MENDAKI gunung dengan melewati jalan setapak di tengah hutan-rimba tentu hal biasa bagi orang dewasa, terlebih para pendaki dan petualang. Tapi tentu lain cerita jika mengajak anak usia enam tahun.
Itulah yang kami lakukan dengan mengajak putra bungsu kami, Arung, yang belum genap tujuh tahun bersama Azzura, kakak perempuannya, berusia 9 tahun. Kami memang memiliki sepasang anak yang ingin sekali kami ajak berpetualang mendaki gunung untuk bekal pengalamannya.
Kami memilih mengajaknya bertualang ke Danau Gunung Tujuh di Kabupaten Kerinci. Sebagai danau kaldera tertinggi di Asia Tenggara, Danau Gunung Tujuh adalah hasrat bagi para petualang. Perjalanan menuju ke sana tentu saja akan berhiaskan pelajaran tentang makna kehidupan.
Angan saya terbang saat saya dan Arung tepat berada di pintu gerbang pendakian ke Danau Gunung Tujuh. Kami akan menempuh perjalanan yang tentu saja berat.
Awalnya kami melewati perladangan penduduk selama satu jam, kemudian pendakian mulai menanjak cukup terjal dan panjang. Saya membimbing tangan Arung, membantunya menaiki undakan penuh akar.
Saya merasakan keintiman kami semakin meningkat seiring canda sepanjang pendakian. Keintiman ini tentu akan menjadi modalnya saat dewasa kelak.
Kanopi menghadang sinar matahari jatuh ke tanah yang lembab. Suara angin dan kicauan burung membimbing langkah kami. Ini kali pertama Arung berada dalam dekapan rimba yang sesungguhnya.
“Ayah, kapan sampai di danau?” tanyanya dengan mimik polos.
Tentu dia tidak sabar ingin mencapai ‘finish’’dari perjalanan yang berat. Tetapi lokasi yang dituju masih terlalu jauh untuk dijelaskan. Saya menjawabnya tidak lama lagi agar ia tetap memacu langkahnya bersama aliran keringat.
Seekor burung berpunggung biru, dipadu serpihan kuning di dadanya melintas di depan kami. Lingkaran biru lebih muda mengungkung matanya dengan paruh merah yang tegas. Luntur Sumatera menggoda Arung menyelidik. Dia mulai melupakan penat.
Saya berbisik menjelaskan padanya tentang keunikan burung itu. Sementara istri dan anak sulung saya, Azzura, juga terlibat diskusi kecil tentang burung itu. Saya menceritakan beragam jenis burung yang mungkin hidup di hutan-hujan tropis Sumatera. Gunung Tujuh adalah bagian Taman Nasional Kerinci Seblat, sebuah kawasan perlindungan alam yang menyimpan beragam kekayaan hayati.
Pelajaran penting tentang ekologi hari itu tentu akan menjadi modal mereka. Di sekolah, teori ekologi mungkin masih sangat dangkal diajarkan. Tapi di pendakian ini, justru mereka berhadapan langsung dengan kondisi yang sesungguhnya.
Suara lantang siamang sudah tak lagi terdengar siang hari ketika kami beristirahat di ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut, puncak Gunung Tujuh. Di pendakian, kami sempat melihat rombongan monyet ekor panjang melintas. Primata lain juga diyakini tinggal bersama di hutan ini.
Selain kenikmatan mendaki dan berjalan di tengah rimba, menyaksikan danau Gunung Tujuh yang sunyi dan cukup luas merupakan sensasi tersendiri. Arung menikmati hawa dingin sembari menikmati api unggun saat tenda kami sudah berdiri persis di tepian danau.
Ikan tersedia sebagai salah satu sumber protein bagi Berang-Berang Sumatera yang hidup di seputaran danau. Bahkan kepiting danau mudah ditangkap menemani santap malam kami.
Berkemah di tepi Danau Gunung Tujuh berteman malam dan gemintang di langit adalah pengalaman istimewa. Anak-anak tak hanya berlajar menghargai alam, tapi lebih penting mensyukuri nikmat yang telah diberikan Sang Maha Pencipta.
Berada di belantara hutan membuat kami belajar untuk menghargai kehidupan. Saya kembali mengisahkan pelajaran penting buat Arung, alam tak harus ditaklukan. Justru menjadi padu dengan alam adalah tindakan bijak, pun tak boleh membuang sampah sembarangan.
Saya dan Arung memperhatikan perahu ganda membawa para pendaki berkeliling danau. Sebuah pemandangan indah membentang di hadapan kami. Gunung di seberang danau dihias mendung yang menggantung di cakrawala. Enggan beranjak pulang sungguh tak terelakkan, padahal petualangan kami baru saja dimulai. (Syafrizaldi Aal/ JurnalisTravel.com)