SETELAH Budget Travel (www.budgettravel.com) memilih Nagari Pariangan di Tanahdatar, Sumatera Barat sebagai satu dari 16 desa terindah di dunia (16 Most Beautiful Towns in the World) pada 22 Februari 2012, saya menjadi penasaran ingin datang lagi ke sana.
Nagari Tuo Pariangan adalah desa yang dipercaya tertua dan asal nenek moyang orang Minangkabau. Nagari indah di lereng selatan Gunung Marapi. Beberapa tahun lalu saya pernah ke nagari ini, tapi hanya lewat dan singgah sebentar.
Saya masih ingat saat itu datang sore disambut cahaya langit keemasan. Gunung Marapi tampak dekat dan rendah, mungkin karena nagari ini sudah berada di pinggangnya.
Perempuan muda dan tua masih memakai sarung yang dililitkan di pinggang. Sedangkan lelaki juga bersarung, diselempangkan di dada atau dikelumunkan di badan untuk mengusir dingin.
Para pria membawa anjingnya jalan-jalan dengan tali yang terikat di leher dan ujung dipegang kedua tangan, kanan dan kiri, karena jumlah anjing bisa sampai empat ekor.
Akhirnya saya ke Pariangan lagi Sabtu kemarin, bertiga dengan teman saya, Zhu dan Donal. Donal kenal seluk-beluk desa terindah ini. Kami berangkat dari Bukittinggi hingga masuk ke Kota Padangpanjang. Kemudian melanjutkan arah Batusangkar. Hanya 5 km dari Padangpanjang terdapat simpang di kiri.
Tapi karena belum pernah blusukan ke jalan-jalan sekitar Pariangan, akhirnya kami melewati jalan kecil yang mendaki di Nagari Gunung dan Andaleh dari Padangpanjang. Di kanan kiri tampak sawah berundak-undak.
Di satu tikungan yang tinggi terlihat Danau Singkarak di kejauhan, berwarna biru muda, dikelilingi pohon dan sawah berwana hijau muda. Indah sekali.
Kami meneruskan perjalanan, tiba di Jorong Sikaladi yang sudah masuk ke Nagari Pariangan.
“Di sini ada ritual menarik pada hari raya Idul Fitri keenam, namanya Ratik Tagak, ritual berdoa di kuburan yang ada di atas bukit, berzikir sambil berdiri, sementara ibu-ibu membawa jamba di kepala yang berisi makanan, nasi bungkus, dan masakan lain, setelah berdoa lalu makan bersama, menarik sekali,” kata Donal menunjuk jalan menuju kuburan di atas bukit itu.
Kami melanjutkan perjalanan, kembali bertemu jalan raya Padangpanjang-Batusangkar. Tak berapa lama tiba di gerbang Nagari Pariangan. Hanya 20 meter ke dalam, kami berhenti dan turun dari kendaraan. Di lembah di bawahnya langsung terlihat Nagari Pariangan. Nagari penuh legenda yang disebut-sebut tempat asal mula alam Minangkabau, saat Gunung Marapi masih sebesar telur itik.
Sore itu nagari ini juga terlihat cantik, dinaungi puncak Gunung Marapi yang mengintip di balik punggungan bukit. Cuaca cerah, para lelaki membawa anjing berburu mereka jalan-jalan sore.
Terlihat menonjol beberapa rumah gadang tua yang tidak begitu besar dan ada Masjid Ishlah yang atapnya bersusun tumpang empat seperti umumnya surau tua Sattariyah, terlihat unik.
Inilah Pariangan seperti yang ada dalam foto-foto. Sayang rumah-rumah modern dari tembok juga sudah tumbuh. Agak mengganggu karena mulai mendominasi rumah-rumah lama.
Ini bagian Nagari Pariangan yang belum pernah saya lihat. Tak jauh dari saya berdiri, ada sebuah batu Prasasti Pariangan yang cukup besar, ditutup atap dan berpagar besi. Batu ini benda cagar budaya yang dilindungi.
Ada anak tangga selebar dua meter yang menjadi jalan yang menurun dan mendaki yang akan mengantar kita masuk ke Nagari Pariangan yang ada di bawahnya. Kami berjalan-jalan menapaki tangga yang menurun itu dan bertegur sapa dengan warga yang berpapasan.
