KOTA PARIAMAN yang sering disebut orang Sumatera Barat dengan ‘Piaman’ adalah kota kecil di pesisir barat Sumatra Barat dengan luas hanya 73,36 km persegi dan berpenduduk 80 ribuan jiwa.
Kota kecil yang berjarak 70 km dari Kota Padang ini sebenarnya pada abad ke-16 merupakan kota perdagangan yang maju. Ketika Kerajaan Aceh berkuasa di pantai barat Sumatera, Pariaman seringkali disinggahi kapal-kapal dagang asing seperti Tiongkok, Inggris, Spanyol, dan Belanda.
Bahkan kemudian kota ini menjadi rebutan antar bangsa yang berakhir dengan kemenangan VOC pada 1670-an. Saat itu Pariaman menjadi kota penting sebelum Kota Padang ditaklukkan dan dibangun Belanda.
Majunya Padang dengan Pelabuhan Teluk Bayur yang besar membuat Pariaman menjadi mundur. Akibatnya, sejak awal abad ke-20 kota ini tak lagi disinggahi kapal dagang karena tidak memiliki pelabuhan yang memadai. Pelabuhan dan perdagangan hanya tinggal kenangan bagi Pariaman dan saat ini pemerintah kota melirik pariwisata sebagai sektor andalan.
Stasiun kereta api Pariaman dan sejumlah bangunan di sekitarnya, serta bangunan di sekitar pasar merupakan peninggalan Zaman Kolonial Belanda yang tersisa dari wajah kota. Stasiun Pariaman hingga kini masih berfungsi untuk melayani kereta api wisata Padang-Pariaman setiap Minggu.
Tabuik, Bersyafar, Sulaman Naras, dan Sala Lauak adalah ikon-ikon Pariaman yang sudah terkenal di Indonesia . Ikon-ikon ini tak hanya menggambarkan keunikan budaya kota kecil di pesisir barat Sumatera Barat ini, tetapi juga pesona pariwisata.
ATRAKSI KOLOSAL TABUIK
Festival Tabuik yang menjadi agenda utama kalender pariwisata Sumatera Barat merupakan acara religi perayaan Asyura, 10 Muharam yang diperingati setiap tahun sejak 1831. Meski penduduk Pariaman tidak pemeluk Islam aliran Syiah, tetapi acara ini merupakan peringatan terhadap kematian pahlawan Syiah, Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Ritual Perayaan Asyura bagi pemeluk Islam aliran Syiah ini dibawa ke Pariaman oleh para pendatang asal Sepoy, India yang beragama Islam Syiah. Mereka bekas prajurit Inggris yang dibubarkan setelah pantai barat Sumatera diserahkan Inggris ke Belanda.
Tabuik (artinya peti) adalah patung seekor burak, yaitu kuda berkepala manusia perempuan yang memiliki dua sayap dan ekor yang lebar. Di punggungnya terdapat peti dengan hiasan-hiasan yang cantik dengan sebuah payung kertas di puncaknya. Semua patung ini terbuat dari rangka bambu, rotan, dan kayu. Kemudian dihias dengan kain dan kertas warna-warni.
Setiap tahun ada dua Tabuik setinggi 12 meter yang dikeluarkan ke tengah kota pada 10 Muharam. Ratusan ribu pengunjung akan datang menyaksikannya. Kedua tabuik ini digotong dengan diiringi irama gendang tasa ke Pantai Gandoriah. Puncaknya, menjelang matahari terbenang kedua Tabuik ini dibuang ke laut sebagai personifikasi peti jenazah Imam Hussein telah dibawa burak (kuda berkepala manusia) terbang ke angkasa (surga).
Tabuik tak sekadar patung hiasan. Pembuatannya diiringi dengan upacara ritual. Ada tujuh prosesi pembuatan tabut yang dimulai 1 Muharam hingga 10 Muharam. Anda akan dapat menyaksikan ketujuh proses itu di dua tempat, satu di pantai satu lagi dekat terminal bus antarkota, dan melihat dari dekat bagaimana sebuah Tabuik dibuat dan upacara ritualnya dilakukan.
BASYAFA
Bersyafar (orang Pariaman menyebut basyafa) adalah acara ritual menziarahi makam Syekh Burhanuddin (1646-1704) di Ulakan. Meski Ulakan termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman, tetapi lokasi ini hanya 12 km di selatan Pariaman. Syekh Burhanuddin adalah penyebar agama Islam pertama di Minangkabau (Sumatera Barat) pada abad ke-17 yang meninggal pada 20 Juni 1704.
Setiap 15 Syafar, hari wafatnya Syekh Burhanuddin, ribuan penganutnya dari berbagai daerah di Sumatera Barat dan provinsi tetangga berdatangan ke makan Syekh Burhanuddin. Mereka memulai ziarah beramai-ramai dari 10 Syafar hingga 15 Syafar dan melakukan zikir, salawat, dan salat hampir 24 jam. Saat bersyafar, Ulakan, kampung kecil di pinggir pantai itu menjadi ramai siang-malam dan suasana religius sangat terasa di sana.
Syekh Burhanuddin adalah ulama tarekat Syattariyah penganut Mazhab Syafi’i yang memilih cara persuasif dalam mengembangkan Islam. Ia mengajarkan Islam dengan pendekatan kultural yang begitu toleran terhadap adat. Agama baru terus diajarkan sementara kebiasaan adat tidak langsung dilarang.
