Oleh: Indah Mutiara
ROMBONGAN pemuda dan laki-laki dewasa terlihat berjalan kaki menuju makam di Desa Logandu, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah pada Jumat, 14 Agustus 2020.
Di tangan mereka, terlihat ada yang menggenggam sapu dan ember. Ada pula yang memikul cangkul dan membawa pancong.
Para perempuan berjalan di belakang. Tangan kanan mereka memegang buku dan tangan kiri kosong untuk menyapu jalanan. Obrolan mereka ditemani suara burung-burung yang seolah ikut berbicara.
Rombongan itu datang sekitar pukul 7.00 WIB untuk membersihkan makam leluhur dan sanak saudara. Mereka melakukan tradisi Gebasan, sebuah tradisi membersihkan makam leluhur yang masih dijunjung tinggi oleh warga Desa Logandu. Gebasan dilakukan tiga kali setahun.
“Gebasan biasanya dilakukan satu tahun tiga kali, pada bulan Syaban, Rabiul Akhir, dan Besar,” kata Senuk, warga Desa Logandu yang juga ikut dalam acara Gebasan.
Senuk membersihkan makam mbah buyutnya dan sanak saudara yang sudah tiada.
“Padang dalane, jembar pakuburane” merupakan isi salah satu doa yang dipanjatkan Senuk saat membersihkan makam. Tradisi Gebasan bertujuan untuk mendoakan para leluhur yang sudah mendahalui agar senantiasa diampuni dosa-dosanya dan ditempatkan di sisi terbaik oleh Sang Maha Kuasa. Tak jarang, warga Bersama-sama membaca Surat Yasin selepas membersihkan makam.
Selain membawa alat-alat kebersihan, beberapa kelaki membawa upet dan kemenyan untuk dibakar saat memanjatkan doa.
“Upet ini kumpulan mancung kelapa yang sudah dipotong kecil, kemudian diikat,” kata Senuk.
Fungsi upet sebagai alat untuk menyalakan kemenyan. Sebelum kemenyan dibakar, upet terlebih dahulu dibakar, setelah itu upet digunakan untuk menyalakan kemenyan.
Pada saat membakar kemenyan, warga memohon doa untuk para leluhur yang sudah mendahului agar diampuni dosa-dosanya. Orang-orang yang membawa dan menyalakan upet bukanlah sembarangan orang. Orang-orang inilah yang disebut sesepuh desa. Mereka dipercaya untuk memimpin doa selepas kegiatan bersih-bersih makam.
Gebasan terdiri atas beberapa rangkaian kegiatan. Hal pertama yang dilakukan adalah bersih makam dan dilanjutkan doa bersama di samping makam. Terkadang, kegiatan bersih makam diakhiri dengan membaca Surat Yasin bersama-sama. Kegiatan bersih makam dilanjutkan dengan kenduri di halaman rumah kepala desa dengan digelar beberapa “klasa” atau karpet.
Warga yang datang duduk melingkar menggunakan pakaian rapi dan sopan, karena tak ada aturan mengenai pakaian saat melakukan kenduri. Halaman rumah yang digunakan harus cukup luas untuk menampung beberapa perwakilan tiap dusun dan juga para perangkat desa yang datang menghormati acara.
Ada beberapa “ubo rampe” atau makanan khas yang wajib ada dalam kenduri tersebut agar doa yang dipanjatkan bisa sampai pada tujuan dan segera dikabulkan.
“Ya, ada ayam jawa, kethengan, serundeng, jenang abang putih, dan rakan, rakan itu gorengan singkong, dan jono,” kata Senuk.
Namun, jika ada salah satu “ubo rampe” yang tidak tersedia, bisa diganti dengan makanan lain yang sejenis. Misalnya, jika tidak ada “jono”, maka bisa diganti dengan ubi jalar. Selama “ubo rampe” masih tersedia sangat disarankan untuk tidak mengganti makanan tersebut.
Selain melakukan kenduri bersama di halaman rumah kepala desa, warga juga melakukan “selametan” di dalam rumah masing-masing. Selamatan dilakukan dengan menyediakan sesajen yang terdiri atas beberapa ubo rampe yang sedikit berbeda dengan ubo rampe dalam kegiatan kenduri bersama.
Ubo rampe yang disiapkan berupa sayur, ayam, peyek, rokok, dan kinang. Masyarakat percaya bahwa roh leluhur mungkin saja “tilik” atau berkunjung ke rumah, karena mengikuti orang-orang yang melakukan bersih makam pada pagi harinya.
Istilah “gebasan” lahir dari kata ‘gebas”. Di Desa Logandu, kata sesepuh desa, Mardiadi, kata “gebas” dimaknai dengan membersihkan. Gebasan berarti membersihkan makam para leluhur yang sudah gugur.
Secara batiniah, gebasan dimaknai sebagai kegiatan untuk memohon keselamatan untuk para leluhur agar diampuni kesalahannya. Hal ini dibarengi dengan kegiatan membakar kemenyan sebagi simbol dihapuskannya dosa-dosa yang telah lalu. Hal ini, kata Mardiadi, merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang dan sudah dilaksanakan sejak dahulu kala.
“Ya, sudah lama sekali, sudah ada dari masa Raja Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit, kira-kira dari tanggal 4 Syaban hingga 1 Syawal tahun 1362 Masehi,” ujarnya.
Dengan adanya tradisi gebasan, tambah Mardiadi, masyarakat juga membiasakan diri untuk hidup bersih dan sehat. Acara Gebasan diharapkan dapat membangkitkan semangat warga untuk selalu menjaga kebersihan di manapun pun berada, bahkan di makam sekalipun.
Selain sebagai bentuk pelestarian budaya dari nenek moyang dan juga pembiasaan untuk hidup bersih, Gebasan merupakan wadah bagi warga untuk saling berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesamanya.
Karena dalam acara tersebut warga bertemu dan bekerja sama untuk membersihkan makam para leluhur dengan gotong royong. Selain bersosialisasi, juga menyambung tali silaturahmi dengan sesama.
Tujuan utama gebasan yaitu untuk memanjatkan doa kepada para leluhur dengan kegiatan bersih makam bersama-sama. Selain itu, ternyata Gebasan memilki banyak manfaat lain, yakni sebagai pembiasaan hidup bersih dan sarana silaturahmi bagi warga. (Indah Mutiara)
(Tulisan feature ini hasil Pelatihan Jurnalisme Warga yang diadakan The Samdhana Institute dengan peserta pemuda komunitas adat se-Indonesia dengan trainer Syofiardi Bachyul Jb secara online pada 31 Agustus -21 September 2020. Indah Mutiara adalah aktivis Kelompok Lembaga Masyarakat Peduli Adat Kebumen, Jawa Tengah).