Oleh: I Wayan Karta
MATA mereka mendelik. Tangan-tangan mereka berseberangan. Jari-jemari melebar dan kaki bersilang. Melihat keduanya, serasa mereka sedang marah. Itulah latihan Tari Rangda yang diajarkan I Komang Suryawan kepada muridnya Agus.
I Komang Suryawan dengan ciri khas rambut panjang sehari-hari mengajarkan latihan tari bali di Umah Melajah Taksu Tridatu. Lelaki 27 tahun yang akrab dipanggil Bli Komang ini menjadi salah satu pendiri Yayasan Taksu Tridatu di Pulau Nusa Penida.
Dengan badan lumayan kurus, ia memperhatikan salah seorang peserta yang sedang latihan menari.
“Ndang... nding... ndong... ndeng... ndang... ndong... ndeng….” terdengar ia menyuarakan gamelan mulut.
Perhatiannya pada Agus sangat fokus. Tangan-tangan Agus dikeparkan, langkah kakinya diatur sehingga seirama dengan gamelan mulutnya.
“Langkah kakinya berayun... mata fokus ke depan... sambil mendelik... ingat tangan tetap digetarkan…” katanya sambil menuntun Agus.
“Habis kita malpal, apalagi Bli Komang?” tanya Agus.
Bli Komang menjelaskan kembali tahapan menarikan Tari Rangda. Selain menjelaskan tahapan, ia juga menjelaskan pemaknaan setiap gerakan.
Di sela-sela latihan, saya mencoba mendekati dan bertanya kepada Bli Komang.
“Bli Komang, latihan menari Rangda membutuhkan emosi penjiwaan yang lumayan, ya?” tanyaku.
“Ya... emosi penjiwaan yang keras, karena dengan penjiwaan ini topeng rangda yang ditarikan akan lebih metaksu,” katanya.
Tari Rangda merupakan tari ciri khas Bali yang biasanya identik dengan adanya barong. Tari ini memang memiliki karakter yang keras dan topengnya tampak menyeramkan.
Tarian ini biasanya dipentaskan saat pertunjukkan calonarang. Topeng dengan taring yang panjang, lidah yang menjulur, dan mata yang membelalak membuat takut bagi yang melihatnya.
Ditambah asesoris pakaian yang berwarna hitam, putih, dan merah, serta sarung kuku pada tangan penari, memberikan kesan yang menakutkan.
Namun, tarian ini tetap diajarkan untuk menjaga warisan leluhur yang pernah ada. Kebetulan di Umah Melajah ada topeng rangda yang digunakan untuk belajar oleh anak-anak. Salah satunya Agus yang tekun mempelajari topeng rangda.
“Saya mempelajari tarian ini karena saya senang, ada unsur mistis yang saya lihat di tari ini, saya senang diajarkan Bli Komang dengan sabar,” kata Agus.
Tarian Rangda memang berhubungan dengan suasana mistis. Seperti adanya calonarang yang biasanya ada kerauhan atau kerasukan.
“Saat saya belajar Tari Rangda sama Bli Komang, saya merasakan biasa saja, tetapi setelah memakai topeng rangda, ada sesuatu yang berbeda yang dirasakan,” ujar Agus.
Belajar Tari Rangda di Umah Melajah merupakan salah satu kegiatan pelestarian seni dan budaya. Tari Gandrung, Tari Rejang, dan tari pertunjukkan lainnya juga diajarkan. Anak-anak bergabung di Umah Melajah untuk belajar banyak hal, tidak hanya belajar menari.
Umah Melajah dibangun di kawasan Bukit Keker, Desa Ped, Nusa Penida. Tempat ini sebagai etalase tentang pelestarian seni dan budaya, serta pengelolaan lingkungan utamanya tentang masalah sampah.
“Dibilang sebagai etalase, karena di sini terdapat berbagai kegiatan tentang pelestarian seni dan budaya, pertanian dan peternakan, energi terbarukan dan juga pengelolaan sampah,” kata Bli Komang.
Memang saat memasuki Umah Melajah di bagian depannya terdapat perkebunan yang didesain seperti farmakultur. Ada tiang-tiang yang atapnya dari bambu. Masing-masing tiang dililitkan tanaman markisa. Naiknya lilitan tanaman markisa ke atap bambu memberikan kesan hijau.
