SAYA bercakap dengan Dr. Fransiskus Borgias, dosen Universitas Parahyangan Bandung melalui pesan WhatsApp-nya pada akhir November 2017. Kami terlibat dalam diskusi panjang tentang kisah-kisah heroik orang-orang dari luar yang berani mengarungi samudera luas sampai tiba di perairaan Warloka di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores, NTT (Nusa Tenggara Timur).
Di masa perdagangan lintas benua, Warloka merupakan tempat terbaik dari berbagai kapal dagang untuk berlabuh. Tempat itu berada di pinggir laut di perairan Labuan Bajo. Para pedagang lintas benua selalu menyandarkan kapal mereka di tempat itu sambil berdagang.
Konon dikisahkan bahwa pedagang dari negeri sejuta bambu, Cina dan Vietnam terlibat dalam transaksi dagang di tempat itu. Setelah barang dagangan mereka terjual habis, mereka berlayar menuju ke negeri lain di Indonesia, maupun kembali ke negeri mereka untuk mengambil barang-barang lainnya.
Dikisahkan secara lisan oleh orang Manggarai Raya bahwa pedagang dari nergeri lain membawa dagangan mereka berupa piring, keramik, dan alat-alat pertanian. Sampai di sini dulu kisah tentang ini.
Kembali ke judul, saya termotivasi dengan diskusi saya dengan Borgias, selanjutanya, saya mencari waktu untuk menggali dan menapaki kisah-kisah orang Minangkabau pertama yang mendarat di Warloka.
Kesempatan emas untuk menggali dan menapaki kisah juang dari orang Minangkabau tiba. Saya diundang Dr. Agustinus Bandur, dosen Pascasarjana Universitas Bina Nusantara untuk meliput kunjungan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Prof. Yohana Yembise.
Seminggu sebelum kunjungan itu, Bandur menelepon saya untuk meliput kunjungan pertama seorang Menteri yang langsung ke kampung terpencil di Pulau Flores. Saat itu juga saya menjawabnya sanggup untuk meliput itu, apalagi kunjungan selevel menteri yang sangat cocok diliputan media nasional.
Setahu saya selama ini kunjungan selevel menteri hanya di ibukota provinsi maupun ibukota kabupaten. Berbeda dengan Ibu Menteri ini yang berani mengunjungi pelosok kampung dengan fasilitas terbatas. Kunjungan Ibu Yohana ini atas undang Agustinus Bandur setahun sebelumnya.
Kunjungan Ibu Menteri, Kamis, 23 November 2017 saya manfaatkan untuk menggali kisah perjalanan dari orang-orang Minangkabau pertama bersama jejak-jejaknya. Untuk perjalanan dari tempat tinggal saya di Waelengga, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur harus menempuh perjalanan darat selama enam jam. Perjalanan yang melelahkan. Saya putuskan pergi sehari sebelum jadwal kunjungan menuju ke Kampung Paang Lembor, Desa Wae Bangka, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat.
Mulailah perjalanan saya dengan menumpang bis tujuan Waelengga ke Labuan Bajo, Rabu 22 November 2017. Saya berangkat siang hari sekitar pukul 12.00 WITa. Saya tiba di Kampung Paang Lembor sekitar pukul 18.00 WITa. Hari itu hujan sangat lebat karena lagi musim hujan di wilayah Manggarai Raya.
Setiba di rumah saudara tua dari Bandur, saya disambut dengan hangat. Selanjutnya, saya melepas lelah di kursi teras rumah. Tak lama setelah itu, saya disuguhkan minuman kopi arabika Flores dengan pisang goreng.
Ini merupakan kebiasaan-kebiasaan orang Manggarai Raya, jika didatangi tamu selalu menyuguhkan minuman kopi arabika Flores, maupun minuman kopi robusta Flores.
Orang Manggarai Raya di Flores sangat ramah dengan tamu yang berkunjung ke rumah mereka. Orang tidak akan mengalami kelaparan kalau orang luar bertamu ke rumah-rumah orang Manggarai Raya khususnya, maupun orang Flores pada umumnya. Tamu dilayani dengan baik sekali.
JEJAK ORANG MINANGKABAU
Sambil minum kopi, saya mulai menanyai orang tua di kampung itu tentang jejak orang Minangkabau pertama di wilayah Manggarai Raya. Saya bertemu dengan tua adat Suku Kilor bernama Tobias Sudirman, 50 tahun, pada Rabu (22/11/2017) malam.
