Budidaya toek di Sungai Goiso Oinan dan Saureinuk di Sipora Selatan terganggu penebangan di hulu yang mengeruhkan air sungai dan menurunkan kualitas toek.
BELASAN potongan batang kayu, rata-rata sepanjang 60 sentimeter, yang terikat tali, terapung berjejer di arus tenang Sungai Goiso Oinan yang tak terlalu lebar yang terletak di tengah hutan dan perladangan di desa Goiso Oinan, Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera.
Potongan pohon tumung (Arthrophyloum diversifollium) dan bag-bag (Campnosperma auriculata) yang terapung dibawah naungan rumpun bambu itu itu adalah tempat hidup toek, sejenis moluska dari kelas bivalvia yang hidup dalam kayu mati di sungai yang berair payau.
Toek (Bactronophorus sp) merupakan salah satu sumber protein penting bagi masyarakat di Pulau Sipora yang memiliki lima sungai dan sejumlah anak sungai yang bermuara ke pantai barat maupun pantai timur.
Endah Saogo (40) seorang perempuan dari Desa Goiso Oinan yang terampil membudidayakan toek, tidak tahu persis kapan orang Mentawai di Sipora mulai membuat sarang toek di batang kayu yang direndam di sungai.
“Itu sudah ada sejak nenek moyang dulu, kita tidak tahu dari mana mereka belajar membuatnya, yang pasti sejak kecil saya sudah makan toek,” katanya.
Ia mulai membudidayakan toek setelah menikah dua puluh tahun lalu, diajarkan oleh ibunya.
“Kata ibu, nak mari kita ke sungai membuat toek, kalau tidak ada ikan di rumah bisa ambil toek untuk dimakan keluargamu,” kata Endah menirukan percakapan ibunya. Ia mulai menjual toek pada 2011, karena banyak peminatnya saat itu.
Desa Goiso Oinan dan desa tetangganya, Saurenuk, menjadi pusat penjualan toek di Pulau Sipora. Keduanya memiliki sungai dan anak sungai yang dekat dengan laut, hingga merupakan tempat membudidayakan toek yang paling ideal.
***
Banyak perempuan di kedua desa itu, dan juga di desa Matobek membudidayakan toek untuk dijual. Di ketiga desa itu, di sepanjang sungai dan anak sungainya, terlihat jejeran puluhan potongan kayu tumung disepanjang sungai dan anak sungainya.
Di sungai Goiso Oinan, Endah memiliki belasan kayu sarang toek. Jika sudah terisi toek, kayu akan dibuka dan toek yang bersarang di dalamnya diambil. Lalu Endah akan kembali membuat sarang toek baru dari batang pohon yang baru ditebang.
Membudidayakan toek bukan pekerjaan mudah, begitu juga saat memanennya. Saat kami temui pada 15 November 2022 di Sungai Goiso Oinan, Endah sedang merenangi air yang kuning kecoklatan.
Mengenakan topi pet hitam dan daster berwarna cerah, ia nampak bagai seekor burung raja udang berbulu cerah yang sedang mengamati mangsanya di air. Ia memeriksa satu per satu batang kayu tumung yang terendam di dalam air.
Ketika memeriksa batang kayu berdiameter sekitar 50 sentimeter itu, ia mencari gelembung-gelembung udara dari lubang-lubang kecil pada permukaan kayu yang gelap dan licin itu.
Tiba-tiba juluran ekor toek yang putih dari beberapa lubang itu membuatnya tersenyum puas. Kayu sarang toek yang sudah itu terendam 8 bulan itu sudah saatnya dipanen.
“Sudah banyak isinya,” katanya menyeret kayu balok itu ke tepian.
Ia membelah kayu itu dengan satu ayunan kampak dan segera nampak didalamnya banyak toek berwarna putih transparan dan panjang seperti cacing, namun tidak bergerak.
Toek memiliki panjang rata-rata 30 sentimeter. Kepalanya bulat seperti kelereng yang keras dan memiliki dua gigi seperti taring. Gigi itulah yang digunakannya untuk memakan kayu mati yang menjadi sarangnya.
