Oleh: Desti Ariani
HARI PERTAMA
Seperti biasa alarm kembali membangunkan saya dari tidur. Bunyi alarm yang berdering menandakan waktu sudah tiba pada pukul 05.30 WIB. Sesuai kesepakatan tadi malam bersama Choi dan Viktor, pukul 07.00 WIB kami harus sudah tiba di Pelabuhan Tuapejat.
Udara sejuk khas pagi hari dan suara ayam yang berkokok bersahut-sahutan seolah memberikan sapaan selamat pagi untuk saya. Sudah memasuki hari kedua saya berada di Pulau Sipora dan pagi kami akan bertolak ke pulau lain di Kepulauan Mentawai, yaitu pulau Siberut.
Matahari perlahan mulai memberikan tanda ingin memperlihatkan wujudnya. Sebelum meninggi, setelah semuannya beres, bergegas kami pergi meninggalakan rumah Viktor menuju pelabuhan. Kapal dengan tujuan Pulau Siberut akan berangkat pada pukul 08.00 WIB, namun kami datang lebih awal agar kebagian lapak yang nyaman.
Sebelumnya terlebih dahulu saya akan mengenalkan teman-teman seperjalanan selama di Pulau Siberut. Ada Choi, Viktor, Bajak Letcu, Kak Yanti, Irman, dan Jujum yang sudah lebih dulu tiba di Pokai, Siberut Utara.
Malam nanti kami akan bertemu dan berkumpul di sana, kecuali Viktor yang akan lebih dulu turun pada saat kapal berhenti di Pelabuhan Mailepet Siberut Selatan untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Sekitar pukul tujuh kami tiba di Pelabuhan Tuapejat. Langsung saja berjalan menuju sebuah kapal yang akan kami tumpangi untuk menyeberang ke pulau Siberut. Tepatnya di Pelabuhan Pokai, Desa Muara Sikabaluan, Siberut Utara. Untuk menuju ke sana akan memakan waktu sekitar delapan hingga sepuluh jam perjalanan, tergantung bagaimana kondisi cuaca di laut.
Suasana di pelabuhan sudah sangat ramai dengan berbagai aktivitas. Terlihat beberapa kapal sedang bersandar, menunggu penumpang yang akan berlayar dan ada kapal yang baru saja tiba. Juga terlihat ada perahu karet milik Basarnas.
Sebelum berangkat kami menyempatkan diri untuk sarapan dan ngopi sembari menunggu Bajak Letcu tiba di pelabuhan. Menu sarapan yang saya pilih kali ini adalah soto padang. Sejauh ini saya masih belum menemukan makanan khas Mentawai atau makanan yang berbeda dari tempat lain.
Di sela sarapan Bajak Letcu datang dan formasi pun lengkap. Kami segera berangkat meninggalkan Pulau Sipora sekitar pukul delapan lebih menggunakan KM Bakkat Menuang, salah satu kapal antarpulau di kepulauan Mentawai.
KM Bakkat Menuang bisa dikatakan berukuran kecil. Terdiri dari lantai dasar dan satu lantai lagi di atasnya. Selain mengangkut penumpang, kapal ini juga mengangkut sepeda motor dan barang-barang lainnya.
Lantai dasar dipenuhi penumpang yang duduk lesehan dengan menggunakan alas masing-masing, bersama barang-barang dan kendaraan. Sementara di lantai dua terdiri dari ruang kapten kapal beserta ABK dan sedikit ruang untuk penumpang dengan beberapa bangku yang disediakan. Selebihnya juga ada yang duduk lesehan.
Rute terjauh kapal ini adalah pelabuhan Betaet, Siberut Barat. Sampai di Pelabuhan Pokai kapal akan bersandar sekitar lima jam sebelum lanjut berlayar dan akan sampai di Pelabuhan Betaet pada keesokan harinya sekitar pukul delapan pagi.
Dalam perjalanan ke Pelabuhan Pokai, kapal hanya berhenti dua kali. Pertama di Pelabuhan Meilepet, Siberut Selatan. Di sini kapal biasannya tiba sekitar jam makan siang (lupa tepatnya pukul berapa). Kapal berhenti menurunkan penumpang, juga barang-barang dan menunggu penumpang baru yang akan naik.
