Oleh: I Wayan Karta
Februari-Maret adalah bulan panen salak di Kabupaten Karangasem. Pagi itu Aku berangkat dari Denpasar menuju penghasil salak terbesar di Bali, Desa Sibetan di Kabupaten Karangasem.
Perjalanan yang ditempuh sekitar 1,5 jam, tapi sungguh mengasyikan. Melewati hamparan sawah di setiap batas desa.
Kedatanganku ke desa itu karena ada sedikit hal yang menggelitik untuk ditelusuri. Ya, tentang salak dan dilema yang terjadi.
Perjalanan menuju desa itu sungguh tidak terasa, karena mata dimanjakan oleh keindahan alam yang asri. Sesekali terlihat ibu-ibu menjinjing pakan sapi dan hasil panen. Sungguh, mereka sangat menikmati kesederhanaan.
Memasuki wilayah Desa Sibetan kita disuguhi ciri khas desa. Sepanjang jalan terbentang kebun-kebun salak dengan pagar-pagar hidup yang unik. Di tengah perjalanan, Aku berhenti di sebuah warung dan menanyakan harga salak.
“Ibu, aji kude niki salake nggih?” (Ibu, berapa harga salak ini ya?) tanyaku pada seorang penjaga warung yang menjual salak lengkap dengan timbangannya.
“Oh, yen niki salak biasa hargane Rp1.500 per kilogram, yen salak gula pasir hargane Rp10.000 per kilogram,” katanya.
“Kok murah sekali, Ibu?”
“Nggih, nak musim panen niki,” (Ya, karena musim panen ini) jawabnya.
Aku agak heran karena di sekeliling warung banyak sampah buah salak berserakan. Bau busuknya sangat khas.
“Ibu, kok salaknya banyak dibuang seperti itu?” tanyaku sembari memilah salak yang bagus.
“Ya Dik, karena harganya sangat murah dan tidak ada yang membelinya, jadilah sampah,” jawabnya.
Aku sangat sedih melihat pemandangan seperti itu. Desa Sibetan dikenal sebagai penghasil salak, tetapi belum bisa memberikan hasil maksimal dari salak tersebut. Kulanjutkan perjalanan menjumpai seseorang yang akan memberikan pencerahan tentang salak tersebut
Agrowisata Abian Salak Sibetan
Kuparkir sepeda motor di sebelah pohon besar. Tampak tulisan “Agrowisata Abian Salak”. Wah, ini yang kucari untuk tahu banyak tentang salak di Desa Sibetan.
Aku menaiki tangga menuju sebuah bangunan seperti resto yang terbuat dari bambu. Di sini aku bertemu dengan seorang lelaki berumur 46 tahun, I Nyoman Mastra namanya.
I Nyoman Mastra dikenal sebagai ‘Pak Kongking’ di Desa Sibetan. Ia adalah tokoh yang memperjuangkan lahannya untuk tetap berkebun salak.
Beberapa perkebunan salak ada yang telah berubah menjadi perkebunan lainnya. Namun Pak Kongking tetap mempertahankan varietas jenis salak sibetan dengan menjadikan lahannya seluas 1 hektare sebagai agrowisata.
Aku melihat beberapa orang sedang menikmati produk khas salak. Di dinding bangunan tampak sejumlah poster anek jenis produk olahan salak. Pajangan produk terlihat di lemari-lemari kacanya.
“Agro Abian Salak ini dibangun bertujuan untuk menjadikan lahan ini sebagai media edukasi dan wisata tentang salak sibetan,” kata Pak Kongking.
Ia mengaku sedih jika seandainya nanti salak-salak tersebut tidak dikembangkan lagi. Ini terbukti dari semakin luasnya lahan salak menjadi perkebunan jenias varietas buah lainnya.
“Lebih sedih lagi saat musim panen, harganya sangat anjlok,” ujarnya.
Desa Sibetan memiliki 12 jenis salak. Salak unggul namun belum banyak dikembangkan adalah ‘salak gula pasir’. Salak biasa masih ditanam di beberapa kebun warga.
Di lahan Pak Kongking pengunjung dapat melihat jenis-jenis salak yang ditanam di Desa Sibetan. Mereka bisa langsung memetik dan menikmati rasa masing-masing buah.
Setelah selesai mengobrol aku disuguhi minuman kopi. Rasa kopinya agak berbeda. Ternyata itu kopi yang berasal dari murni serbuk biji salak yang telah disangrai. Wah, bentuk produk kreatif dari salak.
Bioteknologi Pengembangan Produk Salak
I Nyoman Mastra menyampaikan keprihatinannya tentang buah salak pada musim panen. Banyak buah yang tidak dipanen dan dibiarkan di pohonnya. Atau mungkin tetap dipanen pemiliknya, tetapi banyak yang tidak laku dan akhirnya menjadi sampah.
