SIAPA yang tidak kenal dengan cerita Malin Kundang dari Sumatera Barat. Cerita rakyat tentang anak durhaka kepada ibunya sehingga si ibu mengutuknya menjadi batu.
Batu hasil kutukan berupa tubuh dan kapal si Malin Kundang tersebut terdapat di pantai Air Manis, Kota Padang, Sumatera Barat, dijadikan obyek wisata yang ramai dikunjungi wisatawan dari dulu hingga kini.
Cerita rakyat atau legenda Malin Kundang selama ini dipercaya sebagai kisah murni dari Padang, Sumatera Barat. Atau legenda yang tumbuh dan hidup dari masyarakat di Air Manis, Padang.
Sebenarnya asal kisah Malin Kundang murni dari masyarakat Minangkabau di Padang agak diragukan. Justru yang masuk akal kisah ini berasal dari atau setidaknya dipengaruhi oleh orang-orang Aceh.
Begini alasannya.
Di Banda Aceh terdapat legenda atau cerita rakyat yang sama dengan Malin Kundang, yaitu cerita Amat Rhang Manyang. Ini cerita tentang sebuah pulau karang kecil 1,5 km dari Pantai Leuen Lhok di Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.
Pulau kecil ini memiliki bagian atas yang sekilast mirip kepala manusia cukup besar dan keseluruhan karang agak mirip kapal. Itulah badan si Amat dan kapalnya yang menjadi batu setelah dikutuk ibunya.
Amat Rhang Manyang, artinya Amat yang tinggi besar, dikisahkan warga setempat waktu kecil disayang ibunya, kemudian merantau mengarungi Selat Malaka. Beberapa tahun kemudian setelah sukses ia pun pulang. Ketika ibunya menyambut, Amat tidak mengakui. Akhirnya ibunya mengutuknya sehingga ia dan kapalnya menjadi batu.
Kenapa cerita ini bisa sama dengan nama pemuda yang berbeda? Alasan masuk akal adalah orang-orang Aceh membawa kisah yang sama untuk batu yang mirip sesosok manusia dan kapal yang karam di Pantai Air Manis.
Kisah Malin Kundang tidak akan mungkin mempengaruhi kisah Amat Rhang Manyang, karena dalam sejarah, bukan orang Padang atau dari Pantai Air Manis yang pernah memengaruhi Aceh, melainkan sebaliknya.
Ketika Kerajaan Minangkabau atau Kerajaan Pagaruyung yang menganut Hindu-Buddha menjadi bagian yang kalah bersama Kerajaan Batak dalam perang melawan Kerajaan Aceh yang didukung Turki, Moor Malabar, dan Abyssinia pada 1539, Islam mulai masuk secara resmi ke Minangkabau.
Pagaruyung yang waktu itu belum lama menduduki pantai barat Sumatera Barat, akhirnya dikuasai Kerajaan Aceh. Kerajaan Aceh mulai menduduki pantai-pantai Sumatera Barat, termasuk Padang ketika pemerintahan Sultan Alaudin Riayatsyah (1534-1571) dan mencapai puncaknya ketika kekuasaan dipegang Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Bandar-bandar penting di sepanjang barat Minangkabau dikuasai pasukan Aceh. Di setiap lokasi penting Aceh menempatkan panglimanya, termasuk di Padang. Aceh tidak hanya mengontrol perdagangan komoditas masyarakat, tapi juga mengontrol tambang-tambang emas.
Aceh berusaha memisahkan dominasi Pagaruyung yang berada di pedalaman atau Tanah Datar terhadap daerah pesisir seperti Pariaman, Padang, Air Bangis, dan Painan. Salah satu dengan memperkuat penyebaran Islam dan melarang masyarakat adat mendirikan bangunan rumah adat Minangkabau.
Ini menyebabkan masyarakat Minangkabau di pesisir nyaris tidak memiliki bangunan rumah adat tradisional bagonjong Minangkabau. Di masyarakat Minangkabau pun terkenal istilah “agama mendaki adat menurun”, artinya agama Islam menyebar dari pesisir, sedangkan adat Minangkabau menyebar dari Tanah Datar dan sekitarnya.
Kemungkinan saat itulah pemimpin pasukan Aceh atau mungkin salah seorang pemukanya yang berkuasa di Padang dan Air Manis mengarang cerita tentang asal-usul (legenda) batu di Air Manis dengan cerita yang sama dengan Amat Rhang Manyang. Tujuannya untuk mengajarkan Islam kepada anak-anak agar tidak durhaka atau melawan kepada ibunya.
Bisa juga cerita ini dikarang orang Minang sendiri yang pernah mendengar kisah Amat Rhang Manyang dari orang-orang Aceh di Padang atau ketika ia berkunjung ke Banda Aceh.
Dugaan ini diperkuat dengan nama Malin Kundang yang berbau Islam yang dipadu dengan nama lokal Minangkabau. Persis seperti "Amat" (dari Ahmad yang jelas pengaruh Islam) dipadu dengan bahasa lokal Aceh, Rhang Manyang (tinggi besar). "Malin" atau mualim adalah istilah berbau Islam atau Arab yang artinya "juru mudi kapal" atau "orang alim".
Sedangkan "kundang" artinya dalam bahasa Minangkabau ‘digendong-gendong’. Bisa artinya untuk anak kesayangan yang selalu digendong ibunya kemana pun ia pergi.
Masuknya nama Malin sebagai tokoh anak durhaka ini mengindikasikan cerita ini dibuat dalam perspektif Islam, bukan lagi Hindu-Buddha. Itu adalah masa ketika Aceh berkuasa di Padang. Sedangkan masa berikutnya di Padang adalah masuknya VOC yang mengusir Aceh dari pantai Barat Sumatera Barat pada 1664. Jadi tidak mungkin kisah ini muncul di zaman VOC atau di zaman Minangkabau yang menganut Hindu-Buddha.
Di Provinsi Aceh legenda manusia menjadi batu tidak saja di Banda Aceh, tetapi juga di Gayo. Sepasang pengantin dan sejumlah peralatannya dilegendakan menjadi batu di sebuah gua di Aceh Tengah, karena pengantin perempuan melanggar pantang ibunya yang tidak boleh bersedih meninggalkannya.
Kisah benda-benda rumah tangga yang menjadi batu ini juga menjadi legenda di sebuah tempat di Sungai Sariak, Padang Pariaman dengan kisah pertengkaran suami-istri bangsawan dari Aceh zaman dulu yang cemburu. Lokasinya dekat dengan sumber tambang emas zaman dulu di kaki Bukit Selasih. Diduga, lokasi ini pernah dihuni wakil pasukan kontrol tambang dari Aceh dan membawa legendannya ke sana.
Zaman sekarang tentu saja banyak orang akan menganggap mustahil alasan ini, karena legenda Malin Kundang si anak durhaka sangat terkenal sebagai kisah dari Padang, Sumatera Barat. Namuni alasan berdasarkan pijakan sejarah ini tidak bisa ditampik begitu saja. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)
CATATAN: Tulisan dan foto-foto (berlogo) ini adalah milik JurnalisTravel.com. Dilarang menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak tanpa izin. Jika berminat bisa menghubungi jurnalistravel@gmail.com. Terima kasih atas bantuan Anda jika membagikan tautan.(REDAKSI)