PADA mulanya saya tidak begitu tertarik mengunjungi makam Tuanku Imam Bonjol. Saya pikir, apa menariknya kisah Tuanku Imam Bonjol yang sudah banyak ditulis orang. Termasuk kisah kematiannya di tanah pembuangan di Minahasa, Sulawesi Utara.
Tapi saya tidak menyangka lokasi makamnya kini berada tak jauh dari saya.
"Abang tidak ingin melihat makam Tuanku Imam Bonjol?" entah tanya Tole (Onal Parera) atau Agust Hari yang menemani traveling saya bersama Eva Aruperes dari Manado ke Minahasa dan Tomohon.
Tanya itu seakan memastikan, kenapa saya yang jauh dari Sumatra Barat, sekampung dengan Tuanku Imam Bonjol, tidak tertarik melihat makam pahlawan nasional tersebut.
"Tuanku Imam Bonjol itu Wahabi, gerakannnya mirip dengan ... (kata saya menyebut satu ormas) sekarang, intoleran," jawab saya beralasan.
Tapi saya agak menyesal mengeluarkan pendapat tersebut, karena teman-teman saya ini ternyata tidak begitu meresponnya. Saya menangkap sinyal, mereka tidak begitu tertarik dengan konflik perbedaan agama dan makam Tuanku Imam Bonjol mestinya sesuatu yang menarik untuk dikunjungi.
"Tempatnya tidak jauh, bukan?" tanya saya sedikit enggan.
"Tuh, di depan..." kata Tole sambil meminggirkan mobil.
Ah, ternyata makam ini berada di pinggir jalan yang akan kami lewati dari Manado menuju Tomohon. Meski telah berada di Kabupaten Minahasa, tepatnya di Desa Lotta, Kecamatan Pineleng, namun benar-benar tak jauh dari Kota Manado.
Keluar dari mobil, mata saya tertumbuk pada masjid kecil di seberang jalan. Karena di sana ada plang bertuliskan "Mesjid Imam Bonjol". Kemudian saya tahu masjid itu tidak ada nilai sejarahnya, karena dibangun baru-baru ini.
Saya membalikkan badan menaiki anak tangga menuju bangunan makam Tuanku Imam Bonjol yang agak tersuruk. Atap gonjong, bangunan rumah adat Minangkabau, muncul di atas rimbunan pepohonan.
BACA JUGA: BERKUNJUNG KE KOTA IMPIAN, MANADO
Seorang pria menyambut kami. Ia bernama Abdul Muthalib Popa atau Thalib Bonjol. Ia mengaku generasi kelima keturunan Apolos Minggu. Apolos Minggu adalah pengawal Imam Bonjol ketika berada di sini. Apolos kawin dengan gadis Minahasa dan Popa adalah keturunan kelima.
"Tuanku Imam Bonjol sakit dan meninggal di tangan leluhur saya," katanya.
Sjafnir Aboe Nain Dt. Kando Marajo dalam bukunya Tuanku Imam Bonjol, Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau (1784-1832), Penerbit Esa Padang: edisi revisi 2008 menyebutkan, Apolos Minggu adalah seorang kopral tentara Belanda yang ditugaskan mengawal Tuanku Imam Bonjol di Lotta sejak kedatangannya pada 1850. Ia dikawinkan dengan putri Mayor Parengkuan bernama Wilhelmina Parengkuan.
"Keturunan Apolos Minggu menjaga makam Tuanku Imam Bonjol, hubungannya akrab dengan Tuanku Imam, sehingga sampai sekarang mereka mengaku keturunan Tuanku Imam Bonjol," tulis Sjafnir.
KISAH RUMAH GONJONG
Popa mengatakan, pembangunan dengan arsitektur bagonjong makam Tuanku Imam Bonjol dilakukan era Gubernur Sumatera Barat Azar Anas yang mengumpulkan sejumlah kontraktor.
"Tapi sekarang kondisinya sudah banyak yang rusak dan belum diperbaiki, atap di atas makam ini bocor, kalau hujan air tergenang di lantai dekat makam, tapi belum ada pihak yang berencana memperbaiki," katanya.
Sejumlah plafon di bagian luar ruangan juga sudah copot kayu-kayunya. Renovasi sangat dibutuhkan terhadap bangunan ini.
Sjafnir menulis, lokasi makam Imam Bonjol ini berada di atas tanah seluas 50 X 30 meter. Tanah ini dibeli oleh Bundo Kanduang Manado, yaitu organisasi perantau Minang di Manado. Meski begitu, dulunya tanah ini juga sudah dibeli Tuanku Imam Bonjol dari Tuan Agisir, seorang Belanda, seharga 168 gulden 88 kepeng.
Namun, di prasasti depan pagar areal makam tertulis, pemugaran dilaksanakan oleh masyarakat Sulawesi Utara melalui partisipasi Pemda Sumatera Barat. Prasasti diteken koordinator pemugaran Freddy T. Rorimpandey dan diketahui Gubernur Sulut C. J. Rantung bertanggal Desember 1992. Ada 10 perusahaan tertera pada prasasti, ditambah keluarga C. J. Rantung-Karempouan.
