BERHADAPAN langsung dengan Singapura, pulau Belakang Padang menyajikan suasana romantis. Bertemu orang-orang ramah memudahkan jawaban rasa penasaran.
Tiba di Batam, perpisahan tak terelakkan. Istri dan anak-anak saya memilih bepergian ke Singapura dengan kapal cepat. Saya memilih berkeliling menikmati Pulau Belakang Padang. Sebuah pulau berjuluk ‘Pulau Penawar Rindu’ yang persis berada di perbatasan dua negara.
Sebagian orang yang saya jumpai mengatakan, saya akan mengerti dengan sendirinya kenapa pulau tersebut dijuluki begitu. Pagi sekali, Pelabuhan Sikupang, Batam masih sepi. Cuaca pagi bulan Desember itu sedikit berawan.
Pelabuhan Sikupang terdiri dari tiga bagian utama. Paling ujung pelabuhan internasional tempat kapal-kapal ke Singapura berlabuh. Di tengah pelabuhan domestik antarpulau. Menyempil di tepi pelabuhan domestik, sebuah dermaga kecil yang hanya disinggahi perahu-perahu berukuran kecil. Saya sudah berada di dermaga itu saat beberapa penumpang tampak turun dari perahu mesin.
Senyuman warga tampak ramah. Penjaga dermaga mengingatkan para penumpang perahu untuk naik ke dermaga dari sisi kanan.Sedangkan sisi kiri hanya untuk turun ke perahu. Tak butuh lama menunggu perahu dipenuhi penumpang, perahu itu segera melaju.
Sentosa Island di Singapura nampak megah dari kejauhan. Gedung-gedung menjulang seperti dunia lain yang diselimuti kabut. Awan gelap menyeberangi selat Singapura. Saya berharap awan itu berpindah arah sehingga Pulau Belakang Padang tak kuyup disiram hujan. Gelombang laut terasa tenang, sedangkan si kapten perahu menaik-turunkan penutup plastik agar penumpang tak kebasahan.
Herman telah menanti di tepian dermaga Pulau Belakang Padang. Sudah belasan tahun, pria asal Probolinggo ini menetap di sana. Saya seolah mengenal pria ini sejak lama lantaran keramahannya. Padahal, perjumpaan kami berlangsung tiba-tiba ketika dia menawarkan becak untuk berkeliling pulau.
Pria ini menceritakan Pulau Belakang Padang dihuni berbagai suku. Dia sendiri Jawa, sedangkan orang Melayu dan keturunan Tionghoa juga banyak mendiami pulau ini. Rumah-rumah tersusun rapi di pinggir jalan yang tak seberapa lebar.
“Hanya ada ambulans, selain satu mobil milik pemerintah,” kata Herman.
Sehingga kendaraan didominasi sepeda motor. Sedangkan rombongan pengayuh becak menanti penumpang dekat dermaga. Kehidupan di pulau ini tempak begitu akrab, satu sama lain saling kenal. Suasana yang berbeda dari Batam.
Herman mengajak saya mengitari seluruh jalan lingkar di pulau itu. Setengah jam mengayuh ia berhenti di sebuah bendungan yang tidak terawat.
“Waduk ini berisi air payau, sejak dibangun beberapa tahun lalu jarang dirawat, kebanyakan warga membeli air galon untuk minum dan air hujan digunakan untuk keperluan lain,” katanya.
Air waduk berwarna kehijauan, ganggang telah menguasai badan air. Sisi waduk yang agak tinggi kembali memperlihatkan Singapura dari kejauhan.
Jalanan pulau Belakang Padang selain terbuat dari semen, sebagian ada juga yang dikeraskan memakai ubin. Sisi kiri-kanan jalan yang sepi dipenuhi dengan bakau. Air laut tampak tenang kebiruan.
“Disini banyak udang dan ketam,” kata Herman.
Penduduk membiarkan bakau tumbuh liar supaya hewan-hewan bisa bersarang dan bertelur.
Sekilas tampak tak ada yang istimewa di pulau ini sebelum saya bertemu pegawai Puskesmas Belakang Padang bernama Adita Maulina.