Di bagian ekornya terdapat dua belahan cangkang kecil yang runcing. Tubuhnya lunak, berisi lemak berwarna putih tetapi ada juga yang kecoklatan.
Sumber Ekonomi Rp1,5 Juta Per Bulan
Toek bisa langsung dimakan mentah dengan membuang terlebih dulu bagian kepala dan ekornya, juga isinya yang berwarna coklat. Hari itu Endah sudah menyediakan bumbu pelengkap yang disebut anyang – potongan bawang merah, cabe rawit, dan perasan jeruk nipis.
Saat disantap, rasanya segar, mirip rasa dan aroma kerang mentah. Endah dan para perempuan lain, menikmati hasil panen mereka.
“Kalau makan toek ini kaki kita sambil terendam di dalam sungai seperti ini, rasanya lebih mananan (enak),” kata Endah.
Toek yang dipanen itu dimasukkan ke dalam kantong plastik yang akan dijual Rp 15.000 per 500 gram, sehingga selain sebagai sumber pangan, toek juga memberikan sumber pendapatan tambahan.
Rata-rata para perempuan yang membudidayakan toek di Sungai Goiso Oinan berpendapatan Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per bulan. Namun sebagian besar dari mereka membudidayakan toek hanya untuk tambahan lauk bagi keluarganya.
“Membuat toek ini berat, saya pertama kali ikut kakak saya masuk sungai menyusun kayu toek langsung demam, karena berendam lama di dalam air sungai yang dingin,” kata Lilis Saogo (35), adik Endah yang ikut memanen toek hari itu.
Ia menjelaskan budidaya toek adalah pekerjaan perempuan, laki-laki hanya menolong menebang pohon dan menggulingkannya dari dalam hutan ke tepi sungai.
Batang pohon dipotong-potong sepanjang 30-60 cm dan dijemur selama dua minggu sebelum diikat dengan tali yang dipakukan dan kemudian direndam di sungai. Rangkaian batang pohon itu direndam selama enam bulan hingga satu tahun.
Pohon tumung yang dulunya banyak tumbuh di pinggir sungai dan di ladang kini mulai habis karena sering ditebang untuk budidaya toek, karena itu para perempuan kini mulai menanam kembali pohon tumung di tepi sungai.
Perempuan Pulau Sipora, terutama di perkampungan yang dekat dengan laut, secara turun-temurun memiliki keterampilan membudidayakan toek.
Terdampak Musim Kemarau
Toek hanya bisa hidup di kawasan estuaria – kawasan berair payau di antara pertemuan air laut dan air tawar. Sungai yang pas untuk budidaya adalah yang mengalami pasang surut air laut.
Karena membutuhkan perendaman, budidaya toek rentan terhadap dampak perubahan iklim. Di musim kemarau, hasil budidaya kurang memuaskan karena isinya cenderung berwarna merah kecoklatan.
“Pembeli tidak mau memakan toek kalau warnanya kecokelatan, bau tanah,” ujarnya.
Menurut Endah, panen toeknya kurang memuaskan dalam dua tahun terakhir. Musim kemarau yang panjang berdampak kepada surutnya air sungai sehingga kayu tidak terendam dengan sempurna.
Pertumbuhan toek menjadi lama, dari biasanya sudah berisi setelah tiga sampai enam bulan kini dibutuhkan delapan sampai 12 bulan.
Hujan lebat di akhir tahun menyebabkan sungai meluap dan airnya kecoklatan karena material tanah yang dibawanya. Dampak air keruh ini juga menjadikan warna toek menjadi merah kecoklatan.
Kalau sudah begitu, mereka terpaksa menunggu sungai kembali normal setidaknya selama empat hari sebelum memanen, agar kondisi toek membaik dan kembali bersih.
“Ini sudah satu bulan banjir karena sedang musim hujan sehingga baru hari ini saya bisa panen dan hasilnya juga sebagian warnanya tidak terlalu bagus, tidak semua toek putih, banyak yang kecoklatan,” kata Endah.
