TIGA tahun lalu kami sekeluarga memilih menelisik gugusan pulau di barat daya Aceh, yaitu Kepulauan Banyak. Kami menemukan keramahan warga nan sejati dan pertanyaan tentang pemanasan global
Di Kepulauan Banyak, dua anak saya, Arung dan Azzura, masing-masing 6 dan 9 tahun, serasa di kampung sendiri. Orang-orang berbahasa Minangkabau dengan lancar. Logat mereka sedikit berbeda. Mereka bebas bercakap-cakap dalam bahasa ibu yang mesra.
KM Muara Singkil sudah pergi dari kemarin, meneruskan perjalanan ke Nias, membawa orang dan bahan perniagaan. Tapi saya dan keluarga masih terkurung di Pulau Balai, satu-satunya pulau yang memiliki pelabuhan besar, cukup untuk menyandarkan kapal berbobot 350 gross tonnage (GT) itu.
Penyeberangan kami sekeluarga dari Singkil ke Pulau Balai dicandai dengan gelegar petir, gelombang menghempas, dan badai merajai angkasa. Musim mungkin sedang tidak bersahabat.
“Ayah, apakah badai pertanda perubahan iklim?” tanya mereka.
Orang-orang Pulau Balai menyapa ramah, menawarkan tempat menginap atau sekedar beristirahat. Kami memilih penginapan sederhana tapi luas, Losmen Putri. Bangunan semi permanen yang bersih.
Azwardin, 38 tahun, membawa kami ke rumahnya. Istrinya menyiapkan hidangan malam usai berbuka puasa. Ikan sambam, ikan yang dibakar dengan bungkus daun pisang, sop kepiting serta sambal terasi menunggu untuk disantap. Makanan terlezat yang kami santap selama pengembaraan ini.
Menurut Azwardin, hasil laut sekarang sulit didapat. Nelayan tradisional tidak bisa melaut sebebas sediakala. Kapal-kapal besar menciderai keadilan nelayan kecil. Kedua anak saya menggali jawaban tentang cara melaut para nelayan kecil dari saudara angkatnya, anak-anak Azwardin.
Speedboat membawa kami meluncur ke Pulau Malelo, hampir dua jam perjalanan dari Pulau Balai. Malelo konon dulunya adalah pulau yang cukup luas, kelapa mengiasi isi pulau itu. Kini Malelo nyaris menyisakan tunggulnya saja. Ribuan dara laut terusik ketika perahu kami mendarat.
Dua anak saya membantu menanam kelapa di pulau itu. Mereka berharap Malelo akan kembali seperti sediakala.
“Di sini dulu ada lebih dari 100 pulau, tapi tsunami 2004 menguburkan sebagian pulau-pulau itu dan menjadikanya gosong,” ungkapnya.
Badai dari utara mengancam, kami harus segera kembali ke Pulau Balai. Badai kemarin tampaknya masih akan berlangsung selama beberapa hari ke depan.
Azwardin membawa kami ke Pulau Rangit Kecil sehari sebelum bertandang ke Malelo. Pulau ini merupakan salah satu pulau yang nyaris bernasib sama. Pasir putih menghampar di tepian pantai. Beberapa pohon tampak meranggas, hampir mati.
Kedua anak saya mencoba menerka apa yang sudah terjadi.
“Mungkinkah air laut naik akibat es di kutub mencair?” tanya Azzura.
Pertanyaan yang saya jawab dengan senyum. Saya membiarkan mereka bermain girang bersama kerang yang berserak di bibir pantai.
Azwardin menceritakan pulau itu semula cukup luas sebagai kebun kelapa. Kini, Pulau Rangit Kecil tidak berpenghuni. Pantainya sudah turun hingga beberapa meter ke laut.
Pulau ini, kata Azwardin, dulu menyatu dengan Pulau Rangit Besar yang bersisian. Kenaikan air laut membuat kedua pulau terpisah.
Kami bertemu Salman di Pulau Teluk Nibung, sejam perjalanan laut dari Pulau Balai. Di atas tungku, Salman menjerang air di dalam drum. Dia sedang mengolah teripang. Arung dan Azzura terlibat mengaduk isi drum, tapi tak tahan dengan bau amis teripang. Mereka lari menjauh.
Keduanya masih menyisakan pertanyaan, mungkinkah teripang juga terpengaruh air pasang?
Saya membiarkan mereka menemukan jawaban lewat buku-buku yang mereka bawa. Istirahat sore kami di penginapan tentu memberikan mereka waktu mendiskusikan persoalan itu. (Syafrizaldi Aal/ JurnalisTravel.com)