KIPLIK memandu kami masuk ke terowongan bawah tanah. Kami, saya dan seorang teman, mengikuti Kiplik menuruni anak tangga semen yang berair, menukik pada kedalaman 16 meter dari permukaan tanah kota.
Itu Lubang Tambang Batubara Mbak Soero, sebuah objek wisata andalan di Kota Sawahlunto. Sebuah lubang tambang yang terkenal karena terkait dengan nasib “orang rantai”, para tahanan dari Jawa, Sulawesi, dan Bali yang dipekerjakan dengan kaki terantai di zaman Kolonial Belanda.
Terletak di jantung kota, Lubang Mbah Soero baru dibuka untuk umum 23 April 2008. Itu setelah digali dan direstorasi lebih setengah tahun. Masuk ke dalamnya mirip Lubang Jepang di Bukittinggi. Bedanya, air merembes di sejumlah titik di dinding dan menetes dari atap. Juga udara yang lembab dan oksigen yang kurangnya.
Lubang Mbah Soero adalah bekas terowongan tambang tua batubara sejak “emas hitam” Sawahlunto ditemukan W. H. Van Greve, seorang geolog Belanda pada 1868 dengan perkiraan deposit 200 juta ton.
Ini bukan lubang pertama sejak lahan Sawahlunto dibebaskan Belanda untuk areal tambang batubara sejak 1886. Lubang pertama di Sungai Durian, sekitar 7 km dari sini. Lubang Mbah Soero yang dulu juga terkenal dengan nama lubang Lembang Soegar dibuka pada 1898. Namun inilah lubang yang terletak di jantung kota.
Lubang ini terkenal sebagai “Lubang Mbah Soero” karena diawasi mandor dari Jawa bernama Soerono. Ia orang yang disegani dan dipercayai memiliki ilmu kebatinan. Lubang ini ditutup pada 1932, ketika Belanda masih berkuasa. Tak ada catatan sejarah kenapa ditutup, namun diduga karena rembesan air yang tidak terkendali hingga memenuhi lubang.
“Mitos lain, lubang ini konon meminta tumbal nyawa manusia, tujuh orang hitam (pribumi) dan tujuh orang putih (Belanda), orang Belanda tidak mau, karena itu ditutup,” kata Kiplik.
Seberapa luas lubang ini sesungguhnya adalah sebuah misteri. Menurut Kiplik (nama aslinya Sudarsono), pegawai pemandu Mbah Soero Tunnel, karena peta lubang ini tak pernah ditemukan. Ia menduga hilangnya peta bisa karena upaya Belanda merahasiakan deposit batubara yang sangat besar.
Pemerintah Kota Sawahlunto baru membersihkan lubang tua ini sekitar 80 meter, menurun ke perut bumi. Seluruh dinding terdiri dari batu bara berkualitas bagus, hitam legam. Di ujung terlihat genangan air, seperti danau bawah tanah. Tapi bangunan tembok dan beton asli masih terawat.
Aslinya tidak ada tangga, hanya jalan untuk gerobak dorong dari besi dengan rel. Tangga semen dibuat setelah dibuka untuk kemudahan wisatawan.
Tapi terowongan ini tidak hanya satu, mirip jaring yang saling terhubung. Dua jalur masuk sudah dibersihkan dan satu jalur sejajar yang tidak memiliki pintu keluar. Lalu ditambah dua jalur melintang yang datar dengan jarak setiap pertemuan 30 meter.
TUR 186 METER
Beberapa lubang sengaja ditutup dengan semen beton karena ditemukan banyak tengkorak saat penggalian. Tengkorak-tengkorak itu diduga bekas mayat para “orang rantai” dan dikuburkan dipemakaman khusus “Orang Rantai” Sawahlunto di sebuah bukit.
“Pemandu kebatinan atau paranormal yang menemani renovasi menyarankan untuk menutupnya agar tidak bermasalah kepada pengunjung,” kata Kiplik.
Kami dibawa menuju ujung lubang mendatar dengan tur sejauh 186 meter. Di sini kami merasakan nikmatnya oksigen yang dialirkan melalui pipa blower berdiameter 30 cm dari atas. Tanpa blower, oksigen di ujung terowongan hanya tinggal 15 persen.
“Ada informasi lubang ini dulunya tembus ke sentra listrik (central electrice-red) tenaga uap, para pekerja langsung memasok batubara ke sana lewat lubang,” kata Kiplik.
Saya pernah mendengar dari saksi mata, seorang mantan pejuang 45 di kota ini yang menggunakan terowongan bekas sentra listrik tersebut sebagai perakitan granat ketika melawan pendudukan Jepang pada 1940-an dan lubangnya tembus di sekitar Lubang Mbah Soero. Tapi terowongan itu sudah tertutup jika masuk dari ruang bawah tanah sentra listrik.
Jika itu benar, sangat mengagumkan. Jaraknya dari tempat kami sekitar 160 meter dan bersisian dengan sungai Batang Lunto yang membelah kota. Sentra listrik bertenaga uap itu dibangun pada 1894 di lokasi yang jauh lebih tinggi dekat stasiun kereta api. Tapi tutup pada 1924 setelah sentra listrik yang baru dibangun di Salak, sekitar 5 km dari sana.
Kini di atas bekas sentra listrik itu dibangun Masjid Agung Nurul Islam sejak 1952 dan menaranya yang tinggi dijadikan menara masjid.