Sedangkan di dinding bagian dalam bangunan, dekat makan Tuanku terdapat sebuah prasasti hitam bertulis: "Taman Makam Pahlawan Tuanku Imam Bonjol ini diprakarsai, dirancang, dibiayai dan dibangun oleh Keluarga Besar Bundo Kanduang (ada bagian yang dihapus)".
DIBUANG DARI RANAH MINANG
Munculnya nama Tuanku Imam Bonjol tidak terlepas dari lahirnya gerakan radikal (pembaruan Islam) yang berdalih pemurnian ajaran Islam di Minangkabau (Sumatera Barat) pada 1780-an.
M. C. Rickleft dalam bukunya yang tebal, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta: 2005) menyebutkan, gerakan tersebut terkenal dengan nama Paderi karena pimpinannya adalah orang Pidari atau "orang dari Pedir" yang telah pergi naik haji ke Mekah melalui pelabuhan Aceh yang bernama Pedir. Mereka terpengaruh oleh gerakan Wahhabi yang sedang naik daun di Mekah.
Gerakan Paderi di Minangkabau akhirnya memuncak menjadi gerakan yang sangat keras. Penduduk Minangkabau waktu itu juga memeluk Islam, namun masih menjalankan ajaran adat mereka desak untuk mengikuti ajaran yang mereka pahami.
"Gerakan Paderi menentang perjudian, sabung ayam, aspek-aspek hukum adat setempat yang didasarkan pada garis ibu atau matrilineal (khususnya mengenai warisan), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga ketaatan yang umumnya lemah terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan Islam yang formal," tulis Ricklefs.
Puncaknya, kaum Paderi membantai secara massal keluarga Kerajaan Pagaruyung ketika mereka diundang untuk berunding di Koto Tangah. Kronologis kejadian dua versi. Ada yang menyebut keluarga kerajaan memang dijebak untuk dihabisi oleh kaum Paderi. Ada yang menyebut pembantaian terjadi setelah perundingan berlangsung panas dan kaum Paderi lebih siap untuk perang daripada keluarga kerajaan.
Sebagian keluarga kerajaan yang selamat, ada yang luka-luka berhasil meloloskan diri. Sisa keluarga Kerajaan Pagaruyung kemudian meminta bantuan Inggris. Karena tidak digubris, akhirnya mereka meminta bantuan Belanda yang mulai bercokol di Padang.
Inilah pintu masuk Kolonial Belanda di Sumatera Barat yang dimulai pada 1821. Belanda menyerang kaum Paderi yang memberikan perlawanan dengan sengit. Nama Tuanku Imam Bonjol kemudian muncul sebagai pimpinan Paderi yang terkenal.
Gerakan Paderi dikalahkan selama-lamanya oleh Belanda pada 1837. Tuanku Imam Bonjol ditangkap ketika memenuhi undangan Belanda di Palupuh (daerah antara Bonjol, Kabupaten Pasaman dengan Kota Bukittinggi). Ia ditandu dari Bukittinggi hingga ke Padang, kemudian dinaikkan ke atas kapal di pelabuhan Pulau Pisang. Bersamanya ikut anak laki-lakinya, kemenakannya, semendanya, dan seorang Jawa pengikutnya.
Imam Bonjol dibawa ke Cianjur (Jawa Barat). Setahun kemudian dipindahkan ke Ambon. Kemudian dipindahkan ke Manado. Mula-mula ke Koka, terakhir di Lotta, tempat kuburannya sekarang. Selama pembuangan, ia mendapat uang pensiun dari Pemerintah Belanda untuk biaya hidup.
MISTERI KEMATIAN IMAM BONJOL
Pada batu nisan Tuanku Imam Bonjol yang terletak di tengah bangunan berlantai keramik putih tertulis: "Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin gelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional. Lahir 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol, Sumbar."
"Wafat 8 November 1864 di Lota, Minahasa dalam pengasingan pemerintah Kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan tanah air, bangsa, dan negara."
Sjafnir mengoreksi tanggal kematian ini. Menurutnya, kematian Tuanku Imam Bonjol yang benar adalah Selasa, 6 November 1854. Saat itu Tuanku berusia 83 tahun. Jika mengikuti tahun resmi Belanda seperti yang tertera pada nisan, usia Tuanku Imam Bonjol ketika meninggal adalah 92 tahun. Jadi ada selisih 10 tahun.
Ia menyebutkan, cerita bagaimana Tuanku Imam Bonjol meninggal di Lotak agak gelap. Cerita rakyat setempat mengatakan, Tuanku Imam hilang dibawa musuh ke utara, pada saat hari perkawanan Apolos Minggu dengan Wihelmina Parengkuan. Kepala Tuanku Imam ditemukan terpisah dari badannya, kemudian dikuburkan di hulu Sungai Ranotahan di Desa Kali.
Sedangkan dari buku catatan Belanda tentang Tuanku Imam Bonjol disebutkan, Tuanku sakit selama 10 tahun dan meninggal Selasa, 12 November 1864.