Tanaman markisa ditanam berderet. Tiap tanaman memiliki waktu tanam yang berbeda. Tujuannya agar jika ada satu tanaman yang sudah tua dan mati, maka akan tergantikan oleh tanaman markisa yang baru. Setiap pagi dan sore seorang pengurus kebun menyiram tanaman.
Di sini juga dapat dilihat sistem penyimpanan air pada tanaman buah yang baru ditanam. Caranya dengan menggunakan botol plastik bekas sebagai penampung air.
“Memang di Nusa Penida jika bertani kendalanya adalah air saat kemarau, jadi memang harus hemat air,” kata I Wayan Belun.
Di Umah Melajah ia sering dipanggil Iwak De. Ia keseharian mengurus tanaman dan juga memanfaatkan hasil tanam tersebut. Setiap tiga hari Iwak De memupuk dengan pupuk cair dari biogas ternaknya.
Meski sudah berumur 60 tahun ia tetap bersemangat berkebun. Semburan air dari selangnya membuat tanaman lebih segar. Iwak De merasa senang jika hasil kebunnya tumbuh subur.
“Saya akan tambah senang jika ada anak-anak ikut membantu menyiram, memupuk, dan menaman bibit tanaman. Dan tambah senang saat hasil panen bisa berbagi dengan mereka,” kata Iwak De.
Rambutnya yang sudah beruban juga sebagai identitas pengalamannya dalam berkebun.
Iwak De mengatakan, Ia harus mengatur waktu agar pekerjaannya sebagai porter tetap dilakukan. Buruh porter, beternak, dan bertani adalah aktivitas sehari-harinya. Walaupun tua ia tetap semangat bekerja. Apalagi saat berkebun ditemani anak-anak.
Anak-anak yang tergabung dalam Umah Melajah diajarkan cara berkebun. Selain belajar seni budaya, mereka juga belajar cara merawat tanaman. Ada sayuran, buah-buahan, tanaman obat, dan tanaman upakara yang dirawat bersama anak-anak. Paling tidak setiap Sabtu dan Minggu mereka bisa meringankan pekerjaan Iwak De.
TEMPAT MENGELOLAAN SAMPAH
Dua puluh meter dari pintu masuk Umah Melajah, ke arah selatan, terdapat TPST (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) Nyuh Kedas. Mungkin saat mendengar pengelolaan sampah dalam pikiran kita tentu terbesit bayangan tempat yang kotor, kumuh, banyak lalat, dan berbau. Uniknya TPST ini tidak seperti itu.
Di bawah binaan PPLH Bali, TPST ini tampak lain dari yang lain. Saat kita masuk, di samping kiri dan kanan sudah ada kebun-kebun berundak. Berundak sesuai dengan tipe lahan yang ada. Kita bisa melihat tanaman kangkung, cabe, mentimun, terong, kacang, dan sawi tumbuh subur. Hijaunya membuat kita malah betah ada di TPST.
Tidak ada sampah berserakan di TPST ini. Bau tak sedap? Juga tidak ada. Kita bisa melihat tumpukan plastik dalam karung yang tersusun rapi. Sampah organik terfermentasi dalam wadahnya.
“Kita memang mau membuat kesan TPST ini berbeda, tempat pengelolaan sampah yang hijau, tak berbau dan bersih, orang akan nyaman datang ke sini,” kata Catur Yudha Hariani, perempuan aktivis lingkungan yang juga Direktur PPLH Bali.
Ia mengatakan bahwa sampah menjadi perhatian bersama. Kerja sama antara masyarakat, Desa Dinas, Desa Adat, dan pemuda sangat dibutuhkan untuk mewujudkan “zero waste”.
TPST Nyuh Kedas yang ada di areal Umah Melajah ini juga diharapkan bisa menjadi percontohan dan tempat belajar untuk pengelolaan sampah.
Di dinding-dinding bangunan TPST terlihat poster-poster edukasi. Yang paling menarik adalah moto yang tertulis di papan poster: “Nyuh Kukuh Go Zero Waste, Sing Ada Luu, Bek Tamu Bek Pis”.
“Sing Ada Luu” artinya tidak ada sampah. “Bek Tamu Bek Pis” artinya banyak wisatawan, banyak uang. Moto tersebut memberikan makna yang mendalam tentang sampah, pariwisata, dan ekonomi.