Mereka kelihatannya pulang dari pemandian umum di depan masjid, membawa cucian dengan ember di tangan.
Tiba-tiba saya dikejutkan dengan sapaan ramah seorang perempuan paruh baya berambut keriting. Ia menanyakan saya dari mana. Kami ngobrol di tengah jalan. Nama panggilannya Uniang, nama aslinya Midiarti.
Dalam sekejap kami menjadi akrab. Ibu-ibu lainnya juga mendekat, Saya tertarik menanyakan kapan jalan setapak berundak-undak dari semen itu dibuat. Uniang memandang saya sambil tertawa.
“Tidak tahu, sejak 56 tahun lalu saya dilahirkan, jalan ini sudah ada,” katanya diiyakan para perempuan yang lebih tua.
“Ini sudah lama, sejak nenek moyang dulu jalan ini sudah ada,” kata seorang perempuan tua menimpali.
Saya takjub pada perkampungan tua ini. Memuji keindahannya.
“Katanya terindah di dunia, tapi kami di sini miskin semua,” kata Uniang tiba-tiba, mengagetkan saya.
“Lihat rumah-rumah gadang itu, yang punya sudah tua-tua, sebentar lagi roboh tidak ada yang mampu memperbaiki,” katanya lagi.
Ketika saya menyarankan mulai memikirkan membuat homestay di rumah gadang mereka untuk menerima tamu, Uniang tertawa.
“Uangnya dari mana,” katanya terkekeh.
Akhirnya Uniang memaksa saya jalan-jalan di tengah kampung. Dia terlihat bersemangat menjadi “guide” saya. Ada beberapa pemandian air panas yang hedak dia tunjukkan. Selain untuk pemandian umum, sumber air panas juga muncul di halaman rumah beberapa warga.
Kami sampai di depan masjid yang tadi saya lihat dari ketinggian. Uniang memaksa saya masuk ke pemandian air panas yang tak jauh dari masjid. Ada pemandian khusus untuk lelaki, juga untuk perempuan yang terpisah. Juga ada toilet umum.
Saya masuk dan di dalam tempat pemandian banyak perempuan, dari setengah baya hingga nenek-nenek sedang mandi pancuran air hangat yang mengalir dari bak semen. Ada beberapa pancuran.
Ada yang mandi, ada juga yang mencuci pakaian. Saya “surprise” karena masih menemukan pemandian bersama, seperti pada kampung-kampung lama di masa lalu. Saya juga agak terkejut karena para perempuan ini mandi dengan basahan yang sangat minim bersama-sama.
Kami keluar dan Uniang mengantar saya hingga ke depan masjid. Karena dia juga akan mandi.
Suasana kampung sore itu sangat terasa di Nagari Pariangan. Sayangnya kami tidak punya waktu banyak untuk mengeksplorasi Nagari Pariangan lebih ke dalam lagi dan mengelilinginya. Lain waktu saya akan ke sana.
Saya ingat minggu lalu pernah ngobrol dengan Eko Alvares, seorang arsitek rumah gadang dari Universitas Bung Hatta di Padang.
Menurutnya di Nagari Pariangan kita bisa belajar banyak tentang Alam Takambang Jadi Guru. Ini falsafah inti Minangkabau.
“Kalau kita tahu potensi Pariangan, ada banyak spot historis, sawah satampang baniah, kuburan panjang, rumah gadang dengan berbagai tipe, serta Masjid Ishlah yang unik, ada kampuang Sungai Pisang di bagian atas yang sangat indah,” kata Eko.
Tetapi belakangan ini, menurutnya banyaknya muncul warung dan tempat ngopi yang agak menggangu. Termasuk juga bangunan baru yang mulai merusak Pariangan.
“Perlu pengendalian, mana yang boleh dan tidak boleh, sehingga keunikan dan keaslian tidak hilang, lihat saja tower masjid yang baru itu, sangat mengganggu dan tidak meningkatkan kualitas ruang, jadi saya pikir tidak perlu begitu banyak intervensi fisik dan infrastruktur di nagari ini,” katanya.
Budgettravel.com memilih 16 desa terindah di dunia karena nuansa keasliannya sebagai desa tertua. Pariangan disebut sebagai desa Minangkabau tertua yang sangat penting secara kultural dan memiliki banyak contoh arsitektur rumah tradisional Minangkabau dengan atap runcing yang terawat. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)