Oleh: Daud Sababalat & Zulfa
“KAP SIKEBBUKAT, ita sipumone kainek, anek kakap saile mui sakit simagre mai sateteu nu si pu lia, anai kuna’nak, kona kona guru’guruk.”
“Wahai para nenek moyang kami, inilah sesajian untuk bayar roh kami para cucu-mu yang melaksanakan lia, datanglah, datanglah.”
Itulah kalimat yang dirapalkan para Sikerei ketika menjalankan ritual pasibelek. Mantra itu untuk melepaskan aura negatif yang akan menyelimuti perayaan pesta besar desa. Pesta besar tersebut digelar pada perayaan hari ulang tahun ke-40 Desa Matotonan awal Agustus 2020.
Liat pulaggajat merupakan pesta besar desa yang memiliki prosesi ritual yang sangat panjang selama tiga hari tiga malam. Ritual tersebut terdiri dari serangkaian acara yang dimulai dengan ritual Lia Siboitok.
Lia Siboitok adalah pesta kecil untuk permulaan pesta, ditandai dengan pemukulan tuddukat, gong, dan gajeumak. Ritual dilakukan dini hari sekitar pukul 04.00 WIB.
Sikebbukat atau pemimpin uma membuat irig atau atap uma dari daun sagi dengan membaca ritual pada seekor ayam dan daun enau. Mereka meyakini melalui daun anau terbebas dari segala marabahaya dan bala ketika melaksanakan pekerjaan.
Ayam yang dikorbankan dibedah lalu mereka melihat empedunya apakah salou pertanda baik atau buruk. Lalu daun enau tersebut dibagikan kepada seluruh tamu undangan dan masyarakat yang hadir. Pembantu Sikebukat membuat minyak untuk dioleskan kepada pengikut pesta.
Kemudian mereka memotong babi dan ayam. Setelah makan siang sebagian dari mereka bersiap-siap pergi ke hutan untuk mengumpulkan daun-daunan yang akan digunakan untuk ritual berikutnya, Pasibitbit Sipitto’ pada malam harinya.
Ritual Pasibitbit (Sipitto’) adalah ritual mengusir roh jahat dengan mengambil dedaunan di hutan. Malamnya memanggil roh-roh sebagai kepercayaan Sikerei. Sipitto’ yang dimaknai roh jahat diusir pada malam hari agar tidak mengganggu kegiatan dan desa mereka. Setelah itu dari hasil buruan Sikerei dikumpulkan dan dibacakan mantra dan penutupnya diusir Sikerei sambil memegang daun-daun berjalan arah ke teras rumah.
Saya beruntung bisa menyaksikannya dan ikut menjadi bagian dalam pesta adat di Matotonan. Pada awal tahun lalu saya diajak Kepala desa Matotonan Ali Umran Sarubei untuk mengajar musik pada pemuda di desa itu. Ternyata bulan Agustus itu ada acara pesta ulang tahun Matotonan yang dirayakan besar-besaran dengan menggelar ritual-ritual adat. Saya ikut bermain musik dalam pagelaran pesta adat itu.
Di Matotonan saya bertemu dengan Zulfa, dosen di STKIP Padang, peneliti budaya yang menulis buku tentang Matotonan.
PESTA ADAT HARI KEDUA
Acara hari kedua dilanjutkan dengan ritual Lia Sikarua yang dimulai dini hari dengan tanda pemukulan tuddukat, gajeuma’, dan gong seperti halnya lia pertama.
Acara dilanjutkan dengan pawai. Seluruh peserta bersiap-siap memakai atribut, baik Sikerei Sinanalep (perempuan) maupun Simatteu (laki-laki). Begitu juga simatak (ukan Sikerei) dan keluarga lainnya. Pagi hari pemimpin pesta Liat Pulaggajat memberi tanda dengan membunyikan gong.
Kemudian dilanjutkan dengan Paeruk Sainak, yaitu kegiatan sebelum pemotongan babi. Sikerei bersama membaca mantra di depan babi dengan memegang daun bobblo dan sebuah kelapa muda. Maknanya bahwa babi yang akan dipotong adalah binatang yang bernyawa ciptaan Ulau Manua sehingga mereka percaya harus meminta izin Tuhan dan roh sebelum penyembelihan dilakukan. Tujuannya agar nanti berkah kepada yang memakan dan berkah kepada pemilik babi.
Acara dilanjutkan dengan prosesi Pasibelek dan Pasialak simagre. Ini kegiatan sore hari dengan Sikerei pergi ke kuburan memanggil roh atau jiwa keluarga yang masih hidup atau Simagre (roh orang hidup). Dikhawatirkan simagre tersebut minder atau mengikuti keluarga yang meninggal sehingga mereka percaya hal tersebut bisa dijemput kembali dan dibujuk agar kembali ke rumahnya.
Yang ditinggal beberapa daun-daun ditambah gojo yang diberi kunyit dan ditanam di tanah. Di sana juga mematikan seekor ayam dan untuk dibawa pulang sebagai alat istilah simagre.
Prosesi tersebut hanya bisa dilakukan Sikerei karena mereka pada saat dinobatkan dibuka mata batinnya untuk melihat hal yang gaib, seperti Simagre.
