ENTAKAN kaki dua orang ‘sikerei’ yang sedang menari terdengar keras di lantai kayu. Mata mereka terpejam, tangan menari, bibir mengumandangkan nyanyian atau ‘urai’ yang terdengar magis.
Kedua sikerei Dusun Rogdok itu, Aman Jairo, 60 tahun, dan Walter Samalelet, 58 tahun, mengenakan atribut sikerei Mentawai: ikat kepala ‘luat’ dari rangkaian manik, bunga kembang sepatu merah yang terselip di kening, kalung manik, kabit dari lembaran kulit kayu, dan kain merah yang digulung artistik sebagai celana.
BACA JUGA: Catatan Perjalanan ‘Rimba Terakhir’, Mendengar Musik dari Hutan Siberut
Syair dalam ‘urai’ adalah cara mereka berkomunikasi dengan roh. Begitu juga hiasan daun dan bunga yang ditujukan untuk menarik perhatian roh agar datang. Hiasan tubuh lainnya adalah daun-daun yang terangkai diselipkan di pinggang bagian belakang. Sekilas mirip ekor burung. Sedangkan di sela jarinya juga diselipkan selembar daun yang mirip kuku burung.
Kedua sikerei itu menarikan ‘uliat manyang’, atau tarian burung untuk mengibur kami yang baru datang. Sekaligus menghibur warga Dusun Rogdok. Malam itu kami berkumpul di beranda rumah salah satu warga yang dijadikan panggung sikerei untuk melakukan muturuk atau menari.
Kedua sikerei mengakhiri tariannya dengan sekali hentakan kaki yang berakhir dengan pukulan gendang gajeumak, gendang khas Mentawai dari kayu kelapa dan kulit ular.
Usai menarikan uliat manyang, ritual dilanjutkan. Seekor ayam jantan berbulu putih dibawa kerei Walter dan dimantrai. Kedua kerei kembali menari dan menyanyi lirih, dan ayam tersebut didekatkan kepada wajah kami yang duduk dilantai.
BACA JUGA: Walhi Gandeng Komunitas Seni Kampanye ‘Rimba Terakhir’
Ayam yang akan dijadikan persembahan untuk roh itu kemudian dibunuh dengan cara mematahkan lehernya. Lalu dibawa ke luar panggung, hati dan jantungnya akan “dibaca” untuk persembahan kepada roh. Daging ayam itu kemudian dimasak dan disajikan untuk kerei.
Itulah salah satu ritual yang dilakukan sikerei di Dusun Rogdok, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai pada akhir September 2018. Ritual ini berkaitan dengan kepercayaan Arat Sabulungan yang tetap hidup di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.
Arat Sabulungan adalah kepercayaan tradisional warisan nenek moyang orang Mentawai. ‘Arat’ artinya ‘kepercayaan’, ‘sa’ artinya ‘orang’ dan ‘bulungan’ artinya ‘roh’. Jadi Arat Sabulungan artinya orang-orang yang percaya kepada roh-roh.
Juga ada yang mengartikan Arat Sabulungan sebagai kepercayaan kepada daun. ‘Sabulungan’ berasal dari kata dasar ‘bulug’, artinya ‘daun’ atau ‘dedaunan’. Karena kepercayaan kepada daun, maka mereka sangat menghormati segala makhluk penghuni alam ini.
Dalam kepercayaan masyarakat Mentawai, roh-roh dapat dikategorikan dua sifat, yaitu roh yang baik dan roh yang jahat. Roh yang baik dapat menolong manusia, misalnya menjaga ternak babi dan tanaman di ladang. Sedangkan roh yang jahat bisa mencelakakan manusia dengan mengganggu jiwa atau roh manusia karena dia merasa terganggu oleh perbuatan manusia.
Ada roh yang mengatur alam semesta, roh hutan, roh laut, dan roh langit. Selain itu juga ada roh nenek moyang dan roh pada diri masing-masing manusia. Di atas semua roh itu di langit ada Ulau Manua yang diyakini sebagai Tuhan penjaga alam semesta.
