SIMAKOBU DI POHON DURIAN
Di tengah hutan Peleonan ini sejak 2003 lalu didirikan Siberut Conservation Project (SCP) sebuah pusat penelitian primata kerjasama Institut Pertanian Bogor dan DPZ (Deutches Primatenzentrum), sebuah pusat penelitian primata di Universitas Gottingen, Jerman.
Kami disambut Thomas Ziegler, Susilo Hadi, Jessica Yorsinsky, dan Alice Trend. Mereka adalah peneliti monyet dan staf SCP. Selain mereka juga ada beberapa warga Dusun Policoman yang bekerja di sana.
”Kalau nggak hujan, dari sini empat primata itu mudah terlihat saat mereka sedang makan atau berayun di atas pohon-pohon besar itu,” kata Susilo, saat makan malam.
Ah, syukurlah, karena selain ingin melihat kerja peneliti, jauh-jauh datang ke mari kami juga sangat berharap mengamati empat primata Mentawai yang terkenal itu di habitatnya.
Dari referensi yang saya baca, keempat primata itu sangat menarik. Suara Bilou misalnya, dipuji-puji sebagai nyanyian terindah mamalia darat. Suaranya yang konon mencapai tujuh oktaf itu akan terdengar merdu di pagi hari selama 12 menit tanpa henti. Saya jadi makin tak sabar ingin melihat Bilou.
Namun esoknya impian mendengarkan nyanyian Bilou di pagi hari pupus sudah. Yang ada hanya suara hujan, angin kencang, dan pohon katuka yang berderak tumbang. Hujan membatalkan rencana kami menjelajahi transek-transek penelitian di tengah hutan mencari monyet. Akhirnya terpaksa tinggal di posko induk ngobrol-ngobrol dengan Thomas dan Susilo di beranda.
Bagi kedua peneliti ini cuaca tak bersahabat tak menghalangi rutinitas mereka. Mereka membuat herbarium dengan mengeringkan daun-daun, tangkai dan bunga. Herbarium itu terdiri dari sekitar 200 jenis tangkai pohon dan perdu lengkap dengan daun dan bunga yang dipetik di hutan Paleonan.
Daun-daun itu disusun di atas lembaran koran, lalu dijepit dengan bambu. Lalu diangin-anginkan, dibiarkan mengering berbulan-bulan, agar mudah membawanya ke IPB Bogor untuk diteliti dan diberi nama. Membuat herbarium adalah satu cara untuk mengetahui jenis tumbuhan yang hidup di sekitar habitat keempat primata endemik Mentawai.
Menjelang siang hujan baru reda. Ada seekor Simakobu terlihat di atas pohon durian.
“Ayo ke beranda belakang agar lebih jelas terlihat,” kata Thomas sambil menyambar teropong.
Kami bergegas mengikutinya. Simakobu itu tampak melewati dahan pohon durian seperti sedang berjalan di atas pentas. Dengan bantuan teropong untuk pertama kalinya saya melihat Simakobu berbulu hitam dengan lingkaran putih di wajahnya.
Mungkin dari ketinggian pohon durian itu ia juga melihat kami, namun kelihatan cuek dan asyik makan bunga durian. Sepertinya ia sedang kelaparan. Saya gembira karena inilah yang ingin saya saksikan. Sayang kamera digital saku saya tak bisa mengabadikan primata itu dengan jelas. Hasilnya sulit membedakan sang simakobu dengan dahan pohon.