BENTENG itu begitu besar dan utuh. Suasana sebuah benteng sebagai pertahanan begitu terasa. Lokasinya seluas 44 ribu meter persegi dibangun di tanah yang tinggi, mirip di atas sebuah bukit.
Berdiri di atasnya, kita bisa melihat ke arah pelabuhan dan mengawasi lautan. Sejumlah meriam dengan dudukan besi lingkar untuk mengubah arah, siap menembak musuh yang datang dari Samudera Hindia. Di sisi lain menghadap ke darat, pandangan juga bebas mengawasi kota. Meriam mengintai di tiap sudut bangunan.
Itulah Fort Marlborough, sebuah benteng yang disebut terbesar di Asia Tenggara. Peninggalan Inggris zaman East India Company (EIC) di Kota Bengkulu, di provinsi yang namanya juga sama dengan ibu kotanya. Yang membuat Anda akan berdecak kagum di sini adalah struktur benteng masih terlihat sempurna, asli, dan rapi. Padahal benteng ini sudah berusia hampir tiga abad.
Kolonisasi Inggris di Bengkulu adalah cerita perebutan sumber peppers (rempah) di Nusantara pada abad ke-17. Persaingan yang ketat antara kerajaan lokal Banten dan Aceh di pantai barat Sumatera dengan Inggris dan Belanda dari Eropa, menyebabkan Inggris lebih memilih Bengkulu.
Bengkulu gagal dikuasai Aceh, tetapi tidak bisa lepas dari pengaruh Kerajaan Banten. Inggris yang membidik kota-kota pesisir di wilayah Sumatera Barat, seperti Pariaman, Tiku, dan Indrapura, berhasil diusir Belanda. Belanda juga berhasil menyingkirkan Inggris dari Banten yang muncul sebagai bandar internasional transaksi lada.
Kondisi inilah menyebabkan Inggris menancapkan kukunya di Bengkulu sejak kedatangan 1685. Tapi para pendatang tidak aman dari ancaman penduduk lokal dan kekuatan luar. Sebuah benteng perlu didirikan.
Fort Marlborough dibangun selama lima tahun antara 1714 hingga 1719. Joseph Collet adalah orang di balik pembangunan benteng ini. Collet datang ke Bengkulu, waktu itu Inggris menyebutnya Bencoolen, sebagai wakil gubernur EIC untuk Timur Jauh. Gubernur EIC sendiri berkedudukan di Madras (kini Chennai, India).
Ketika datang ke Bengkulu pada 1712, Collet mendapatkan sebuah benteng tua yang akan dipimpinnya. Benteng itu bernama Fort York yang didirikan pada 1687. Fort York berdiri di atas sebuah bukit kecil di pinggir Sungai Serut yang bermuara di Kota Bengkulu, berjarak tiga kilometer dari Fort Marlborough.
Tapi kondisi benteng ini sangat menyedihkan. Lingkungannya buruk, selain dekat sungai dan hutan mangrove, juga dikelilingi rawa. Para penghuninya banyak yang mati karena diserang malaria, disentri, dan kolera. Sebuah laporan zaman itu menyebutkan, Fort York yang kecil itu pernah dihuni lebih seratus orang, 40 di antaranya serdadu Inggris, yang dilengkapi 30 meriam.