SEKOLAH TAN MALAKA
Kepala SMA Negeri 2 Bukittinggi, Muslim mengatakan kepada Harry Poeze ia sendiri tidak tahu sejarah sekolahnya. Harry tersenyum mendengarnya. Budi Fitriza, guru sejarah sekolah itu malah bercerita, pernah memberi tugas kepada siswanya untuk menuliskan sejarah sekolah itu dan siswanya membuat laporan dari bahan di internet.
“Beri alamat email Anda, nanti saya kirimkan foto-foto sekolah ini dan sejarahnya dari Belanda, sekolah ini pantas ditukar namanya menjadi Sekolah Tan Malaka,” kata Harry.
Dari informasi kepala sekolah diketahui, asrama yang pernah ditempati Tan Malaka saat bersekolah dulu masih ada, tapi kini sudah menjadi asrama polisi di belakang sekolah.
“Saya senang, sekolah ini masih tetap berdiri, tidak hancur karena perang dan gempa bumi, padahal sudah satu abad, luar biasa,” kata Harry saat kami keluar dari gerbang sekolah.
Kami meneruskan perjalanan ke Payakumbuh sambil mengganyang kerupuk sanjai, dakak-dakak, dan paniaram, makanan khas Payakumbuh. Harry Poeze mencicipi sepotong paniaram, kue yang terbuat dari tepung beras dan gula aren.
“Rasanya mirip salah satu kue di Belanda,” kata pencinta masakan Indonesia ini. Ia beruntung karena salah satu anak lelakinya punya istri orang Indonesia dan kini tinggal di Surabaya.
“Tiap ke sini saya diundang makan masakan tradisional Indonesia di rumah mereka,” katanya.
Perjalanan mengunjungi kampung halaman Tan Malaka bagi Harry Poeze juga seperti menapaki jejaknya sendiri. Saat pertama kali berkunjung pada 1976 ia datang bersama istrinya Henny Poeze untuk memulai penelitiannya ke kampung Tan Malaka.
“Waktu itu saat sampai di Suliki, sekitar 10 km dari Pandan Gadang, kami bertemu dua serdadu dan melarang kami ke Pandan Gadang, serdadu itu mengatakan desa itu terlarang dimasuki, tetapi saya dan Henny berpura-pura menjadi turis biasa yang tidak tahu bahasa Indonesia, akhirnya kami berhasil ke Pandan Gadang,” kenang Harry.
Di rumah Tan Malaka ia bertemu dengan kemenakan Tan Malaka yang menempati rumah tua itu. Di kampung itu ia menggali masa kecil Tan Malaka dengan penduduk yang masih mengenal tokoh tersebut.
“Tan Malaka orang yang luar biasa dan petualangannya sangat menarik, saya harus melintasi enam benua untuk mencari jejak sejarahnya, jejaknya ada di mana-mana,” kata Harry memberi alasan ketertarikannya kepada Tan Malaka.
Ia menghabiskan waktu selama 30 tahun untuk meneliti Tan Malaka. Termasuk 10 tahun untuk menulis buku “Tan Malaka, Dihujat dan Dilupakan, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949” dalam bahasa Belanda yang diluncurkan Juli 2007. Terjemahan dalam bahasa Indonesia dalam 6 jilid yang diterbitkan kemudian.