Di sini kapal berhenti agak lama. Biasannya penumpang dengan tujuan yang lebih jauh menyempatkan diri untuk turun membeli makan siang, membeli minuman atau hanya sekedar melihat-lihat sekitar.Pemberhentian selanjutnya hanya sebentar saja di dermaga kecil desa Sirilogui, Siberut utara.
Saat menuliskan sedikit catatan perjalan ini di handphone, kapal sedang melintasi muara Siberut. Ombaknya sangat kencang, lebih berasa naik wahana kora-kora dibandingkan saat perjalanan dari Padang menuju Sipora kemarin. Saya melihat jam sudah menunjukkan pukul 13.13 WIB. Berarti kurang lebih enam jam sudah saya berada di atas kapal.
Saya sempat membayangkan sebelumnya kalau kapal ini akan mirip kapal milik ASDP yang pernah saya tumpangi setiap kali menyeberang antar pulau lintas provinsi. Ternyata kondisinya sangat berbeda. Suasana di kapal terasa sangat gerah dengan ruang yang kecil dipenuhi manusia dan barang-barang.
Berbagai aroma dan kepulan asap rokok berkumpul menjadi satu. Aku seperti disuruh memilih bernapas dengan aroma dan kepulan asap rokok atau bernapas menghirup aroma pesing yang berasal dari toilet (saya duduk di lantai atas).
Meski dengan kondisi itu semua, perjalanan masih sangat saya nikmati, ditambah pemandangan sore hingga matahari terbenam yang indah.
Pukul delapan malam kapal tiba di Pelabuhan Pokai. Irman ternyata sudah menunggu di pelabuhan. Malam itu kami menginap di rumah pamannya Choi. Jujum dan Kak Yanti sudah menunggu di sana.
Sampai di rumah kami disambut paman Choi dan istrinya, serta teman-teman lain yang sudah tiba lebih dulu. Suguhan kopi hitam panas membuat suasana pertemuan semakin hangat. Makan malam sudah disiapkan, kami memang sangat lapar setelah berjam-jam berada di kapal.
Setelah membersihkan badan kami berkumpul di dapur untuk makan malam dan betapa senangnya saya ketika Choi menunjukkan bilah-bilah bambu yang sudah dibakar. Ya, saya dapat menebak kalau itu adalah sagu bakar.
Yeaaay... akhirnya keinginan saya untuk mencoba makan sagu di Mentawai terwujud. Saya memang suka sekali sagu, tapi baru kali ini saya mencoba makan sagu sebagai makanan pokok pengganti nasi dan dimakan bersama lauk-pauk.
Rasanya masih aneh di lidah. Mungkin karena biasannya saya menikmati sagu diolah sebagai kudapan dengan rasa yang manis. Saya sangat menyukai sagu bakar bikinan tantenya Choi, rasannya khas dengan aroma bakar dan saya lebih menikmatinya tanpa lauk.
Makan malam selesai dengan penuh nikmat dan rasa syukur atas rezeki yang diberikan lewat orang-orang baik yang ditemui.
Malam semakin meninggi, saatnya beristirahat untuk menyambut hari esok dengan petualangan yang penuh kejutan. Sampai bertemu di perjalanan selanjutnya ya….
HARI KEDUA
Ini hari ke dua kami berada di Pokai, disambut cuaca cerah menambah semangat untuk melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Siberut dengan pompong. Mata hari sedang berada tepat di atas kepala dan kami kemudian pamit dengan paman dan tante Choi.
Selanjutnya kami akan menuju Muara Sikabaluan untuk menaiki pompong. Sampai di sana Pak Sudirman sudah menunggu kami di warung kerabatnya di Muara Sikabaluan. Ia menyambut kami dengan hangat.
Di sini pertama kali saya bertemu dengan Pak Sudirman. Ia kepala desa Bojakan, Ayahnya Irman dan juga abangnya Choi. Selama di Bojakan nanti kami akan tinggal di rumahnya. Setalah makan siang di rumah kerabat Pak Sudirman di Muara Sikabaluan, kami memulai perjalanan.
Pak Sudirman membawa barang -barang kami dengan satu pompong, sementara saya, Choi, Kak Yanti, Irman, dan Bamboo Man dalam satu Pompong.
Pukul lima sore kami sampai di Desa Sotboyak. Rapi dan bersih, itu kesan pertama saya saat pertama kali menginjakkan kaki di desa itu. Tujuan kami singgah adalah untuk menemui seorang Sikerei, sekaligus guru dari Bajak Letcu. Sikerei tersebut bernama Teu Ron Nganga.