Laporan kematian Tuanku berbeda 10 tahun dari laporan residen Manado tanggal 13 November 1854 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Bogor yang menyatakan dengan meninggalnya Tuanku Imam tanggal 6 November 1854, maka tunjangan Tuanku Imam dibagikan kepada Sutan Saidi (anaknya), Abdul Wahab (kemenakannya), dan Magindo Tanlobe (Bagindo Tan Labih), semendanya.
"Setahun kemudian, anak dan kemenakan Tuanku Imam Bonjol tersebut kembali ke Minangkabau yang menandakan Tuanku Imam Bonjol telah meninggal," tulis Sjafnir.
Sjafnir menduga Pemerintah Belanda sengaja tidak mengumumkan kematian Tuanku Imam Bonjol hingga sepuluh tahun kemudian karena khawatir pengikutnya di Sumatra Barat bergejolak.
BATU TEMPAT SALAT TUANKU
Di dinding belakang bagian dalam banguan, dekat makan Tuanku Imam Bonjol terdapat tulisan yang menjelaskan, 60 meter arah belakang makam terdapat tempat keramat Tuanku Imam Bonjol, yaitu batu tempat salat Tuanku Imam Bonjol.
Popa memandu kami menuruni anak tangga yang berbelok ke arah pinggir sungai kecil. Air sungai jernih dan beberapa batu terlihat menonjol cukup besar di dalamnya. Sebuah bangunan beratap seng yang masih baru berdiri di sana.
Ruangan bangunan itu dibagi dua. Satu adalah tempat sebuah batu besar yang datar terletak mengarah kiblat. Di depannya, hanya berjarak satu meter, terdapat sebuah sumur. Satu ruangan lagi dijadikan musala untuk pengunjung.
"Batu ini tempat Tuanku Imam Bonjol salat selama di sini, sedangkan sumur itu tempat ia berwuduk," jelas Popa.
Ada gayung plastik di sana. Saya berencana membasahi jidat dan rambut dengan airnya.
"Airnya boleh diminum juga," kata Popa.
Saya pun meminumnya seteguk. Lalu duduk di atas batu merasakan seorang Tuanku Imam Bonjol tua di masa lalu duduk di sana salat dan berzikir. Mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan menjauhkan bayangan dari perjuangannya di Sumatra's Westkust, nama Sumatra Barat yang diberi Belanda waktu itu.
Sayangnya, saya mencari literatur tentang Imam Bonjol setelah meninggalkan tempat ini. Jadi, saya sangat tidak memiliki persiapan untuk bertanya lebih dalam kepada Popa. Di buku Sjafnir terdapat sebuah gambar hitam putih tanpa tahun yang memperlihatkan batu ini dan sebuah sumur.
Tapi ada yang berbeda di foto tersebut dengan kondisi sekarang. Batu tempat salat Tuanku Imam Bonjol dilindungi semacam gazebo beratap sirip (kayu) tanpa dinding. Sedangkan sumur kecil dari batu bersemen lingkaran berada di pinggir sungai juga di sebelah kanan berjarak sekitar 2 meter. Posisi sumur ini berbeda dari sumur sekarang yang terletak dekat tebing yang dekat sekali dari batu tempat salat.
Kemungkinan ada pemindahan lokasi sumur dari lokasi semula ke tempat sekarang.
Setengah jam kami di lokasi ini, lalu kami pun kembali, mendaki menapaki anak tangga di rindang pohon bambu.
Saya teringat dengan ceramah Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sudah tiga kali diulangnya saat berpidato di beberapa lokasi di Sumatra Barat.
"Ranah Minang ini gudang Pahlawan Nasional, tetapi semua mereka berjuang dengan otak, bukan dengan senjata, coba perhatikan foto-foto mereka, tidak satupun yang memakai senjata, beda dengan daerah lain.... kecuali yang satu itu, tapi ia kan memakai kuda," katanya berseloroh menimbulkan gelak hadirin.
Saya juga teringat pada tulisan seorang teman yang menulis tentang makam seorang pimpinan Paderi lainnya di Sumatra Barat. Kuburan pimpinan paderi itu juga dilapisi keramik, dinaungi bangunan beratap, dan berpagar.
Teman itu menulis, betapa ironisnya perjuangan tokoh Paderi tersebut. Saat hidup mereka memperjuangkan pada pemurnian ajaran Islam. Termasuk larangan membangun kuburan para pemimpin agama supaya tidak dijadikan tempat keramat atau ziarah. Tapi, setelah mereka meninggal justru itu terjadi kepada mereka sendiri.
Tapi pada zaman sekarang siapa yang peduli dengan hal semacam itu. Tuanku Imam Bonjol telah memainkan peran di zamannya, meski dengan jalan pedang. Lalu ia meninggal dan dimakamkan di negeri yang penduduknya mayoritas bukan muslim.
Kuburannya juga dilindungi dengan bangunan beratap rumah adat Minangkabau. Sebuah arsitektur adat Minangkabau yang diwariskan dari zaman Hindu-Buddha. Memang kalau dipikir-pikir ironis juga.
Dan saya pun melanjutkan perjalanan traveling melihat keindahan alam Minahasa dan Kota Tomohon. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)