TPST Nyuh Kedas baru mendapatkan pelanggan 70 keluarga. Dari segi jumlah memang belum banyak. Namun, sistem yang diterapkan sebagai pelanggan TPST agak berbeda.
“Yang bisa menjadi pelanggan jika mereka mau melakukan pemilahan di rumah tangga. Memilah dari sampah organik, anorganik, dan residu. Selain warga, pelanggan kami juga ada villa, warung, homestay, dan sekolah,” kata I Nyoman Moda.
I Nyoman Moda, dikenal sebagai Pak Anok, bertugas mengangkut sampah-sampah yang telah dipilah dari pelanggan. Setiap tempat pelanggan telah ditempelkan tempat pemilahan sampah. Kayu dicat putih yang berisi tulisan sampah organik, anorganik, dan residu.
Setiap bagian pemilahan disediakan karung. Ini memudahkan pelanggan memasukkan sampahnya. Sampah diambil setiap pagi dan sore. Sampah yang terpilah dalam karung di setiap pelanggan dimasukkan ke dalam kendaaran moci.
Sesampai di TPST, Pak Anok langsung menempatkan pilahan sampah sesuai tempat yang disediakan. Sampah organik dicincang dan difermentasikan. Botol-botol plastik yang terisi air dibuang airnya. Sampah residu dibawa ke TPA.
Pengelolaan yang langsung inilah yang menjadi alasan TPST tidak menjadi berbau. “Pemilahan sampah memang menjadi kendala utama, saya terus mengingatkan pelanggan untuk selalu melakukan pemilahan,” kata Pak Anok.
Di dalam Umah Melajah terdapat panggung, rumah bundar, dan rumah outlet. Panggung pementasan dengan latar Siwa Nata Raja sebagai simbol kesenian memberikan kesan yang indah dan ber-”taksu”. Gerakan-gerakan penari cilik di panggung ditemani pembina tari, membuat suasana yang menyejukkan.
Di samping kiri dan kanan panggung tampak anak-anak sedang belajar gamelan. Walaupun dengan perlengkapan gamelan seadanya, suara-suara gamelan itu memberikan hiburan. Tampak juga anak-anak belajar tupakara seperti pembuatan sampian penjor di rumah bundar. Di sisi utara terdapat rumah outlet tempat display produk-produk khas Nusa Penida. Di dalamnya terlihat kain-kain unik dan khas Kain Cepuk dipajang di dinding. Ada juga produk VCO hasil karya kelompok wanita tani Taksu Tridatu.
Di selatan panggung ada kandang sapi. Kandang memang terlihat biasa, namun ada biogas. Sistem biogas terhubung dengan kandang ternak sapi. Kotoran-kotoran sapi dialirkan ke bak penampung. Alhasil dapur di Umah Melajah menggunakan biogas sebagai bahan bakar. Biogas ini juga digunakan sebagai bahan bakar lampu petromax, saat lampu panel surya kekurangan dayanya.
Penerangan di Umah Melajah sepenuhnya memanfaatkan panel surya. Panel-panel ini terus memberikan penerangan, sehingga menjadi bentuk percontohan energi terbarukan.
Keramaian di Umah Melajah terlihat setiap Sabtu dan Minggu. Tempat ini menyajikan bagaimana suatu bentuk pelestarian seni dan budaya serta ekologis Nusa Penida. Seni, sosial budaya, pertanian, peternakan, energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan atraksi wisata menjadi bersatu padu di satu tempat. Anak-anak pun akan sangat menyenangi banyak pilihan dalam suatu kegiatan.
Kita berharap Umah Melajah terus berkembang, bisa menjadi percontohan umah-umah melajah di setiap kepulauan. Ya, Umah Melajah atau rumah belajar bagi generasi penerus dan tetua dalam kegiatan pewarisan seni budaya dan kearifan lokal pengelolaan lingkungan. (I Wayan Karta)
(Tulisan feature ini hasil Pelatihan Jurnalisme Warga yang diadakan The Samdhana Institute dengan peserta pemuda komunitas adat se-Indonesia dengan trainer Syofiardi Bachyul Jb secara online pada 31 Agustus -21 September 2020. I Wayan Karta adalah aktivis di Yayasan Taksu Tridatu di Pulau Nusa Penida, Bali dan juga seorang dosen).