SEBAGAI orang yang menetap di Kota Padang, Sumatera Barat selama 28 tahun sejak datang sebagai mahasiswa, saya telah menggunakan angkutan kota (angkot) dan bus kota sebagai transportasi sehari-hari di kota ini selama 14 tahun dan berakhir setelah memiliki sepeda motor.
Sebagian besar angkot yang saya tumpangi adalah jurusan paling sibuk dengan penumpang utama mahasiswa, karena memiliki sejumlah kampus besar negeri dan swasta menuju Pasar Raya Padang.
Ini jurusan sebagai “jantung” angkot dan bus kota trendi dengan “pasar” anak muda. Mobil angkot dipermak seperti “racing” dengan bagian bawah yang ceper. Sedangkan bagian luar ditempeli aneka hiasan kata-kata atau frasa dan gambar. Bagian dalam dihiasi semenarik mungkin dengan aneka asesoris seperti boneka, tirai, hiasan gantung, bahkan botol bekas minuman keras, dan piringan disc.
Bahkan suatu malam yang gerimis, saya dan istri menyangka menaiki angkot hantu, karena seluruh bagian dalam dilapisi dengan kayu ukiran yang cantik, kecuali bagian kaca jendela dan jok tempat duduk. Pemilik angkutan kota mana yang “kurang waras” mengeluarkan banyak biaya untuk keperluan penumpang dengan tarif yang murah, pikir kami.
Tambahan lainnya pada angkot adalah kaca jendela dilapisi filter gelap sehingga adem dan speaker tambahan yang besar di bagian belakang atau di bawah bangku tambahan di belakang sopir. Kadang kala juga dilengkap televisi untuk video.
Tambahan speaker besar menyebabkan penumpang yang duduk berhadapan paling belakang terganggu kakinya. Suara musik yang seringkali diputar sopir dengan musik disko dan bass yang besar membuat jantung seakan copot. Banyak penumpang berusia di atas 40 tahun yang mengeluhkan “diskotik berjalan” ini.
Tetapi semua modifikasi angkutan kota tipe minibus berpenumpang resmi 11 orang ditambah dua orang pada bangku serap ini, ditujukan untuk menggaet penumpang muda. Mereka menikmati musik-musik terbaru dengan suara yang bagus dan tersenyum simpul melihat gambar membaca kata-kata yang kerapkali lucu tertempel di badan angkot lainnya.
Potret angkot yang trendi dan unik inilah yang berhasil direkam dengan lengkap oleh David Reeve melalui bukunya, Angkot & Bus Minangkabau: Budaya Pop & Nilai-Nilai Budaya Pop (Angkot & Bus Minangkabau: Populer Culture & Popular Value) yang diterbitkan Komunitas Bambu, Maret 2017.
Saya sungguh mengapresiasi hasil kerja Reeve, karena ia berhasil merekam dengan detil keunikan angkot dan bus di Kota Padang, menjabarkannya dengan simple, dan menyimpulkan nilai-nilai budaya pop-nya. Meski orang seperti saya sehari-hari memanfaatkan dan melihat seliweran mobil-mobil ini, kadangkala berdialog dengan sopir, pemilik, dan sopir, bahkan juga pejabat kota yang pusing menertibkan mereka karena banyak pelanggaran, tapi ternyata lebih banyak yang belum saya ketahui yang terdapat dalam buku ini.
Tak kalah penting, Reeve juga membuktikan bahwa kehadiran trasportasi kota di Padang ini juga yang paling unik di Indonesia dengan membandingkan dengan angkot dan bus kota lain di kota-kota Indonesia yang juga dihiasi pemiliknya.
Saya telah lama mendengar hal ini dan membaca sejumlah komentar di media, tapi Reeve membuktikannya dengan foto-foto dan pembahasan. Angkot di Malang, Medan, Bogor, Kupang, Ternate, Surabaya, dan Makassar ternyata kalah trendy dibanding angkot Padang.
Dadi Reeve, seorang Indonesianis Australia cukup sering berkunjung ke Indonesia selama 47 tahun terakhir, sebagai diplomat, peneliti, sejarawan, pengajar bahasa, dan manajer proyek pendidikan. Kunjungannya pertama kali ke Sumatra Barat pada 1985.
Namun, seperti ditulisnya pada pengantar buku ini, perhatiannya terhadap angkot dan bus Sumatera Barat berawal sejak 2006 saat berkunjung ke Padang untuk menghadiri acara perkawinan dan menyaksikan sistem transportasi umum yang menarik di sana.
