Jika Anda berkunjung ke Kota Padang jangan pernah mengabaikan tempat ini, Gunung Padang, karena di ketinggiannya keindahan Kota Padang yang menghadap Samudera Hindia akan terlihat dengan jelas.
Jika ada teman yang pertama kali berkunjung ke Kota Padang, saya hampir selalu membawa mereka berwisata ke Gunung Padang. Seperti pada minggu lalu saya menemani dua teman dari Jakarta.
Yang pertama saya ingatkan tentu saja perbekalan air minum, karena kita harus mendaki Gunung Padang yang menjulang di atas permukaan laut. Sebenarnya ini bukan gunung, tapi bukit kecil setinggi 85 meter di atas permukaan laut. Dulu pada zaman Belanda, Gunung Padang ini juga sudah menjadi tempat wisata favorit warga Padang, baik orang Belanda maupun pribumi.
Bahkan Pemerintahan Belanda sudah membangun taman dan jalan dari batu di Gunung Padang. Ini saya ketahui belakangan setelah membaca kembali roman klasik Siti Nurbaya karya Marah Rusli yang terkenal itu.
Gunung Padang terletak di Muara Sungai Batang Arau yang menjorok ke laut dan ditutupi hutan tropis yang rindang. Sebelum mendaki, kami harus lebih dulu membeli tiket masuk Rp10 ribu per orang.
Ini kawasan wisata yang dikelola Pemerintah Kota Padang. Kebersihannya cukup terpelihara, sampah dan daun-daun yang gugur di jalan kecil bertangga rajin disapu petugas kebersihan.
Kami menapaki jalan dari semen dan batu pada sore hari. Suasananya lumayan sepi, hanya beberapa orang yang berpapasan turun saat kami mulai mendaki. Orang-orang yang memancing juga tidak kelihatan, mungkin karena kami datang tidak pada akhir pekan.
Biasanya pada Sabtu dan Minggu di atas batu-batu karang di kaki Gunung Padang banyak pemancing yang duduk menghadap laut di depannya dengan pancing di tangan berharap mendapat udang dan ikan karang.
Kami mulai menjejaki anak tangga dari semen yang mendaki, semakin lama semakin terjal. Jalan setapak tersebut dinaungi kerindangan pohon-pohon yang besar dan tinggi. Udaranya sangat segar, khas udara hutan hujan tropis.
Pohon-pohon itu dipenuhi monyet yang aktif melompat dari dahan ke dahan. Buah-buah hutan yang mereka makan berjatuhan ke jalan.
Pada zaman Kolonial Belanda Gunung Padang ini dinamai “Apenberg” dan “Monkey Mountain”.
Kami melewati meriam peninggalan Jepang yang menghadap ke mulut muara yang di seberangnya kota. Ada tiga meriam di tempat yang strategis menghuni bangunan pertahanan.
Semakin lama jalan semakin terjal, mulai menguras tenaga, tetapi pemandangan di bawahnya menakjubkan. Samudera Hindia yang terbentang di depan terlihat biru muda.
Saat menjelang puncak, jalan melewati batu besar setinggi rumah. Ada jalan sempit melewati celah batu. Di baliknya ada makam yang dinamai makam Siti Nurbaya.
Tentu saja ini makam tidak benaran, karena Siti Nurbaya adalah novel karangan Marah Rusli yang mengisahkan Siti yang meninggal dan dimakamkan di Gunung Padang.
Untuk melihat makam rekaan ini kami melewati celah batu dan turun tangga yang kecil dan terjal. Makam terletak di lokasi mirip gua yang diapit batu-batu besar.
Sebuah makam ditutupi kelambu. Teman saya berziarah di makam itu, memanjatkan doa untuk ahli kubur.
Kami melanjutkan perjalanan ke puncak bukit. Monyet ekor panjang berbulu kelabu makin banyak bermain di atas pohon. Tak lama kami sampai juga. Pendakian sepanjang satu kilometer yang cukup menguras tenaga itu akhirnya berakhir.
Kami sampai ke Taman Siti Nurbaya yang terlatak di puncak bukit. Ada jalan setapak yang rapi, batu-batu besar, dan beberapa bangku di bawah pohon tempat memandang ke segala penjuru.
Dari puncak, pas di belakang plang nama raksasa “Padang Kota Tercinta” yang mengarah ke kota, kami bisa melihat Kota Padang dengan jelas, terutama kota tuanya di sepanjang Batang Arau. Kejayaan masa lalu itu masih terlihat pada puluhan gedung tua sisa zaman Kolonial Belanda yang berjejer di pinggir sungai.
Sepanjang abad ke-19 Padang sudah menjadi kota terbesar di luar Pulau Jawa. Saat itu Padang tumbuh menjadi kota dagang, sekaligus kota ‘markas' militer Pemerintahan Hindia Belanda untuk penaklukan dan mempertahanan daerah-daerah di Pulau Sumatera.
Sebagai kota metropolitan masa itu, Padang tak hanya dibangun oleh Pemerintahan Hindia Belanda, tetapi juga tumbuh dengan partisipasi pihak swasta dan percampuran berbagai bangsa. Bangsa Belanda, Indo (orang-orang Eropa lainnya), Cina, Arab, India, dan Minangkabau ikut membangun dan mewarnai arsitektur kota.
Menikmati sisa-sisa kejayaan kolonial di sore hari ini terasa menyenangkan. Lanskap kota terlihat sangat indah.
Gunung Padang memang tempat yang menarik dikunjungi. Kawasan ini juga sedang diusulkan menjadi bagian dari geopark Ranah Minang.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia wilayah Sumatra Barat Ade Edward mengatakan secara geologi Gunung Padang sangat menarik.
Menurutnya Gunung Padang pada masa zaman trias, masa musnahnya dinousaurus adalah bagian dari gunung api purba. Hanya pusat gunung purbanya tidak diketahui. Itu bisa dilihat dari batuan yang ada di Gunung Padang yang terdiri dari batuan vulkano dan andesit yang merupakan produk gunung api purba.
“Kawasan Gunung Padang memiliki keunggulan aspek ‘culture heriatage’, ada legenda Siti Nurbaya dan Malin Kundang, ada Kota Tua dan pelabuhan dengan pemukiman nelayan yang berada dalam satu kawasan,” kata Ade.
Di barat laut terlihat Pulau Pisang dan di seberangnya ada pantai Air Manis yang terkenal dengan legenda Malin Kundang. Memang satu kesatuan kawasan wisata yang menarik.
Kami turun dari Gunung Padang dan melanjutkan perjalanan ke Pantai Air Manis di bawah sana. Teman saya ingin melihat batu Malin Kundang, si Malin yang dikutuk jadi batu karena durhaka kepada ibunya adalah cerita legenda yang lekat di setiap kepala anak Indonesia di masa kami kecil dulu. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)