Untuk menjaga agar roh-roh tidak marah, mereka melakukan sesuatu dengan hati-hati dan selalu minta izin kepada roh melalui ‘punen’ atau pesta ritual. Sikerei adalah orang yang memimpin upacara adat karena dialah yang akan menjadi penghubung dengan roh.
BACA JUGA: Proses Pembuatan Tato Mentawai
Tetapi pada 1954 Arat Sabulungan dilarang pemerintah dan memaksa orang Mentawai memeluk salah satu agama yang diakui pemerintah saat itu. Semua acara ritual Arat Sabulungan, termasuk menato tubuh, tradisi pengobatan, dan punen (pesta) yang dipimpin para sikerei pun dilarang.
Pelarangan itu mulai berkurang sejak Kepulauan Mentawai menjadi kabupaten pada 19 tahun lalu. Sebelumnya Mentawai adalah kecamatan di bawah Kabupaten Padang Pariaman.
“Sekarang sikerei tidak dilarang lagi, punen tidak dilarang, zaman dulu memang dilarang,” kata Aman Jairo, sikerei di Rogdok.
Aman Jairo masih ingat, saat ia remaja dulu, pada 1960-an, secara besar-besaran di Mentawai terjadi penghancuran terhadap kepercayaan Arat Sabulungan. Setiap uma diperiksa, barang-barang untuk ritual seperti Buluat, tempat meletakkan persembahan untuk roh dibakar, peralatan sikerei disita dan dibakar. Polisi melakukan razia di Madobbag, desa tetangga.
Tetapi polisi tidak sampai ke Rogdok, karena dulunya kampung ini sulit dijangkau dengan uma (rumah mentawai) yang terpisah berjauhan.
“Jadi kami saat dulu tetap bisa membuat punen, karena polisi tidak sampai ke sini,” kata Aman Jairo.
Aman Jairo juga sudah lama memeluk agama Katolik seperti yang tertera di KTP-nya. Ia memilih Katolik dengan nama baptis Aleksandro.
BACA JUGA: Sagu yang Mulai Tergusur di Mentawai
Ia tetap menato tubuhnya dan menjalani berbagai ritual saat pengangkatan dirinya sebagai sikerei dua puluh tahun lalu dengan pesta adat atau punen secara besar-besaran selama tiga hari tiga malam.
“Agama Katolik dan Arat Sabulungan tetap dijalankan keduanya, kami tidak bisa melepaskan budaya dan kepercayaan kami, sudah ada dari nenek moyang, semua itu menghormati apa yang ada di alam,” katanya.
Jika tidak, lanjut Aman Jairo, nasib Siberut akan seperti di Pagai, karena masuknya agama budaya Mentawai di sana hilang.
“Mereka tidak tahu lagi dengan budaya Mentawai, kami tidak mau seperti itu,” katanya.
Kisah pelarangan aktivitas ritual budaya termasuk sikerei masih terekam dengan jelas oleh Aman Gebak Kunen, 70 tahun, seorang sikerei di Madobbag, Siberut Selatan. Aman Gebak Kunen ditemui bersama istrinya dalam umanya yang besar. Di umanya masih lengkap peralatan untuk punen. Di pintu masuk uma dihiasi puluhan tengkorak babi dari setiap punen yang pernah dilakukan di uma itu.
“Dulu polisi datang mengambil semua peralatan Sikerei, dari jauh mereka sudah menembakkan pistolnya, sehingga kami lari ke gunung (bukit yang tinggi) dan bersembunyi selama seminggu di hutan sambil menyelamatkan peralatan ritual agar tidak dibakar polisi,” katanya.
Aman Gebak Kunen kemudian memilih Bahai sebagai agamanya. Tetapi masih tetap melakukan ritual budaya secara diam-diam agar tidak ditangkap polisi. Belakangan ia beralih pindah ke Katolik setelah Bahai dilarang pemerintah.
Mateus Sabagalet, sekretaris Desa Madobbag mengatakan, walaupun sudah punya agama baru, bagi orang Mentawai budaya lama tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
“Semua ritual punen masih kami ikuti dan jalankan, mulai punen kelahiran, perkawinan, kematian, membangun uma, pengangkatan sikerei baru, kami selalu membuat punen seperti dulu,” katanya.