Setelah kembali, Sikerei memantrai ayam tersebut, lalu dan dimakan dengan bacaan “Doroikap Simagretta”. Kemudian Sikerei pergi ke sungai dekat kuburan.
Ritual berikutnya adalah Lajot Simagre yang dilakukan malam harinya setelah Simagre dijemput ke kuburan.
Lajot diawali dengan nyanyian yang lembut dengan memasang kain-kain di teras rumah dan daun-daun di ujung bambu. Dengan cara itu diyakini Simagre tidak akan minggat dari uma, mirip dengan orang tua membujuk anaknya yang barusan lari dari rumah.
Malam itu Sikerei melakukan tarian dengan putaran kencang dan sambil memegang piring kecil dan Jejeneng dengan mantra hingga selesai. Ritual ditutup dengan semua Sikerei berkeliling memegang bambu yang di ujungnya diisi daun dengan mantra. Dianggap Simagre sudah berkumpul sampai Sikerei itu kesurupan.
Kemudian nyanyian bersama, lalu ditaruh piring kecil di kepala peserta lia sambil sikerei membaca mantra. Hati ayam yang dibedah saat di kuburan yang kemudian diletakkan di piring itu diserahkan dan dimakan peserta lia dengan anggapan itulah Simagre.
PESTA ADAT HARI KETIGA
Pada hari ketiga, Senin 10 Agustus 2020 dilanjutkan dengan Lia Sikatelu yang dimulai dini hari dengan pukulan gong dan gajeuma’. Paginya dimulai dengan sidang istimewa BPD (Badan Permusyawaran Desa) terkait pengesahan Liat Pulaggajat yang diiringi potong kue ulang tahun desa dan peluncuran buku sejarah yang ditulis Jon Efendi Sabulat, ketua BPD periode 2013-2018 yang kini menjabat sekretaris BPD Desa Matotonan.
Dimulai dari sikebbukat uma, kemudian sibakkat katcaila, sirimuri, dan seorang Sikerei, mereka membacakan mantra kepada daun anau dengan harapan dibebaskan dari kejahatan dan diberi keselamatan untuk berusaha dan bekerja sebelum memberikannya kepada peserta pesta.
Dilanjutkan pada iriq, merupakan rangkaian acara pesta adat tersebut di mana menghitung seluruh anggota keluarga yang menjadi peserta pesta adat sehingga seluruhnya mendapatkan bagian.
Setelah acara peresmian dilanjutkan dengan Uraji Sainak. Ini acara pembacaan mantra terhadap daging babi yang telah disembelih di mana roh nenek moyang dipanggil di uma untuk mendapatkan bagian dari daging tersebut.
Harapannya agar daging yang dimakan diberi keberkahan dan bernilai sosial sehingga para tetua ikut merasakan arwahnya secara batin. Hanya Sikerei yang merasakan kedatangan mereka. Selain Sikerei sebagian anak keturunan mereka juga ada yang merasakan.
Pembagian daging harus merata dan tidak boleh ada sedikit pun yang dihilangkan haknya. Sebab mereka yakin apabila itu terjadi akan ada penyakit kepada mereka yang disebut Sikaoinan. Ini kepercayaan turun-temurun.
Kemudian Pukalaibok merupakan rangkaian acara di mana Sikerei makan bersama istrinya dengan berhadapan. Ketika senja seluruh undangan bubar dan tengah malam sikebbukat uma makan katengan uma untuk persiapan berburu.
Usai upacara Senin malam maka berakhirlah prosesi pesta adat desa. Selasa pagi acara ditutup dengan berburu babi bersama-sama Sikerei yang mengikuti prosesi pesta adat desa.
Matotonan terletak di Kecamatan Siberut Selatan, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Desa Matotonan sangat kaya akan budaya lokal. Budaya lokal yang sangat menonjol adalah tradisi lisan dari para sikerei yang menjadi menjaga budaya tradisi lisan.
Sikerei memiliki tradisi lisan yang sangat kaya dan kekayaan tradisi lisan di Matotonan tersebut masih banyak yang belum diungkap di sini.
Sayangnya jumlah Sikerei semakin berkurang. Di Matotonan saat ini ada 47 sikerei yang rata-rata berumur 60-75 tahun. Pewarisan sikerei tidak ada. Generasi muda tidak ada yang ingin menjadi sikerei.
Saat ini generasi muda di Desa Matotonan tak ada lagi yang mau menjadi sikerei. Alasannya karena terlalu banyak pantangan sebelum ritual dilaksanakan seorang sikerei. Selain itu seseorang akan diangkat menjadi sikerei harus memiliki 10-15 babi untuk penobatan dalam prosesi pengangkatan sikerei. Hal inilah yang membuat keturunan sikerei tidak mau lagi menjadi sikerei. Kondisi seperti inilah yang mengkhawatirkan punahnya tradisi lisan tersebut.
Upaya pelestarian harus segera dilakukan, karena jika tidak 5-10 tahun lagi setelah generasi sikerei terakhir meninggal dunia maka kehancuran budaya lokal di Matotonan.
Jadi pelestarian adalah harga mati yang harus segera dilaksanakan. (Daud Sababalat dan Zulfa)