Oleh: Misrayanti
KINA, perempuan 80 tahun, warga Kampung Baru, Dusun Sungai Telang, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi mengatakan tak mampu menahan godaan gulai tempoyak. Apalagi dikala musim durian datang, ia bisa satu minggu penuh memasak gulai tempoyak.
Sebab kalau sudah sekali memasak gulai tempoyak maka akan sulit indra perasaannya untuk makan dengan lauk yang lain. Tidak akan ada nafsu makan.
"Kalau lah takicap palu gule sam, tau payah nyan nak nyahi palu lain geh tah, takenae truih di gule sam (Kalau sudah sekali nyicip gulai asam tempoyak, itu akan sulit cari lauk lain yang sesuai, setiap makan jadi ingat tempoyak terus)," katanya.
Yang menjadi ciri khas tempoyak orang mudik (hulu) adalah dengan menggunakan cenganau dan daun medang untuk bumbu masakannya.
Kalau tempoyak orang-orang di luar hulu banyak yang tidak menggunakan kedua bumbu itu.
"Kalau masak asam tempoyak tidak menggunakan cenganau atau daun medang, tidak sedap," ujarnya.
Cenganau (Elettariopsis curtisii) bumbu dapur yang mirip seperti kunyit, daunnya lebih tebal dan memiliki bau yang menyegat.
Kiah, perempuan yang berusia lebih dari 100 tahun juga mengatakan hal yang sama. Ia mengaku di usianya yang sudah tak muda lagi, sulit sekali menemukan lauk yang cocok dengan lidahnya.
Berbeda halnya dengan gulai tempoyak. Ia sangat menyukai gulai tempoyak bahkan bisa berhari-hari masakannya hanya itu.
"Biasanya seminggu dua kali, yaitu Selasa dan Sabtu pedagang ikan masuk, kalau lagi ada uang, beli ikan mas untuk gulai tempoyak, kalau tidak ada ikan mas, ya… palingan masak gulai tempoyak cuma pakai teri," katanya.
Ia menceritakan, selain digulai tempoyak juga bisa digoreng dan dibuat sambal asam mentah. Namun ia lebih menyukai digulai dan dibuat “sam matah” (asam mentah).
Asam mentah adalah tempoyak yang diaduk dengan cabe rawit yang sudah dihaluskan tanpa menggunakan bawang. Hanya begitu sudah bisa langsung dijadikan lauk makan. Tidak ada proses memasak, makanya disebut asam mentah.
"Asam mentah itu juga enak sekali, apalagi kalau makan pakai lalapan," katanya.
Bercerita mengenai tempoyak membuat ia kembali mengenang masa lalunya sekitar 88 tahun lalu.
"Dulu kalau musim buah-buahan, terutama durian adalah kemerdekaan bagi kami" katanya.
Ia menceritakan waktu itu ketika kehidupannya sangat sulit. Tidak ada beras karena waktu itu belum mengenal bertani sawah. Sumber makanan cuma memanfaatkan hasil hutan.
“Apapun itu buahnya selagi tidak mabuk dimakan, tidak perlu dimasak dan tidak perlu nunggu masak yang penting perut terisi," katanya.
Kenapa musim buah, terutama durian waktu itu disebut sebagai kemerdekaan, tanyaku. Ia menjelaskan dengan sangat teliti seolah ia baru melewati masa itu kemarin sore.
"Dulu batang durian ada di mana-mana, hasilnya melimpah. Ketika sudah musim durian kita tidak susah payah cari makan," ujarnya.
Ia juga menjelaskan pada saat musim durian banyak orang yang tambah gemuk. “Karena setiap hari leluasa isi perut dengan yang “lemak” (enak) dan manis sampai puas," katanya sambil tertawa mengenang masa itu.
Kalau musim buah durian sudah habis orang akan beramai-ramai memungut biji durian untuk direbus dan dimakan.
"Durian itu buah dari surga, buah yang paling tidak disukai orang surga karena bau yang begitu kuat, maka dibuanglah ke bumi, ketika sampai di bumi durian menjadi raja dari sekalian buah, saking nikmatnya," katanya.
Zaman dulu tidak ada transaksi jual beli buah-buahan dan durian, sedangkan hasilnya melimpah. Maka orang berinisiatif untuk menjual tempoyak. Durian yang didapat dipisahkan daging dan bijinya dimasukkan ke dalam botol.
Kalau sudah dapat banyak baru dibawa pulang menggunakan rakit, kemudian asam tempoyak langsung dibawa ke Dusun Bedaro untuk dijual dengan jarak tempuh sekitar 50 kilometer.
"Seingat aku, dulu di daerah Batang Bungo tidak ada pohon durian, yang ada hanya di tempat kita. Karena tidak memungkinkan menjual buah durian dengan jarak tempuh yang begitu jauh menggunakan rakit, maka kita hanya menjual tempoyaknya saja," katanya.
Tempoyak dibuat dari daging durian yang difermentasi sehingga aromanya menyengat dengan cita rasa asam yang khas.
Tempoyak bisa disimpan dalam jangka waktu yang lama, bisa sampai lebih dari satu tahun. Cara menyimpan agar tahan lama, daging durian yang sudah disiapkan dalam wadah yang tertutup, seperti toples dan galon, dikasih garam.
Isi wadahnya jangan terlalu penuh dan jangan ditutup terlalu rapat, karena tempoyak mempunyai gas. Tak jarang galon isi tempoyak meledak karena ditutup dengan rapat.
Tempoyak merupakan masakan kesukaan orang Jambi Melayu dan menjadi ciri khas orang Jambi. Kalau orang asli Jambi Melayu tetapi tidak menyukai buah durian dan tempoyak, itu akan dianggap aneh bagi orang-orang.
Cara memasak gulai tempoyak sangat sederhana. Siapkan tempoyak, aduk dengan air hingga menyatu. Ketika sudah mendidih masukan cabe rawit dan kunyit yang sudah dihaluskan. Juga daun kunyit, cenganau atau daun medang, serai yang sudah digeprek, dan gula untuk penyeimbang rasa.
Kalau asam tempoyak yang baru dua malam tidak perlu dikasih gula. Namun untuk asam tempoyak yang sudah lama, sampai ada yang setahun, maka ketika memasak akan semakin banyak menambahkan gula.
Masak tempoyak versi orang Sungai Telang tidak memakai bawang, yang menjadi penyedapnya adalah jerangau atau daun medang. (*)
(Misrayanti dari Dusun Sungai Telang, Kabupaten Bungo, Jambi adalah adalah Peserta Pelatihan Jurnalisme Warga “Muda Melangkah” yang diadakan WRI-Indonesia di Bukittinggi pada akhir Agustus 2022)