“Sebelum pusat pemerintahan dipindahkan ke Batam, Belakang Padang pusat pemerintahan pertama, kantor camat, imigrasi, Angkatan Laut,dan lainnya berpusat di sini,” jelasnya.
Belakang Padang, lanjut Dita, mencakup wilayah kepulauan kecil yang berada di sekelilingnya. Lebih dari 100 pulau berada di wilayah ini.
“Tak heran, jika tempat ini memiliki hubungan yang khusus dengan Singapura, banyak warga Belakang Padang yang memiliki kerabat di seberang (Singapura), bahkan saban hari ada saja sanak keluarga yang datang,” katanya.
Pada zaman Kerajaan Tumasik (Singapura), pulau ini sudah menjadi salah satu tempat yang didiami masyarakat, kisah Dita. Riset kecil saya tentang kerajaan ini menyebutkan Kerajaan Tumasik sudah ada sejak zaman pemerintahan Sang Nila Utama (Seri Tri Buana) kira-kira tahun 1300 hingga 1348, dulunya berkemungkinan besar menjadi bagian dari Sriwijaya yang berpusat di Sumatera daratan.
Pulau Sambu yang terletak persis di seberang dermaga mengingatkan saya pada kisah konfrontasi Indonesia-Malaysia di zaman Presiden Soekarno. Pulau ini pernah menjadi markas Komando Operasi TNI AL. Saya memandang sekilas ke pulau itu di sela obrolan dengan Dita.
Rasa penasaran saya lantas terjawab oleh Dita. Keramahan orang-orang Belakang Padang adalah penawar rindu yang mumpuni bagi para tetamu.
“Sekali datang ke sini, biasanya rindu datang lagi,” goda Dita.
Menikmati Teh Tarik
Saya duduk di kedai kopi milik Ameng, menghadapi Singapura. Dia menawarkan kopi, tapi saya malah memilih teh tarik. Teh tarik buatan Ameng sudah terkenal di banyak tempat.
Ameng menyajikan teh tarik dengan cara tak biasa. Untuk minum di tempat, dia menaruh teh tarik di dalam wadah gelas. Justru ketika pembeli ingin membawa teh tariknya ke luar warung, Ameng menyediakan wadah dari kaleng susu ataupun botol minuman.
“Dulu saya lihat di Singapura, orang membawa teh tarik dalam kaleng dan botol,” katanya.
Anak Ameng, Eka Putra Lim memperlihatkan kepiawaiannya meracik teh tarik. Dia memanaskan air untuk membuat teh yang kental. Begitu teh dimasukkan ke mug logam, dia lantas menambahkan susu kental manis.
Eka tak mengaduk, tapi menuang teh dari wadah mug logam ke dalam mug kedua. Dia mengangkat mug agak tinggi sehingga air tercurah seperti air terjun kecil. Begitu selanjutnya.
“Tak ada hitungan berapa kali harus menuang, kira-kira saja kalau teh dan susu sudah tercampur sempurna maka siap disajikan,” jelasnya.
Ketika teh tarik sudah siap saji, gelembung udara mengapung di permukaan.
Eka mengaku, ayahnya mengadopsi cara itu untuk menarik pelanggan. Para pemesan biasanya berasal dari kota Batam. Mereka menyewa perahu mesin reguler dari pelabuhan Sikupang. Perjalanan dari Sikupang hanya 20 menit.
Perjuangan ayahnya membuka kedai kopi, kata Eka, sejak 1980. Keluarga Ameng pindah dari Tembilahan di Indragiri Hilir ke Pulau Belakang Padang.
“Ini kedai kopi kelima, kedai pertama harus pindah karena kebakaran pada1981,” ucapnya.
Sembari membuka kedai kopi di Pulau Belakang Padang, bapaknya bekerja di Singapura sebagai pelayan di warung kopi. Sekali dua minggu bapaknya pulang untuk melihat perkembangan kedai kopi milik sendiri.
Nikmatnya teh tarik Ameng tentunya bukan hanya sekedar cita rasa dan cara penyajian. Tapi suasana Pulau Belakang Padang yang langsung menghadap Sentosa Island di Singapura, menjadi penawar penat. (Syafrizaldi Aal/JurnalisTravel.com)