat Simakobu berbulu hitam dengan lingkaran putih di wajahnya.
Mungkin dari ketinggian pohon durian itu ia juga melihat kami, namun kelihatan cuek dan asyik makan bunga durian. Sepertinya ia sedang kelaparan. Saya gembira karena inilah yang ingin saya saksikan. Sayang kamera digital saku saya tak bisa mengabadikan primata itu dengan jelas. Hasilnya sulit membedakan sang simakobu dengan dahan pohon.
PENDEKATAN DENGAN WARNA BAJU
Ternyata pertemuan itu bukan yang terakhir. Hari berikutnya di atas pohon durian di belakang penginapan saya malah ada tiga ekor simakobu. Mereka juga kerap terlihat melintasi sungai sambil berayun dari pohon yang menjalar.
“Kalau tahun lalu kita mendekat, monyet itu masih sering lari, mungkin takut dimakan, sekarang mereka cuek saja, bahkan tiap kita amati mereka saling berteriak seperti sedang ngeledek,” kata Susilo yang juga dosen di Universitas Gajah Mada.
Thomas dan Susilo menggunakan beberapa cara pendekatan. Salah satunya adalah mengenakan baju dengan warna sama setiap kali masuk hutan. Susilo memakai kaos oranye sedang Thomas kaos putih. Selain itu setiap kali bertemu monyet mereka akan berteriak menyapa.
“Kami berharap monyet-monyet itu menyadari bahwa kami tidak akan menyakiti mereka,” kata Thomas.
Maklum, karena selama ini monyet-monyet itu kerap diburu penduduk tradisional Mentawai, karena dianggap santapan lezat bagi mereka. Upaya Thomas dan Susilo mulai berhasil, monyet-monyet itu tidak lagi lari, walaupun juga tidak pernah mau turun dari pohon.
Selain mengamati tingkah laku primata ini, Thomas dan Susilo juga selalu berburu kotoran hewan ini untuk diteliti. Mereka menggunakan cara penelitian yang tidak menyakiti seperti membunuh atau mengambil darah hewan.
“Dari meneliti kotorannya saja sudah bisa diketahui hormon, makanan, dan parasit mereka,” kata Thomas.
Hutan Paleonan memang rumah yang nyaman bagi keempat primata asli Mentawai itu. Mereka bisa tinggal bersama, bahkan berbagi makanan dan tempat tidur dari pohon yang sama, tanpa mengganggu yang lainnya.
Menurut Thomas, hal yang menarik yang sedang Susilo dan ia teliti adalah perbedaan dua relung antara joja dan simakobu. Teori dasarnya adalah dua spesies tidak bisa hidup bersama ketika dia menggunakan tempat yang sama. Salah satu akan menang atau kalah, bahkan musnah. Tapi kenyataannya, di Siberut keduanya bisa hidup bersama berbagi makanan dan tempat tidur. Apalagi di tempat kecil seperti Pulau Siberut.
“Yang aneh, karena dua monyet yang hidup di tempat terpencil seperti pulau kecil bisa hidup bersama, di dunia itu hanya ada di Mentawai,” kata Thomas.
Thomas mencontohkan Sumatera yang daratannya luas, sehingga monyet yang hidup di sana bisa kemana-mana mencari makanan. Begitu juga monyet-monyet di Afrika. Tapi di Mentawai, pulaunya kecil. Di areal penelitian yang luasnya hanya 4 ribu hektare, empat primata endemik itu sudah bisa hidup bersama.
“Ibaratnya, primata ini bisa hidup berbagi dalam hidup yang relatif keras, manusia harus belajar hidup damai seperti mereka,” ujar Thomas.
Kesimpulan sementara kedua peneliti ini, keempat primata tersebut berbeda makanannya walaupun pada pohon yang sama. Ada yang memakan buah, daun, atau ranting.
Jessica Yorsinsky, gadis dari Maine, Amerika Serikat juga punya hasil penelitian yang tak kalah menarik. Ia ingin tahu reaksi Simakobu terhadap suara.
“Saat saya memperdengarkan suara harimau dari sound system Simakobu hanya duduk, tidak bereaksi, saat diganti suara babi Simakobu diam saja, bahkan tertidur, namun saat diganti suara manusia Simakobu langsung lari,” kata Jesicca kepada kami.
Selama lima hari yang selalu hujan kami hanya bisa melihat Simakobu. Namun saat melewati tanjakan hutan Paleonan dalam perjalanan pulang terdengar lantunan suara Bilou melengking dari atas pohon.
“Itu Bilounya,” kata Jessica yang berjalan di belakang saya.
Jarinya menunjuk ke pohon persis di atas kami. Selama dua menit kami mengamati siamang kerdil mentawai itu bernyanyi. Kemudian ia berayun ke pohon lainnya meninggalkan kami.
“Hello Bilou, how are you,” teriak Jessica tak membuang kesempatan untuk menyapa.
Upayanya berhasil. Terdengar kembali lengkingan suara bilou dengan nada-nada yang tinggi dan panjang seperti mengirim salam perpisahan pada kami. Si Bilou kini menghilang ditelan dedaunan pohon yang lebih tinggi. Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan. (Febrianti/JurnalisTravel.com)
Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)