Ia juga Katolik seperti ayahnya Aman Gebak Kunen. Walaupun orang Mentawai sekarang secara resmi juga memeluk beragam agama, kata Mateus, mereka tetap damai dan tidak pernah mempermasalahkan perbedaan agama.
Aman Boroi Ogok, seorang sikerei dan tokoh adat di Muntei, Siberut Selatan juga berpendapat sama. Baginya semua agama sama dengan Tuhan yang sama.
“Tuhan Allah di Islam, Tuhan Yesus di Kristen, dan Ulau Manua di Arat Sabulungan,” katanya.
Baginya Arat Sabulungan tetap hidup dan dijalankan sehari-hari sebagai cara berterima kasih kepada alam yang telah menghidupi. Berterima kasih kepada tanah, gunung, kepada nenek moyang yang telah menjaga mereka sampai sekarang dan berterimakasih kepada penjaga langit dan sang pencipta, yaitu Ulau Manua.
Seperti orang Mentawai lainnya, Aman Boroi Ogok juga dulunya memilih agama resmi untuk diikutinya. Ia pernah masuk Islam, tapi akhirnya pindah ke Katolik karena lebih sesuai dengan budaya Mentawai.
Walaupun sejak November 2017 Mahkamah Konstitusi telah mengakui aliran kepercayaan di Indonesia dan penganutnya boleh mencantumkan Aliran Kepercayaannya di KTP, tetapi warga Siberut di Kepulauan Mentawai memilih telah berdamai dengan agama baru.
“Semua agama yang datang itu bagi saya sama dan Sabulungan tetap dijalankan,” ujarnya.
Pastor Ignantius Adventus seorang pastor di Paroki Muara Siberut mengatakan, orang Mentawai lebih terbuka dalam menerima perbedaan, termasuk perbedaan agama.
“Di Mentawai tidak ada masalah dengan perbedaan agama, karena mereka lebih terbuka, dan sebetulnya kalau dulu mereka bisa memilih, mungkin mereka ingin tetap dengan Arat Sabulungan saja, tetapi karena harus memilih agama itu, akhirnya mereka masuk agama baru, Katolik memang lebih bisa menerima budaya mereka,” katanya.
Tarida Hernawati, antropolog yang menulis beberapa buku tentang Mentawai dan bekerja di Yayasan Citra Mandiri Mentawai, sebuah NGO di Mentawai mengatakan bahwa Arat Sabulungan tetap hidup dalam keseharian masyarakat di Pulau Siberut. Mereka masih melakukan semua ritual kepercayaan Arat Sabulungan dan menjalankan semua pantangan dengan tidak melanggarnya.
“Agama modern bagi mereka hanya akses untuk mendapat bantuan pemerintah, akses pendidikan, kesehatan, sekolah yang memerlukan akte kelahiran, KTP, dan Kartu Keluarga yang harus mencantumkan agama,” kata Tarida, Rabu, 17 Oktober 2018.
Orang Mentawai, kata Tarida juga sangat menjaga harmonisasi seperti keseimbangan dalam hidup.
“Dalam keseharian mereka menjalankan hidup sesuai dengan iman Sabulungan mereka, dan agama KTP hanya formalitas, yang paling penting bagi mereka ritual kepercayaan mereka tidak dilarang,” kata Tarida.
SEJARAH PELARANGAN ARAT SABULUNGAN
Pada 1954 adalah masa paling berat bagi orang Mentawai karena pada zaman Orde Lama pada 1954 Perdana Menteri Republik Indonesia Ali Sastroamidjojo mengeluarkan Surat Keputusan No. 167/PROMOSI/1954 tentang pembentukan Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-kepercayaan di Dalam Masyarakat (Panitia Interdep Pakem).
SK ini muncul bukan khusus untuk menangani Mentawai, tetapi seluruh aliran kepercayaan, baik tradisional maupun baru yang banyak terdapat di Indonesia. Tujuan utamanya pun untuk menertibkan adat perkawinan yang bermacam rupa yang banyak tidak sesuai dengan agama resmi Indonesia: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha.