Indang Pariaman (rebana kecil dimainkan laki-laki, juga perempuan) dan selawat dulang konon lahir dari kreasi Syekh Burhanuddin yang berdakwah setelah makan dengan menepuk dulang. Kini indang dan selawat dulang menjadi kesenian tradisi di Pariaman.
Ungkapan adat Minangkabau yang menyebut ‘Agama mendaki, adat menurun’ berkaitan dengan Syekh Burhanuddin. Ajaran adat datang dari Pagaruyung (Tanah Datar), dataran tinggi Sumatera Barat lalu menyebar ke pesisir. Sedangkan agama datang dari Ulakan (pesisir) dan menyebar ke Tanah Datar (dataran tinggi).
Anda dapat menyaksikan acara ritual ini setiap 10-15 Syafar. Tapi di luar hari itu dapat mengunjungi areal makam penyebar agama Islam di Sumatera Barat ini. Jika Anda nonmuslim, cukup puas melihat dari luar makam dan masyarakat di sana yang ramah akan selalu menghargai kunjungan dari siapapun, karena memang tempat ini selalu ramai dikunjungi turis, terutama dari Malaysia.
SULAMAN NARAS
Sulaman Naras adalah kerajinan sulaman dan bordir benang untuk aneka pakaian, terutama pakaian pengantin dan mukena. Lebih sepuluh rumah sulaman ini berada di Desa Naras, sekitar 5 km utara pusat kota Pariaman. Naras adalah embrio kerajinan sulaman-bordir di Sumatra Barat yang diduga muncul beriringan dengan kehadiran Tabuik yang dibawa bangsa Sepoy, India pada 1818.
Aneka sulaman-bordir khas Naras bisa didapatkan di desa ini yang galerinya terletak di pinggir jalan. Sulaman-bordir Naras terkenal dengan sulaman benang emasnya untuk pakaian dan asesoris pengantin. Hasil kerajinan Naras bahkan diekspor hingga ke Malaysia, Brunei, dan Singapura.
MAKANAN KHAS PARIAMAN
Sala Lauak (sala ikan) adalah makanan khas Pariaman, sehingga Pariaman dijuluki ‘Kota Sala’. Sala lauak adalah makanan laut seperti cumi, udang, kepiting, dan beledang yang dibalut dengan tepung beras dan kunyit, lalu digoreng.
Sala Lauak banyak dijual di sepanjang Pantai Gandoriah yang terletak di belakang Pasar Pariaman, hanya 100 meter dari stasiun kereta api. Pantainya rindang oleh pepohonan cemara dan dadap.
Jika ingin menikmati Sala Lauak dan makanan khas Pariaman lainnya, tempat yang menarik dan terkenal adalah Pondok Nasi Sek yang banyak terletak di sepanjang pantai ini. Nasi Sek? Jangan kaitkan ini dengan ‘seks’, karena arti Sek adalah Nasi ‘Seratus Kenyang’.
Dulu pada akhir 1980-an sebuah warung terbuka digelar di pantai ini menjual makanan dengan cara yang unik: nasi disuguhkan dengan dibungkus daun pisang seukuran kepalan anak 10 tahun. Sebungkus nasi ini harganya Rp100. Sengaja murah untuk membidik pelanggan pelajar SMP dan SMA. Kini sekepal nasi ini harganya tentu tak seratus rupiah lagi. Sekali makan Anda bisa menghabiskan 5 sampai 8 bungkus.
Lebih sepuluh warung Nasi Sek berderet sepanjang lebih 250 meter di objek wisata Pantai Gandoriah. Pondok-pondok lesehan berdiri di bawah rindangnya pepohonan dengan pemandangan lautan lepas Samudera Hindia.
Warung nasi sek umumnya menunya sama. Menu andalan adalah nasi sek, sala ikan, sala cumi-cumi, urap, dan sambal lado tomat. Empat sekawan ini harus ada di setiap warung. Untuk minuman tersedia kelapa muda, dan berbagai jus buah.
Di Pondok Salero Anda tidak perlu khawatir dengan harga makanan, karena daftar harga makanan terpampang jelas di papan informasi. Karena tempatnya yang nyaman, makanannya yang enak, dan murah tempat ini menjadi favorit pengunjung Pariaman.
Pariaman memiliki pantai yang indah dan rindang oleh pepohonan. Anda bisa menyusuri pantai sepanjang 1.500 meter dari Pantai Gandoriah menuju arah selatan ke Pantai Cermin. Jika tak sanggup berjalan kaki, bendi bisa disewa menyusuri jalan beraspal.
Nun di tengah laut, terlihat sebesar kotak korek api berderet empat pulau kecil yang terkenal: Pulau Angso Duo, Pulau Tangah, Pulau Kasiak, dan Pulau Ujuang. Ada pantun kasmaran Minang terkenal yang menyebutnya:
“Pulau Pandan jauah di tangah, di baliak Pulau Angso Duo, hancua badan di kanduang tanah, namun adiak takana juo” (Pulau Pandan jauh di tengah, di balik Pulau Angsa dua, hancur badan di kandung tanah, tapi adik teringat juga).
Jika Anda ingin ke pulau-pulau ini perahu motor khusus siap mengantarkan ke sana.
Setiap Idul Fitri, mulai dari hari pertama sampai seminggu di Pantai Gandoriah seringkali diadakan Pesta Pantai yang meriah dengan acara band. Puluhan ribu pengunjung akan memadati pantai. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)
Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)