MELEWATI jembatan yang menyeberangi sungai Batang Sukam yang juga menjadi gerbang Jorong Padang Ranah, dari jauh terlihat patung Bundo Kandung berpakaian adat dengan tingkuluk tanduk menutup kepala. Patung itu berdiri di persimpangan seakan menyambut tamu yang datang.
Jorong Padang Ranah di Nagari Sijunjung, sebuah kampung yang dibangun pada abad ke-14. Sebuah kampung tradisional yang selama ratusan tahun masih mempertahankan keaslian budaya matrilineal dalam kehidupan sehari-hari warganya.
Di pagi yang berkabut karena asap kebakaran hutan dan lahan di provinsi tetangga akhir Oktober 2015 suasana di Jorong Padang Ranah, Nagari Sijunjung, Sumatera Barat tampak semakin misterius. Kabut tebal melingkupi atap-atap rumah bagonjong yang runcing serta menyelimuti pohon-pohon kelapa yang ada di belakangnya.
Berada di Padang Ranah seperti menemukan perkampungan tradisional Minangkabau di masa lalu. Pada satu ruas jalan sepanjang satu kilometer berderet 56 rumah yang tersambung dengan Jorong Padang Bato, kampung yang memiliki 20 rumah gadang pada ruas jalan yang sama.
Rumah gadang yang berusia seabad berbaris rapi di kanan-kiri jalan. Hanya jalan beraspal dan parabola yang menandakan kehadiran dunia modern. Begitu juga televisi dan telepon genggam. Namun ritual-ritual adat tetap bertahan.
Rumah gadang dengan halaman yang luas menampilkan keunikan dan ciri tersendiri mengikuti asal suku pewarisnya. Suku Chaniago, Malayu, Panai, Tobo, Piliang, dan Malayu Tak Timbago.
Karena itu langgam rumah gadang agak berbeda satu sama lain. Rumah gadang suku Piliang terlihat lebih besar, karena memiliki anjung atau ruangan tambahan yang ditinggikan di bagian ujung rumah. Beberapa rumah gadang memiliki serambi depan sehingga gonjongnya berjumlah lima. Juga ada rumah gadang dengan gonjong empat dan gonjong dua.
Bangunan rumah gadang tidak mengelompok menurut suku, tapi membaur antar suku. Perkampungan tua ini diyakini para tetua adat didirikan pada abad ke-14, sezaman dengan Adityawarman mendirikan Kerajaan Pagaruyung di Saruaso, Tanah Datar.
Kampung ini dibentuk atas kesepakatan enam suku di Nagari Sijunjung. Dahulu di Nagari Sijunjung terdapat rumah gadang di beberapa tempat di tiap jorong (kampung). Tetapi kemudian disepakati rumah gadang hanya didirikan di Jorong Padang Ranah dan Jorong Tanah Bato yang letaknya dalam satu ruas jalan yang sama dengan jumlah seluruhnya 76 rumah.
Mengapa enam suku bisa menyatu membentuk rumah gadang dalam satu kawasan? Menurut Hafrisal Datuak Pangulu Sati dari Suku Malayu Tobo, karena kukuhnya rasa persatuan di Nagari Sijunjung saat itu.
“Dulu sebelulumnya rumah gadang ini berpencar, untuk kesempurnaan adat mereka sepakat membuat rumah gadang untuk di satu kawasan yaitu di Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato, di luar itu tidak boleh diselenggarakan ritual adat,” kata Datuk Pangulu Sati.