Teu Ron Nganga berasal dari Sikabaluan. Namun sudah 40 tahun ia tinggal di Desa Sotboyak bersama istrinya. Sekitar satu jam kami berada di rumah Teu, mendengar cerita-cerita dari beliau dengan bahasa Simatalu dan Irman membantu menerjemahkannya untuk kami.
Tidak hanya bersih dan rapi, Sotboyak terkenal dengan orang-orangnya yang ramah dan sangat baik dalam menyambut tamu. Benar saja, baru sebentar kami duduk ada sekeranjang buah manggis diberikan warga yang baru pulang memetik manggis dari kebunnya.
Sekitar pukul 18.21 WIB kami melanjutkan perjalanan dari Desa Sotboyak menuju Desa Bojakan. Hari mulai gelap, ini kali pertama saya berada di sungai dengan menggunakan pompong.
Saya melihat sekeliling langit, mulai kemerah-merahan sedang cantik-cantiknya. Selain waktu subuh, saat-saat senja adalah waktu favorit saya melihat dan memandangi langit. Ada bintang yang sangat terang, tidak ada bulan di sepanjang perjalanan. Bunyi mesin pompong semakin mengusai pendengaran, sesekali mesinnya mati.
Terdengar suara burung saling bersahutan, asyik sekali. Perjalanan menuju Desa Bojakan memakan waktu saju jam lagi atau bisa lebih, jika sungai dangkal. Beberapa kali kami terpaksa turun untuk membantu mendorong pompong. Suara mesin pompong masih terdengar memecah sunyinya malam dalam gulita.
Dari atas pompong saya melihat bintang bertaburan di langit. Saya melihat lagi di sekeliling. Kanan, kiri, dan ke arah depan ada pula kunang-kunang, terbang rendah dengan bebasnya di tepian sungai di antara pohon-pohon, entah pohon pisang, entah manau atau juga sagu.
Saya lupa kapan terakhir kali melihat kunang-kunang. Tiga tahun lalu, dua tahun, atau bahkan lima tahun lalu, entahlah. Sekarang saya melihatnya sangat banyak di sini, mengingatkan saya pada film animasi Jepang tentang kakak beradik korban Perang Dunia II, Grave of Fireflies judulnya.
Saya tak ingin berhenti menatap keindahan malam itu dengan ratusan kunang-kunang, tapi saya harus mengalihkan pandangan ke layar HP. Saya tulis cerita ini di HP agar keindahan yang saya lihat, saya rasakan malam ini lebih abadi jika suatu saat nanti saya ingin melihatnya lagi lewat ingatan.
Pukul 19.50 WIB pompong yang kami tumpangi menepi. Ada gangguan sedikit, kata Choi. Kami semua turun di persimpangan sungai yang sedikit ada datarannya di hamparan tanah yang sebagian adalah lumpur, tidak luas.
Suara mesin pompong mati, suara-suara alam dari hutan Pulau Siberut saling bersaut-sautan, merdu sekali. Jujum mendapatkan kesempatan yang baik untuk merekam suara-suara alam dengan alat perekam yang dibawanya dari Padang untuk keperluan tugas akhirnya. Choi ikut menemaninya. Mereka berdiri agak menjauh dari kami.
Irman mengecek pompong, Kak Yanti dan Bajak Letcu sedang mengobrol dan saya menikmati suasana. Mungkin seumur hidup saya momen seperti ini, di tempat ini tidak akan pernah terulang lagi. Sekitar 30 menit sudah kami berada di tempat ini, semua sudah bersiap-siap pertanda bahwa akan melanjutkan perjalanan.
Malam semakin pekat, waktu menunjukkan hampir pukul 21.00 WIB. Ujung celana yang basah hingga paha dan baju yang lembab mulai memicu rasa bosan setelah berjam-jam di atas pompong.
Tidak terlihat lagi bintang, pun kunang-kunang. Nyatanya malam itu semakin gulita dan redup cahaya. Saya mulai terasa lapar, dingin dan ngantuk. Saya yakin, begitu juga dengan teman-teman yang lain. Saya mencoba menyandarkan kepala di kedua tempurung lutut yang tertekuk, tapi kurang nyaman.