Namun dampak dari pelaksanaan SK tersebut di Mentawai luar biasa. Pemerintah Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang membawahi Kepulauan Mentawai membentuk kegiatan yang disebut “Rapat Tiga Agama” yang diselenggarakan di tiap-tiap ibu kecamatan (Muara Siberut, Muara Sikabaluan, Sioban, dan Sikakap).
Rapat tiga agama, Islam, Protestan dan wakil dari Arat Sabulungan sendiri. Namun keputusan yang dihasilkan bertujuan menghancurkan Arat Sabulungan, antara lain: Arat Sabulungan harus dihapuskan, bilamana perlu menggunakan kekerasan dengan bantuan tenaga polisi. Dalam tempo tiga bulan diberikan kebebasan kepada penduduk asli untuk memilih salah satu agama, Islam atau Kristen Protestan.
Jika berakhir masa tempo yang diberikan ternyata mereka tidak melakukan pilihan, semua alat keagamaan Arat Sabulungan akan dibakar oleh polisi dan yang menjalankan ritual lama diancam hukuman. Pada 1955 secara resmi penduduk Mentawai yang belum memiliki agama resmi terpaksa memasuki salah satu agama yang ada.
Arat Sabulungan kemudian dilarang dengan melibatkan polisi untuk menghentikan semua aktivitasnya. Di antara yang dihentikan adalah memanjangkan rambut bagi laki-laki, melakukan semua ritual yang melibatkan sikerei, menato tubuh, dan meruncing gigi.
Pemerintah juga melakukan program transmigrasi lokal untuk menjauhkan orang Mentawai dari budaya lama. Akibatnya, Arat Sabulungan yang menjadi jantung kebudayaan Mentawai pun menghilang.
Di empat pulau besar di Kepulauan Mentawai yang dihuni (Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan), hanya di Pulau Siberut Arat Sabulungan masih tersisa. Di tiga pulau lain sudah lenyap. Arat Sabulungan bisa bertahan di sebagian Pulau Siberut, selain karena pusat kebudayaan Mentawai juga pedalaman Siberut secara topografi susah dijangkau.
Pelarangan terhadap Kepercayaan Arat Sabulungan mulai menurun sejak tumbangnya Orde Baru dan dimulainya Era Reformasi di Indonesia. Bahkan berakhir ketika Kepulauan Mentawai menjadi kabupaten sendiri sejak 4 Oktober 1999.
Seiring dengan makin banyaknya turis asing berkunjung ke pedalaman Siberut dan keunikan budaya Mentawai menjadi daya tarik bagi mereka, maka pelestarian kehidupan tradisional Mentawai pun mendapat tempat dalam program Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Mentawai.
SEKILAS KEPULAUAN MENTAWAI
Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang terletak paling barat Indonesia adalah rangkaian pulau-pulau kecil yang memanjang di sebelah barat Pulau Sumatera. Berjarak 85 kilometer hingga 135 kilometer dari garis pantai Sumatera.
Dalam rangkaian gugusan pulau tersebut terdapat 107 pulau kecil dengan empat pulau utama yang berpenghuni, yaitu Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan.
Kepulauan Mentawai diperkirakan pulau-pulau asli sejak 500 ribu tahun yang lalu yang membuat flora-faunanya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi. Keunikan juga terlihat pada budaya Mentawai. Karena keunikannya, Pulau Siberut, pulau terbesar di Mentawai, ditetapkan UNESCO sebagai Cagar Biosfer pada 1981.
Orang-orang Mentawai diduga datang sebagai gelombang pertama yang datang ke Nusantara dari Asia Daratan dengan kebudayaan mereka sangat khas yang berbeda dari masyarakat Pulau Sumatera, seperti kepercayaan terhadap roh yang dikenal sebagai Arat Sabulungan.
Selain mempunya tradisi yang menarik, Kepulauan Mentawai kini juga dikenal dunia internasional karena lokasi ombak terbaik dunia untuk surfing. Pulau Siberut di Mentawai menjadi tempat untuk melihat kehidupan tradisional Mentawai yang masih bertahan.
Kepulauan Mentawai resmi menjadi kabupaten pada 4 Oktober 1999. Sebelumnya kepulauan ini menjadi bagian Kabupaten Padangpariaman dengan empat kecamatan. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)