“Saya selalu tertarik dengan bahasa yang dramatis dan berkesan mendalam… Jadi, ketika melihat dekorasi mengesankan pada angkot-angkot di Sumatra Barat termasuk bus-busnya, saya pun segera membuat catatan-catatan seraya mengabadikannya dalam sejumlah foto. Catatan-catatan beserta foto-foto yang terkumpul tersebut menjadi dasar penyusunan buku kecil ini,” tulis Reeve pada pengantar halaman 7.
Buku setebal 344 halaman ini berisi tulisan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, dilengkapi dengan foto-foto pendukung berwarna. Reeve membahas interior dan eksterior angkot. Pada eksterior ia menguraikan dan mengklasifikasikan dekorasi gambar dan dekorasi bahasa yang digunakan.
Pada dekorasi bahasa di badan angkot, Reeve mengumpulkan 830 kata, nama, slogan, dan frasa. Secara lebih luas ada sekitar 490 atau 60 persen bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya, sekitar 250 atau 30 persen bahasa Indonesia, dan sekitar 90 atau 10 persen kata bahasa Minangkabau.
Kata-kata dalam bahasa Inggris terutama menunjukkan kebutuhan terhadap kecepatan dengan tempelan frasa seperti “Need for Speed” dan “Autocar Super Speed”. Didukung banyak bodi angkot yang dimodifikasi ceper, para pemilik angkot dan sopir tergila-gila pada mobil-mobil balap yang trendi.
Kemudian kata-kata yang menunjukkan hebat dan keren (excellent dan amazing) seperti “Absolutely”, “Best”, dan “Kingdom”. Kata-kata yang menunjukan samurai dan eksekutif yang menggambarkan pekerjaan yang penuh kuasa, laki-laki yag kuat, tema militer, dan kelas eksekutif.
Tema lain adalah Disneyland/ Kota, Percintaan/ Saatnya Berpesta, Harapan Ibu, dan Suka-suka Gue/ So What!.
Frasa dalam Bahasa Indonesia bertema keluarga seperti nama-nama anak, “Doa Ibu”, dan “Anak Papa”. Tema status/ kuasa/ kata-kata positif seperti “Usaha Damai”. Tema budaya remaja/percitaan seperti “Idola Kampus” dan “Discotic Gadis Manja”. Frasa informal (gaul). Di antara semua frasa, Reeve menemukan hanya sedikit hiasan terminogi Islam. Ini bertolak belakang dengan Padang dan Sumatra Barat yang sedang gencar-gencarnya mengidentikan diri sebagai daerah Islami.
Sedangkan untuk frasa dalam bahasa Minang menurut Reeve memiliki rasa yang berasal dari bahasa jalanan dan bahasa gaul. Tak jarang bahasa Minang ditulis mirip bahasa Inggris.
Selain angkot, buku ini juga membahas hiasan pada bus kota dengan ukuran bus yang lebih besar. Namun akhir-akhir ini dominasi bus kota trendy di Kota Padang mulai berkurang dengan munculnya Trans Padang dari proyek pemerintah dengan bus resmi tanpa ditambahi asesoris. Reeve juga membahas hiasan pada bus antar kota dalam provinsi di Sumatra Barat yang juga memiliki hiasan-hiasan unik, meski tidak seramai angkot.
Angkot trendi di Kota Padang muncul karena kepemilikan bebas orang lokal, bahkan satu angkot bisa hanya dimiliki seorang pengusaha. Tidak ada ikatan yang kuat akan tertib pada aturan dan mereka berani melawan aturan pemerintah karena merasa memiliki jalan yang bermula dari tanah ulayat.
Ini ditambah dengan sopir yang rata-rata anak-anak muda tamatan SMA atau sebagian putus sekolah yang ingin menunjukkan dirinya bahwa ia tidak sekadar berprofesi sebagai sopir, tetapi itu hanya untuk ekspresi.
Hal menarik lainnya adalah Reeve lebih memilih menggunakan “Minangakabau” dan bukan Padang atau Sumatra Barat sebagai tempat angkot dan bus kota ini beroperasi. Sepertinya ia ingin menunjukkan bahwa ekspresi budaya pop ini muncul dari karakter etnis Minangkabau yang memang sudah terkenal memiliki budaya seni, baik seni hiasan maupun seni tulisan yang tinggi. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)