Beberapa menit berlalu, dari kejauhan saya melihat tanda-tanda kehidupan. Ada cahaya-cahaya kecil, ternyata kali ini saya tidak berhalusinasi seperti saat melihat kunang-kunang yang awalnya saya kira adalah lampu-lampu dari pemukiman warga. Kali ini benar, cahaya itu berasal dari Desa Bojakan, tinggal beberapa meter lagi kami akan tiba.
Tiba di Bojakan
Sekitar pukul 21.45 WIB kami tiba di Bojakan. Irman menambatkan pompong di bibir sungai sesaat setelah kami semua turun. Rumah Irman sangat dekat dengan bibir sungai, hanya tinggal menaiki anak tangga yang terbuat dari batang pohon. Rumah yang pertama kali kami temukan setelah sungai, yaitu rumah Irman yang juga rumah Pak Sudirman sekaligus kepala Desa Bojakan.
Suasana di sekitar tampak gelap, tidak ada lampu yang menyala. Kami disambut dengan gonggongan anjing sebelum Pak Sudirman muncul dan mempersilahkan kami masuk. Rumah Pak Sudirman memiliki ruang tamu dan kamar yang terpisah dari dapur.
Dapur mempunyai bangunan sendiri, terdapat juga tungku memasak, kayu bakar dan bilah-bilah bambu yang dipakai untuk membakar sagu dan lainnya. Juga ada beberapa kursi dan sebuah meja makan panjang. Uniknya di sini, ruang dapur adalah tempat favorit untuk berkumpul dan bertukar cerita sambil menikmati kopi dan rokok.
Makan malam sudah disiapkan untuk kami. Istri Pak Sudirman dan keponakannya Lia yang menyiapkannya. Saya sangat senang ada sagu dan keladi, juga sambal yang rasanya sangat enak. Terima kasih untuk Mamak dan Lia atas sambutan hangat dan makan malam yang sangat istimewa.
Matahari sudah muncul bersamaan dengan suara ayam jantan beberapa jam yang lalu. Setelah mandi kami berkumpul di dapur menjadikan suasana semakin akrab sambil menikmati kopi dan bercerita dengan sesama penghuni rumah. Ada restu anak Pak Sudirman yang bungsu, Aris kakaknya Lia, lalu Rio yang juga masih ada hubungan saudara dengan keluarga Pak Sudirman.
Keseruan kami pada hari pertama di Bojakan dimulai dari saat pergi ke ladang memberi makan babi dan mencari toktuk durian hutan. Saya sangat beruntung karena di sini ternyata sedang musim buah-buahan. Ada manggis, rambutan langsat, dan toktuk. Kali ini Pak Sudirman yang membawa pompon. Jarak antara rumah dengan ladang menurut saya cukup jauh. Menaiki pompong, kalau saya tidak salah ingat memakan waktu sekitar 45 menit.
Sebelum menuju kandang babi, kami terlebih dulu mencari toktuk. Saya tidak ikut naik, menunggu di atas pompong saja bersama Pak Sudirman sambil mendengarkan ceritanya tentang ladang, tentang sungai, juga masyarakat yang ada di Bojakan. Tidak menunggu begitu lama, teman-teman yang lain sudah turun sambil membawa toktuk di keranjang rotan khas Mentawai.
Sebagian langsung kami makan di sungai dan sebagian lagi kami bawa. Perjalanan kembali dilanjutkan, sampai di kandang babi kami semua turun dari pompong, membawa serta toktuk dan bongkahan sagu yang dibawa dari rumah. Selain memberinya makan sagu, ternyata babi di sini juga dikasih makan toktuk. Wah, sejahtera sekali babi di sini.
Sebelum perjalanan pulang, kami mampir di rumah seorang Teteu yang masih ada hubungan kerabat dengan Pak Sudirman. Mereka berbincang-bincang cukup lama. Saya tidak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan dalam bahasa Mentawai. Sesekali saya menanyakan artinya kepada Jujum dan Choi, ternyata Pak Sudirman bermaksud menjemput babi untuk dibawa pulang ke rumah sebagai sambutan atas kedatangan kami di Bojakan.
Lama bercerita sambil memakan manggis dan rambutan, tidak terasa hari mulai sore. Kami pun pamit pulang dengan membawa seekor babi hidup yang dibungkus dengan daun sagu.
Otcai, Kearifan Lokal Orang Mentawai
Mamak dan Lia sudah menunggu di rumah. Ada Rio, Haris, dan beberapa tetangga. Setiba kami di rumah, babi tersebut segera dieksekusi untuk makan malam.