Saya mulai menggali dan menanyakan kepadanya kisah juang orang Minangkabau pertama di Manggarai Raya.
Sudirman mengisahkan, sesuai penuturan leluhur Suku Kilor bahwa orang Minangkabau pertama yang datang ke Manggarai Raya adalah Masur dan Mashur. Mereka beradik kakak. Sesuai kisah yang terus diwariskan kepada orang Manggarai Raya bahwa Masur (kakak) dan Mashur (adik) berlayar dari Minangkabau menuju ke Goa, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
Mungkin karena ada situasi peperangan di Minangkabau pada zaman itu sehingga sebagian besar orang Minangkabau lari dan mencari tempat aman di seluruh pelosok Nusantara. Petunjuk-petunjuk alam dengan rasi bintang di langit, selanjutnya Masur dan Mashur berlayar dengan perahu dari Goa, Makassar. Mereka berlayar menuju ke Warloka (Gunung Talo).
Selanjutnya Masur dan Mashur bersama rombongan keluarganya melakukan perjalanan darat dari Wareloka atau Warloka menuju ke Guru Turi, Kampung Peri, persinggahan pertama. Selanjutnya mereka dipanggil “Empo” yang dalam bahasa lokal orang Manggarai Raya menyebut “leluhur”.
“Empo Masur dan Mashur terus berjalan dari persinggahan pertama menuju ke persinggahan kedua di Lale Lombong, dari persinggahan kedua menuju ke perkampungan Kilor, Desa Wae Bangka dan menetap di kampung ini hingga keturunannya ada di sana sampai sekarang,” kata Sudirman.
BUKTI SEJARAH EMPO
Sudirman kembali mengisahkan bahwa perjalanan Empo Masur dan Mashur di Manggarai Raya meninggalkan bukti-bukti sejarah. Salah satunya adalah Watu Manggar-Jangkar Perahu di Kampung Kilor.
Selain itu Compang Kilor yang terbuat dari tanah. Compang atau tempat mesbah yang terbuat dari batu dikelilingi batu cadas dan ditebing. Tetapi di atas itu leluhur membangun tempat mesbah, orang lokal Manggarai Raya menyebut compang terbuat dari tanah.
Jadi keturunan Empo Masur di Manggarai Raya adalah Suku Kilor saat ini. Jika ingin mengabadikan Compang Kilor dengan foto tanpa permisi kepada tetua di kampung itu, maka tidak menghasilkan gambar compang tersebut. Mistis dan magis di compang tersebut dipercaya karena dijaga oleh leluhur.
Dikisahkan Sudirman, zaman dahulu itu, Empo Masur dan Mashur memelihara sepasang babi. Selanjutnya, babi betina bunting. Pada suatu hari, babi bunting itu menghilang dari kampung itu. Pada hari itu, Empo Masur dan Mashur mencari ke arah selatan dari Kampung Kilor. Keduanya berjalan melewati lembah dan pegunungan hingga mereka menemukan babi itu sudah beranak banyak. Nama tempat itu adalahTodo Koe (tumbuh kecil).
Mereka sepakat agar Empo Mashur (adiknya) tinggal di Todo Koe untuk menjaga hewan peliharaan itu. Keesokan harinya, Empo Masur (kakak) pulang menuju ke kampung Kilor. Dalam perjalanan pulang ia menangkap rusa, orang lokal menyebutnya Ndaot. Empo Masur memikul rusa itu dan singgah di perkampungan Ndoso Ndasa yang berada di lereng bukit di bagian selatan dari Kampung Kilor.
“Empo Masur meminta api di orang-orang Ndoso Ndasa, tetapi orang di kampung itu tidak memberikan api kepada orang asing, tetapi Empo tidak kehilangan akal dan Empo ini memiliki ilmu kebal, di pinggangnya dililit semacam ikat pinggang yang terbuat dari bahan-bahan kulit kayu, ia diam-diam tanpa memberitahukan kepada orang kampung itu mengambil arang api yang masih menyala dan disimpan di dalam lubang ikat pinggangnya,” kisah Sudirman.
Empo Masur pamit untuk pulang kepada orang-orang Kampung Ndoso Ndasa. Saat berada di tengah hutan, sebelum Kampung Kilor, Empo Masur menyalakan api yang dibawanya untuk membakar rusa, Ndoat.
