Oleh: Salmawati
RITUAL Kalomba salah satu prosesi adat khusus untuk anak-anak suku Kajang. Ritual dilakukan dengan mengadakan pesta dengan aturan-aturan yang khas. Ritual bertujuan menghilangkan sial dan penyakit turunan dari leluhur si anak.
Pelaksanaan tradisi adat Kalomba merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab orang tua secara tradisi dalam menunaikan kewajiban kepada keturunannya.
Kebetulan ritual yang jarang dilakukan tersebut dilangsungkan di sebuah rumah warga di Desa Tanah Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukkumba, Sulawesi Selatan pada Jumat, 13 November 2020. Ritual Kalomba dilakukan untuk anak laki-laki si pemilik rumah.
Bagi suku Kajang acara ritual Kalomba wajib dilakukan orang tua untuk setiap anak mereka. Namun pelaksanaannya diadakan ketika orang tua sudah mampu melaksanakan pesta. Maklum, biaya untuk melaksanakan pesta ritual cukup besar meski dilakukan dengan cukup sederhana dan bergotong royong.
Karena itu, waktu acara Kalomba untuk seorang anak berbeda-beda. Jika orang tua sudah mampu maka Kalomba segera dilakukannya. Namun bagi yang belum memiliki dana maka setelah bertahun-tahun atau anak mulai besar baru digelar.
Selain itu waktu mengadakan acara Kalomba tidak bisa kapan pun, melainkan berdasarkan “hari baik bulan baik” atau waktu yang tepat sesuai kalender Islam. Jadwal acara ini sama dengan penentuan waktu acara pernikahan, acara Akkattere, dan acara-acara adat lainnya di Suku Kajang.
Itu sebabnya tidak setiap bulan selalu ada acara Kalomba. Kebetulan November adalah waktu yang dianggap baik untuk mengadakan berbagai acara bagi masyarakat suku Kajang, termasuk acara Kalomba.
Setelah waktu acara ditentukan, si pemilik rumah mengabari tetangga dan sanak-saudara. Pada hari yang ditentukan laki-laki akan datang meramaikan acara, sedangkan para perempuan datang lebih awal untuk bergotong royong membantu membuat kue dan makanan lainnya untuk persiapan acara.
Ritual Kalomba diadakan dengan sejumlah aturan. Rangkaian acara dari awal hingga selesai lumayan panjang dan cukup menguras tenaga. Namun banyak hal positif yang bisa dipelajari terkait nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Salah satu yang paling penting dalam ritual ini adalah peran masyarakat pendukung budaya suku Kajang. Mulai dari tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh pemerintah, hingga “sanro” dan masyarakat. Kepedulian dan kepercayaan mereka adalah kunci tradisi ini terus berlangsung.
Mereka percaya bahwa tradisi Kolomba secara turun-temurun harus dilaksanakan, jika tidak biasanya mereka akan sakit, terkena sial, dan semacamnya.
Dengan dilaksanakannya pesta adat Kalomba, selain berfungsi sebagai penyembuh dan penghindar dari penyakit serta kesialan juga menampilkan pencitraan sebuah lekatan identitas masyarakat Kajang.
Bagi masyarakat Kajang tradisi Kalomba mengandung sejumlah nilai, di antaranya silaturahmi, gotong-royong atau kerja sama, dan sarana berkomunikasi, baik sesama masyarakat maupun dengan tokoh adat.
Biasanya saat Kalomba diadakan, dari kolom rumah nampak persatuan masyarakat, keluarga, dan juga para tetangga membuat “Kampalo, Ruhu-ruhu” dan “Dumpi Eja” yang akan menjadi salah satu isian “Kappara Pakkalombaan” yang ada di depan “Sanro”.
PROSES UPACARA KALOMBO
Tradisi adat Kalomba diselengarakan dengan pesta. Tahapan dan rangkaian prosesi ritualnya melibatkan orang tua dan keluarga saat proses acara adat Kalomba dimulai pada malam hari pukul 12:00 WITa.
Sedangkan prosesi ritual dilakukan oleh Sanro. Sanro adalah dukun atau ahli pengobatan tradisional. Tahapan pertama yang dilakukan Sanro adalah memandikan anak yang akan di-Kalomba.
Berbagai kelengkapan makanan yang dihidangkan untuk anak yang di-Kalomba adalah berbagai macam makanan khas Kajang pada umumnya. Ada kampalo, kue merah (dumpi eja), Ruhu’-ruhu’, ayam kampung, songkolo, ketupat, dan buah-buahan.
Mattang, warga Desa Tanah Towa mengatakan acara adat Kalomba merupakan bagian dari aktivitas kehidupan suku Kajang dalam berbudaya dan bersosial.
Karena itu mereka selalu menjaga tradisi tersebut dan melestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
“Sehingga acara tersebut biasanya selalu dihadiri banyak orang,” ujarnya.
Ketakutan masyarakat jika tidak patuh menjalankan acara adat juga menjadi salah satu penyebab mereka selalu mengikuti tradisi.
“Jika saya tidak melaksanakan adat yang telah dipercaya leluhur kami dengan aturan-aturan yang berlaku di masyarakat Kajang, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya.
Dalam melaksanakan adat Kalomba juga ada tradisi “Doi Passolo” yang harus diutamakan masyarakat. Doi Passolo adalah nilai ekonomi berupa pemberian sejumlah uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Tapi itu bentuk solidaritas dan kebersamaan dalam suku Kajang.
“Ketika ada saudara yang akan melaksanakan Kalomba, saya akan bekerja keras untuk mengumpulkan Doi Passolo,” kata Matang.
Jika saudaranya adalah yang pertama, maka dia akan mempertimbangkan berapa jumlah Doi Passolo yang akan dia bawa, misalnya Rp4 juta. Meski berat, mereka akan mengusahakannya karena mereka menghormati adat yang diwariskan leluhur.
Jumlah Doi Passolo pada acara adat Kalomba berbeda dari acara lainnya seperti pernikahan. (Salmawati)
(Tulisan feature ini hasil Pelatihan Jurnalisme Warga yang diadakan The Samdhana Institute dengan peserta pemuda komunitas adat se-Indonesia dengan trainer Syofiardi Bachyul Jb secara online pada 31 Agustus -21 September 2020. Salmawati adalah seorang mahasiswi dan anggota Pengurus Harian Wilayah (PHW) AMAN Sulawesi Selatan).