Saya tidak bisa melihat hewan apapun disembelih, termasuk babi. Maka saya menjauhkan diri dan mencari kesibukan lain. Hari mulai gelap, sudah memasuki waktu makan malam.
Semua sedang berkumpul di dapur menunggu babi yang sedang direbus di atas kayu api.
Spesial buat saya dan Kak Yanti mamak menyiapkan gulai ikan untuk kami santap saat makan malam bersama nanti. Di sini saya kembali belajar akan nilai toleransi secara nyata, bukan hanya sekedar berkoar-koar kalau mereka cinta dan menjunjung tinggi toleransi.
Setelah babi tersebut matang, ada dua orang laki-laki yang bertugas memotong-motong daging tersebut di atas daun pisang. Semua bagian dibagi sama rata dan ditumpuk sesuai dengan jumlah penguhi rumah yang ada malam itu.
Saya mendapat penjelasan dari Pak Sudirman bahwa tumpukan-tumpukan daging tersebut disebut otcai. Dibagi sama rata dengan bagian tubuh babi yang juga sama. Otcai merepresentasikan makna adil dan setara antara satu dengan yang lainnya.
Semua anggota kelarga atau penghuni rumah harus dapat bagian, termasuk saya dan Kak Yanti. Bagi kami yang tidak boleh memakan daging babi, pembagian itu hanya sebagai simbol dan syarat saja. Setelah itu bagian saya dan Kak Yanti itu akan diserahkan kepada tetangga atau saudara yang ada di luar rumah tersebut.
“Wah, saya berasa sedang melihat tumpukan daging kurban di mesjid-mesjid saat Idul Adha, Pak. Daging kurban juga dibagi sama rata pada setiap tumpukannya, tidak ada yang mendapat daging, kulit, atau tulang saja. Semua bagian tubuh hewan yang disembelih harus dibagi rata," kata saya kepada Pak Sudirman.
“Ya begitulah agama ataupun adat mengajarkan kita tentang adil, semua adat dan agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan.”
Saya terkagum mendengar jawaban Pak Sudirman yang bijaksana.
Besoknya kami ke air terjun Bojakan. Jalannya melewati sungai dan memasuk hutan. Saat yang paling memuakkan adalah ketika menyeberang sungai, lalu naik, kemudian menapaki medan yang tanahnya licin. Seketika tanah-tanah itu menempel di sandal swallow yang saya pakai, membuat jalan semakin susah. Memakan waktu sekitar satu jam untuk kami sampai di lokasi.
Dari rumah kami membawa bekal talas yang dalam bahasa lokal dinamakan gette yang sudah direbus dan mie instan yang belum dimasak. Tidak lupa juga kami membawa kopi dan juga air minum.
Seolah punya air terjun pribadi di belakang rumah, benar-benar hanya ada kami di sana. Tidak ada pengunjung lain dan yang terpenting adalah tidak ada sampah plastik.
Sejuk, tentram damai, hanya ada suara burung-burung, suara air yang jatuh mengenai batu, dan suara-suara tawa kecil kami mengisi suasana siang hari saat itu.
Sebelum perut terasa lapar, Irman dan Rio, juga Restu menyiapkan makan siang. Merebus mie instan sebagai teman makan gete’ yg sudah kami bawa dari rumah. Mie instan dimasak di dalam bambu yang diambil di sekitar sungai.
Ketika Restu sedang sibuk memancing, kami berempat, saya, Kak Yanti, Choi, dan Jujum mengobrol sambil berendam di bawah kucuran air terjun. Rasanya seperti kena terapi air di kepala merasakan sensasi air terjun yang tidak terlalu deras itu. Kami berendam lama-lama, lalu makan siang saat perut mulai lapar.
Kami makan siang di atas batu di pinggir sungai. Semua makanan ditaruh di atas daun pisang. Kami berkumpul mengelilingi daun pisang yang masih utuh sebagai alas. Mie instan dan gete’ rebus, makan siang ternikmat kami saat itu.
Setelah makan berendam lagi dan pulang menyusuri sungai mencari toktuk yang jatuh. Lalu memakannya. (Desti Ariani)
Desti Ariani adalah traveler asal Meulaboh, Aceh. Tulisan-tulisan petualangan alumnus Sosiologi Universitas Sumatera Utara ini bisa dinikmati di blognya https://pergidulubentar.blogspot.com/