“Ada rencana penggalian Mbah Soero Tunnel akan dilanjutkan,” kata Kiplik.
Di luar pintu lubang, patung seorang Belanda penjaga sedang mengawasi dua pekerja tambang mendorong gerobang besi rel penuh “emas hitam” yang berkilat diterpa sinar matahari. Rantai bekas para pekerja, yang asli, dipajang di gedung “Info Box” di dalam kotak kaca.
Sebelum pergi, penjaga menyerahkan sertifkat Lubang Mbah Soero sembari memberikan kelebihan uang tiket masuk. Saya tercatat sebagai pengunjung wisata menelusuri terowongan Mbah Soero.
MUSEUM GOEDANG RANSOEM
Berjarak 190 meter dari Lubang Mbah Soero, ada Museum Goedang Ransoem. Ini bekas dapur umum yang dibangun Kolonial Belanda pada 1918 untuk menyuplai makanan bagi ribuan buruh tambang, termasuk “orang rantai” dan pasien rumah sakit.
Sejumlah periuk, kuali-kuali raksasa, dan tungku raksasa bermerek “Rohrendampfkesselfabrik” tahun 1894 berbahan bakar batubara membuktikan dapur umum ini sudah menggunakan peralatan memasak massal berteknologi modern pada zamannya.
Di sini kita bisa menonton film dokumenter wisata tambang Sawahlunto berdurasi 15 menit di Ruang Audio-Visual. Ada tiga judul film yang ditawarkan.
Lebih setengah kilometer dari Museum Goedang Ransoem kita bisa mengunjungi Museum Kereta Api yang terletak di Stasiun Sawahlunto. Di sini bisa disaksikan peninggalan kejayaan perkeretaapian Sumatera Barat yang dibangun akhir abad ke-19.
Ini museum kereta api kedua di Indonesia setelah Museum Kereta Api Ambarawa, Jawa Tengah. Kita bisa menyaksikan sejumlah peralatan kereta api zaman Kolonial. Selama beberapa tahun kereta api wisata dengan lokouap yang di Sumatera Barat disebut “Mak Itam” (Paman Hitam) bisa dinikmati. Namun sejak beberapa tahun lalu kereta tua ini tidak berfungsi.
Kereta api lokouap jenis ini adalah transportasi utama ekspor batubara dari Sawahlunto melewati Pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) di Padang sepanjang 155,5 km sejak dibangun 1894.
Untuk tujuan wisata, Mak Itam berbahan bakar batubara ini pernah dioperasikan membawa dua gerbong ala kereta api cowboy setiap hari Minggu ke daerah sentra tenun di Silungkang pergi-pulang.
Saya benar-benar surprise dengan Kota Sawahlunto. Sawahlunto adalah kota tambang batubara yang mati setelah aktivitas penambangan menurun setelah dieksploitasi lebih satu abad.
Adalah Wali Kota Amran Nur dua periode yang bertekad menjadikannya sebagai kota wisata tambang. Ini pilihan terbaik daripada terus mengandalkan batubara yang tinggal untuk tambang dalam yang sulit dieksploitasi.
Saya surprise karena impian Amran menjadikan Sawahlunto sebagai kota wisata terwujud. Tiga lokasi objek wisata sejarah yang baru saya lihat masih direncanakan ketika saya berkunjung pada 2005. Pada 2013 semuanya terwujud dan dikelola dengan sangat bagus.
Ada selusin bangunan bersejarah peninggalan Kolonial Belanda di kota, semuanya sudah enak dipandang karena terawat. Gedung ruang pertemuan di masa lalu yang dibangun pada 1910 dengan nama “Gluck Auf”, tempat para pejabat Kolonial menari dan menanyi, kini menjadi Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto. Ada kafe di sampingnya yang setiap hari melayani aneka makanan khas setempat.
Di sudut-sudut jalan raya terdapat bangku taman yang cantik mengarah ke panorama objek wisata. Juga ada toilet umum yang indah di pinggir jalan.
MENUJU WORLD HERITAGE UNESCO
Kini Pemko Sawahlunto sedang memproses usulan agar kota itu masuk World Heritage Cities Programme UNESCO sebagai kota tambang batubara bersejarah. Mereka siap menghadapi proses yang panjang penjurian.
Pembangunan Sawahlunto menjadi kota wisata tak hanya membenahi objek sejarah tambang, tapi juga objek wisata family gathering yang terutama ditujukan untuk lokal. Sebuah kawasan bekas tambang di Kandi, 11,6 km dari kota, dijadikan kebun binatang dengan maskot gajah. Di sana juga ada Taman Kupu-kupu.
Anda juga bisa menikmati paint ball dan naik perahu di danau. Di sini juga ada arena pacuan kuda. Di lokasi lain di Muara Kalaban ada Water Boom yang selalu ramai pengunjung. Ini water boom pertama di Sumatera Barat.
Sawahlunto juga memiliki objek wisata sejarah lain, makam Mr. Muhammad Yamin di Talawi, 16,6 km dari pusat kota. M. Yamin adalah konseptor Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan pencipta lambang Polisi Militer, wajah Gadjah Mada. (Syofiardi Bachyul Jb/ JurnalisTravel.com)
Tulisan ini berdasarkan liputan dan ditulis pada November 2012, direvisi November 2016.
Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)