Di tengah keprihatinannya itu, ia mencoba mengembangkan berbagai macam produk olahan salak. Produk olahan itu ia diskusikan dengan salah seorang peneliti dari Perguruan Tinggi kesehatan di Bali, yakni Poltekkes Kemenkes Denpasar.
Kolaborasi tersebut menghasilkan inovasi produk olahan berbahan dasar salak, seperti kopi biji salak, kurma salak, teh kulit salak, madu salak, dan cuka salak. Dari kelima produk itu, cuka salak merupakan produk bioteknologi dengan teknik fermentasi. Proses fermentasinya pun lumayan unik.
“Bagaimana awalnya bisa membuat cuka salak ini, Pak?” tanyaku.
“Kisahnya lumayan unik,” kata Pak Kongking.
Awalnya ia membuat kurma salak. Perasan buahnya ia diamkan dalam jeriken tertutup. Kemudian setelah empat bulan ia coba dan perhatikan. Ternyata baunya seperti cuka dan terdapat ada gumpalan dalam jeriken.
“Nah, sejak itu saya memproduksi cuka salak dengan gumpalan ini,” kata Pak Kongking.
Pak Kongking kemudian menunjukkan produk cuka salak dan proses pembuatannya. Memang benar, ternyata dalam proses fermentasi menggunakan isolat lokal.
Isolat lokal itu memang masih perlu diteliti lebih lanjut dalam mengidentifikasi jenis mikrobanya. Jenis isolat lokal tersebut masih sedang diuji di laboratorium.
“Saya terus memproduksi cuka salak ini karena dipercaya dapat digunakan sebagai terapi obat,” kata Pak Kongking. “Selain itu saya tetap mengolah salak menjadi produk ekonomis, sehingga saat panen pun salak tidak terbuang.”
Ternyata itulah motivasi Pak Kongking terus memproduksi cuka salak. Motivasi tersebut tentu perlu didukung oleh semua pihak agar saat panen buah salak tetap bisa diolah dan memiliki nilai ekonomis.
Cuka salak dari Agro Abian Salak selama ini tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan.
Cuka salak memang memiliki khasiat untuk kesehatan. Produk bioteknologi dari buah salak ini memiliki kemiripan khasiat seperti cuka apel. Berdasarkan hasil penelitian, cuka salak mengandung asam asetat dan senyawa polifenol.
Asam asetat pada cuka salak diduga memberikan pengaruh terhadap kontrol glukosa darah dengan cara mempengaruhi laju pengosongan lambung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan laju pengosongan lambung pasca pemberian cuka sehingga terjadi kontrol kadar glukosa darah.
Prinsip laju pengosongan lambung adalah lambung yang awalnya penuh secara berangsur-angsur akan kosong kembali karena adanya proses pengangkutan makanan menuju usus untuk diserap oleh tubuh.
Seperti halnya dengan kadar glukosa darah, kecepatan laju pengosongan lambung yang menurun akan memberikan efek kenyang dan mempengaruhi penyerapan sari-sari makanan oleh usus halus. Hal itu menyebabkan pelepasan glukosa ke dalam darah lebih lambat dan memperlambat rasa lapar yang timbul, serta mencegah penumpukan lemak dan air di dalam tubuh.
Mekanisme cuka dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah komponen utama pada cuka berupa asam asetat. Hal itu diduga mampu menghambat aksi dari enzim disakaridase yang berakibat pada proses pencernaan dari karbohidrat kompleks, sehingga penyerapan glukosa hasil pencernaan akan lebih lambat dan kenaikan indeks glikemik dapat terkontrol.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian cuka dapat meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan kadar glukosa pospandrial, dan menurunkan level resistensi insulin, karena adanya kandungan zat seperti asam asetat.
Polifenol pada cuka salak bersifat sebagai antioksidan. Hal itu dapat mengurangi reaktivitas radikal bebas sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah akibat dari ‘stress oksidatif’ dan mencegah terjadinya oksidasi yang berlebihan. Penghambatan tersebut dapat melindungi sel beta pankreas dari kerusakan.
Hasil bioteknologi Agro Abian Salak dengan memproduksi cuka salak sebagai minuman untuk kesehatan merupakan bentuk inovasi dalam pertanian.
“Saya berharap produk khas salak bisa semakin diminati masyarakat,” kata Pak Kongking.
Bagaimana rasa masing-masing produk khas salak Desa Sibetan? Silakan berkunjung ke Agro Abian Salak, Desa Sibetan, Kabupaten Karangasem, Bali. (I Wayan Karta)