Kepulan asap api dari tengah hutan mengagetkan orang-orang di Kampung Ndoso Ndasa. Orang-orang Kampung Ndoso Ndasar mencari kepulan asap api itu dan menemukan Empo Masur sedang membakar daging rusa di hutan tersebut. Orang-orang Kampung Ndoso Ndasa kaget dan takut karena mereka berpikir bahwa orang ini memiliki ilmu kebal yang tak tertandingi karena bisa menyalakan api, sedangkan tadi mereka tidak memberikan arang api kepada orang itu yang singgah di kampung mereka.
Sejak saat itu, lanjut Sudirman, Empo Masur tersohor dengan ilmu kebalnya. Setelah selesai makan daging rusa, Empo Masur kembali ke Kampung Kilor. Mulai hari itu namanya sangat terkenal di seluruh wilayah Kampung Ndoso Ndasa.
Dari mulut ke mulut, lanjut Sudirman, yang juga keturunan Empo Masur, menceritakan kehebatan ilmu kebal dari orang asing itu. Mulai saat itu orang memakai api untuk membakar kebun dan kegiatan lainnya.
KAMPUNG ASLI ORANG MANGGARAI
Dikisahkan secara turun-temurun, kata Sudirman, Ndoso Ndasa yang berada di lereng bukit di Kecamatan Lembor merupakan kampung asli orang Manggarai dan tempat hidup orang Manggarai asli. Tidak dikisahkan orang asli di Kampung Ndoso Ndasa itu asalnya dari mana, tetapi ketika Empo Masur dan Mashur tiba di Kampung Kilor, ada orang asli Manggarai Raya yang hidup dan tinggal di Kampung Ndoso Ndasa.
Sampai di sini penelusuran saya. Selanjutnya, keesokan harinya saya sibuk meliput kunjungan Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Kamis (23/11/2017).
Setelah acara selesai, Menteri bersama rombongan kembali ke Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat yang terkenal dengan keajaiban binatang Komodo.
Malamya saya tidur di rumah keluarga di kota dingin Ruteng. Sebagaimana biasa, malam itu saya disuguhi minuman kopi robusta Flores dan makan malam. Selesai makan saya berdiskusi dengan anggota keluarga di rumah yang terletak di Kampung Tenda, Kelurahan Tenda, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai tersebut.
Sebelumnya saya disarankan Dr. Fransiskus Borgias untuk membeli buku “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi” terbitan Penerbit Nusa Indah, Ende yang ditulis Dami N Toda.
Esoknya, Jumat, 24 November 2017 saya mengontak rekan jurnalis di Kota Ruteng, Marten Don. Setelah sarapan pagi di rumah keluarga, saya pamit untuk kembali ke Kota Waelengga. Saya ucapkan terimakasih banyak atas pelayanannya.
Di depan rumah keluarga tersebut saya ditunggu Marten Don dengan sepeda motornya. Saya meminta dia mengantarkan ke Toko Ledalero dekat Kantor Pos Ruteng untuk membeli sebuah buku. Kemudian kami menuju rumah rekan jurnalis lainnya, Willy Grasias yang menyambut dengan penuh keramahan dan senyum khasnya.
Tak lama berselang, kami berdua disuguhkan, lagi-lagi, kopi arabika Flores. Cara unik orang Manggarai Raya dalam menyambut tamu. Kami bertiga terlibat diskusi tentang pekerjaan sebagai jurnalis di wilayah Manggarai Raya dengan berbagai aneka liputannya. Sambil kerja untuk menyelesaikan tugas liputan di Kampung Paang Lembor, kami terus berdiskusi.
Selanjutnya saya menunjukkan sebuah buku yang baru saja dibeli dengan harga yang cukup mahal. Grasias menjelaskan ia telah membaca buku tersebut. Saya meminta dia untuk mencari bagian halaman yang mengisahkan Empo Mashur dari Minangkebau.
Grasias menunjukkan bagiannya sambil mengatakan ia sudah membaca detail buku itu serta pernah tinggal dan hidup di Kampung Todo. Saya menandai bagian itu, dan menyimpan buku tersebut ke tas kerja. (*)
Markus Makur menulis dari Manggarai, NTT untuk JurnalisTravel.co.id.