Penambangan pasir dan penebangan hutan yang dilakukan warga di hulu sungai Goiso Oinan di desa-desa tetangga, Sido Makmur dan Bukit Pamewa, sejak awal 2022 juga semakin membuat para pembudi daya toek gelisah. Hujan satu hari saja kini sudah menyebabkan Sungai Goiso Oinan meluap dan berair keruh.
“Ini yang kami takutkan, apalagi toek ini menjadi sumber ekonomi perempuan di Goiso Oinan,” katanya.
Sebagian besar warga Desa Goiusoi Oinan yang teridir atas sekitar 200 kepala keluarga, terlibat dalam budidaya toek, baik untuk kebutuhan sehari-hari maupun untuk dijual.
Di desa Saurenuk yang terdiri dari 425 kepala keluarga, ada sekitar 150 perempuan yang membudidayakan toek.
“Ada yang musiman membuat toek, sebagian besar orang di sini membuat toek, saya juga ikut membantu saat istri saya membuat toek, dia juga aktif menjualnya,” kata Susel, kepala Dusun Kalio, sebuah dusun di Goiso Oinan.
Santi Taikatubutoina (45), perempuan yang membudidayakan toek di Sungai Saureinuk juga merasakan bahwa hasil toek di sepanjang 2022 tidak terlalu bagus, karena seringnya banjir.
“Yang saya panen bulan ini hasilnya kurus, karena banjir isinya nggak bagus, warnanya kecokelatan, isinya kumuh, kalau tidak banjir isinya gemuk-gemuk dan putih-putih,” kata Santi yang ditemui pada 16 November 2022.
Ancaman Penebangan Besar-Besaran
Kepala Desa Saurenuk Tirjelius Taikatubutoinan mengatakan sejak awal 2022 hutan di Sipora menghadapi ancaman penebangan besar-besaran. Sebagian hutan alam yang berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) itu mulai ditebang pemilik lahan.
Masyarakat pemilik lahan mendapat hak akses dari Balai Pengelolaan Hutan Produksi Wilayah 3 di Pekanbaru yang juga membawahi hutan produksi di Sumatera Barat. Dengan hak akses itu mereka bisa menebang hutan dan menjual kayu gelondong keluar Kepulauan Mentawai.
Salah satu yang mendapat hak akses adalah Aser Sababalat, warga Desa Sidomakmur, Sipora Utara. Aser dan sukunya memiliki lahan seluas 243 hektare di hutan Sipora Utara.
Kegiatan penebangan di lahan Aser sudah dilakukan sejak Januari 2022. Kini sebagian besar hutannya telah hilang.
Penebangan juga terjadi di hutan Desa Bukit Pamewa dan Desa Sipora Jaya, lokasi yang menjadi hulu Sungai Goiso Oinan dan Sungai Saurenuk.
Pemilik hak akses disitu adalah Jasa Simangilailai yang mewakili tanah sukunya. Masyarakat yang mendapat hak akses ini menggandeng investor kayu yang melakukan penebangan dan menjual kayu gelondong ke luar Mentawai.
Kepala Seksi Perencanaan Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah III Ruslan Hamid mengatakan saat ini BPHB Wilayah III telah memberikan lima hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) di Pulau Sipora.
Ruslan mengatakan areal hutan yang diajukan masyarakat dari sisi status tidak masuk ke dalam areal kawasan hutan negara. Namun di areal itu ada hutan alami.
Ia menjelaskan kawasan APL itu bukan ranah institusinya, tetapi karena di atas tanah itu ada tegakan hutan yang tumbuh alami maka diperlukan Hak Akses SIPUHH untuk pemilik lahan yang akan mengelola kayunya.
“Agar hak-hak negara bisa dipungut dari situ, di hutannya itu ada potensi yang harus dia bayar ke negara setiap menumbangkan kayu. Selain itu, karena kayu ini dijual keluar Mentawai, maka perlu ada legalisasi kayu,” katanya.
Penebangan pohon di lahan ratusan hektar itu membuat sungai menjadi sering banjir dan keruh sehingga berdampak pada budidaya toek masyarakat.
“Selain toek, lokan juga banyak yang mati dan busuk karena banjir dan air yang keruh, padahal toek dan lokan itu sumber pendapatan kaum perempuan di sini,” kata Tirjelius.
Lokan, yang termasuk keluarga molusca dan hidup di dasar muara sungai, juga menjadi sumber protein masyarakat lokal.
Menurut Tirjelius banjir yang datang berbeda dari banjir sebelumnya akibat hujan. Sekarang keruh karena sedimen tanah yang hanyut dari hulu.
“Air bersih kami juga terganggu,” katanya.
Ia sudah mencoba meminta tanggung jawab pemilik hak akses hutan yang menebang di hulu Sungai Saureinuk dan Sungai Goiso Oinan, yaitu pemilik hak akses atas nama Jasa Simangilai-ilai.
“Namun Jasa mengaku tidak ada operasi penebangan lagi di lahannya, investornya sudah pergi karena banyak kayu yang telah ditebang tidak bisa dikeluarkan,” kata Tirjelius.
Kayu tebangan tidak bisa dikeluarkan dari lahan karena akses jalannya harus melewati lahan orang lain yang tidak mau lahannya dilalui dan karenanya menutup akses jalan.
“Kini Jasa sedang mencarti investor baru,” kata Tirjelius.
Sementara hutan yang masuk ke dalam hak akses atas nama Aser di hutan Berkat, Sipora Utara pada November 2022 sudah hampir habis ditebang. Hutan Desa Goiso Oinan juga hampir ditebang oleh pemilik hak akses atas nama Monang Tatubeket.
Pada September 2022 hutan sudah dibuka untuk jalan logging kayu oleh alat berat. Tetapi beberapa pemilik tanah tidak setuju sehingga penebangan dihentikan. Kini di jalan yang sudah dibuka sudah ditanami kelapa oleh masyarakat pemilik lahan.
Tirjelius mengatakan investor penebangan mengincar hutan milik masyarakat, lalu mengurus hak akses atas nama masyarakat pemilik lahan. Mereka akan membeli setiap kubik kayu dengan harga Rp25 ribu hingga Rp70 ribu dari pemilik lahan.
“Akibat penebangan selain kerusakan lingkungan juga akan menyebabkan perpecahan antar suku setelah perusahaan kayu pergi,” kata Tirje.
Ini sudah pernah terjadi pada 1990-an ketika perusahaan kayu masuk ke pulau itu untuk melakukan penebangan pada konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang juga berada di wilayah hutan adat.
“Saat ada fee kayu, penerima fee hidup elit saat ada uang dan saat perusahaan itu pergi, masyarakat kembali miskin dan hutannya habis, konflik sosial terjadi,” kata Tirje.
Konflik antar keluarga dan antarsuku juga meningkat, karena ada anggota keluarga yang tidak menyetujui penyerahan lahan komunal untuk ditebangi.
“Pola ini kembali terjadi sekarang, seharusnya masyarakat sadar dan tidak melakukan kesalahan itu kembali,” katanya.
Ia memastikan hutan adat di Desa Saureinuk tidak akan diizinkan untuk ditebang perusahaan kayu.
Tirjelius berencana membuat peraturan desa (perdes) khusus untuk perlindungan sungai. Sebab sungai sangat penting bagi masyarakat, sebagai tempat budi daya toek, mencari lokan, hingga sumber air bersih.
“Itu PR buat saya, membuat perdes tentang sungai,” katanya.
Menurut Indra Junaidi, dosen Biologi Laut Universitas Andalas budi daya toek di Sungai Saureinuk dan Goiso Oinan sangat bergantung kepada perairan yang bersih agar bisa tumbuh dengan baik.
“Kalau ada penebangan di hulu sungai berpengaruh terhadap toek, bisa saja bibit toek yang ada di perairan juga tidak bisa tumbuh karena perairan yang keruh itu,” katanya.
Menurutnya, penebangan hutan di hulu sungai menjadi ancaman besar untuk budidaya toek di sungai-sungai Sipora. (Febrianti/JurnalisTravel.com)
Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Kerusakan Lingkungan Hidup dan Hilangnya Sumber Pangan” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial.