Peninggalan Era Kolonial di Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat

Peninggalan Era Kolonial di Pulau-Pulau Kecil Sumatera Barat

Sisa dermaga Pulau Cingkuak di Painan, Pesisir Selatan yang dibuat VOC pertengahan abad ke-17 sebelum menguasai Padang. (Foto: JP/Syofiardi Bachyul Jb)

Lampiran Gambar

Bekas genteng zaman Kolonial Belanda yang berserakan di Pulau Pisang Gadang. Diduga bekas gedung-gedung yang kini tak berbekas lagi. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

PULAU itu kecil kelilingnya hanya 2 km, tapi sangat penting di era Kolonial Belanda. Itulah Pulau Pisang Gadang yang terletak 1,7 km dari Pantai Air Manis, lokasi yang terkenal dengan objek wisata “Batu Malin Kundang”, si anak durhaka di Kota Padang, Sumatera Barat.

Pulau Pisang Gadang sangat penting karena dijadikan pelabuhan tak lama setelah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie in Dutch) menguasai Kota Padang pada abad ke-17.

Lampiran Gambar

Pulau Pisang Gadang di balik Pulau Pisang Ketek dipotret dari pantai Air Manis, Padang. (Foto: Courtesy BPCB Batusangkar)

VOC memulai pertahanan maritim di pantai Barat pulau Sumatera dengan membuat benteng yang sekaligus kantor dagang di Pulau Cingkuak, Kabupaten Pesisir Selatan pada 1663. Benteng ini dibuat untuk menghadapi dan mengusir orang-orang Aceh yang sedang berkuasa di pantai barat dan ancaman Inggris dari Bengkulu.

Dari Pulau Cingkuak, VOC merebut Padang tiga tahun kemudian. Setelah memastikan kedudukannya kuat, VOC membangun benteng dan kamar dagang di Muaro Padang, kemudian pelabuhan untuk monopoli perdagangan rempah.

Lampiran Gambar

Peta Pulau Pisang dengan Pelabuhan (Reede) era Kolonial Belanda. (Sumber: Gusti Asnan)

Tapi Muara Padang tidak representatif untuk pelabuhan. Muara sungai Batang Arau di samping Gunung Padang itu, berbahaya dilewati kapal besar karena terlalu dangkal, bermulut sempit, dan berombak besar. Akhirnya VOC membangun pelabuhan perantara yang disebut Reede di Pulau Pisang Gadang yang berjarak 3,2 km dari Muara Padang.

Kapal-kapal besar berlabuh di timur pulau ini dan muatannya diangkut dengan kapal kecil ke Muara Padang. Sebaliknya, muatan dari Padang akan diangkut ke pulau ini terlebih dulu untuk dimuat ke kapal besar.

Lampiran Gambar

Bekas dermaga perantara di Pulau Pisang Gadang, Padang. (Foto: Dok. BPCB Batusangkar)

Peta era Kolonial Belanda menggambarkan di pulau ini pernah berdiri tiga dermaga kecil di sisi timur pulau. Jika dari arah Padang, di belakang dermaga sebelah kanan terdapat gudang batubara untuk bahan bakar kapal uap. Di belakang dermaga tengah dan dermaga kiri terdapat markas militer.

Sedangkan di kirinya terdapat rumah petugas pelabuhan dan di selatan pulau terdapat kompleks makam dan tiang bendera yang juga digunakan untuk memberi sinyal kepada kapal.

Lampiran Gambar

Kawasan kuburan Belanda di Pulau Pisang Gadang yang kurang terawat dan belum ditetapkan sebagai benda cagar budaya. (Foto: Courtesy BPCB Batusangkar)

Kini yang tersisa di pulau itu hanya satu dermaga yang di tengah sepanjang 30 meter dan kompleks makam. Dermaga yang tersisa itupun hanya tinggal bagian ujung dan pangkal, sedangkan bagian tengahnya sudah hancur kira-kira 13 meter.

MAKAM BELANDA YANG TERLANTAR

Kompleks makam pun tidak terawat dan tidak jelas berapa jumlahnya, mungkin lebih dari tiga. Selain itu juga ada tiga sumur dan sebuah bak penampungan air.

Lampiran Gambar

Prasasti kuburan seorang prajurit Belanda yang tewas di Pulau Sipora, Mentawai pada 1859 di Pulau Pisang Gadang, Padang. Kiri Harfiandri Damanhuri.  (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Sebuah prasasti makam setinggi 2 meter terlihat megah dan menarik untuk ukuran pulau yang penuh kelapa dan pisang itu. Prasasti ini menyebutkan dimakamkan Letnan Dua Angkatan Laut Belanda, J.P. Uyttenhooven yang tewas oleh penduduk di Kampung Saribanoa, Pulau Sipora (mungkin maksudnya Siberimanua, Desa Tuapejat, Pulau Sipora sekarang) pada 13 April 1859 dalam usia 24 tahun. Kematiannya disebut sudah terbalaskan dan prasasti dibuat oleh kawan-kawannya di Padang.

Uijttenhooven adalah satu dari tiga korban tewas, dua lainnya prajurit penduduk asli yang mungkin berasal dari Jawa, dalam ekspedisi Belanda dengan kapal uap (screw steamship) “Montrado” untuk menguasai Mentawai.

Lampiran Gambar

Prasasti kuburan seorang prajurit Belanda yang sebelumnya terluka di Pulau Weh, Aceh pada 1889 di Pulau Pisang Gadang. Prasasti rebah akibat penggalian kuburan oleh orang tak bertangung jawab. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Prasasti lain berdiri lebih rendah dengan tulisan dua baris “Zune Vele Vrienden En Kameraden”, artinya kira-kira “Di sini teman yang dibaringkan dengan damai”. Prasasti lain tergeletak di tanah menginformasikan kuburan  Letnan W.E. Van Spencler yang lahir 3 November 1862 dan meninggal 4 April 1890 karena luka yang dideritanya di Pulau Weh, Aceh tiga setengah bulan sebelumnya.

Berjarak 19 km dari Pulau Pisang Gadang ke arah Samudera Hindia terdapat sebuah pulau lebih kecil hanya 16,6 hektare bernama Pulau Pandan. Di pulau yang terletak 22,5 km dari Muara Padang ini juga terdapat peninggalan Kolonial Belanda.

Lampiran Gambar

Bekas bangunan Belanda di Pulau Pandan. Ada yang menyebut bekas gudang pelabuhan, ada juga yang menyebut dulu berfungsi sebagai penjara. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Informasi tentang pulau ini agak minim. Mungkin fungsi  pulau ini juga pelabuhan perantara, karena seperti Pulau Pisang Gadang, juga disebut “Reede van Padang”. Tapi sebuah peta lama menggambarkan sebuah bangunan cukup besar yang dilengkapi sebuah dermaga. Salah satu ruang kecil di sisi bangunan diterangkan sebagai gudang kapur dan di jalan menuju dermaga sebagai tempat pembakaran kapur.

Saat ini sisa bangunan berupa dinding-dinding yang cukup tinggi. Namun dermaga dan jalan menuju ke sana tidak ada lagi. Belum diketahui apa fungsi bangunan ini. Ada yang menyebut gudang bongkar-muat barang dari kapal yang sandar, karena di Pulau Pisang sedang penuh. Ada juga yang menyebut bangunan ini juga pernah berfungsi sebagai penjara. Penduduk menginformasikan di pulau ini juga pernah ada kuburan-kuburan Belanda.

Lampiran Gambar

Sumur fasilitas pendukung bekas bangunan Belanda di Pulau Pandan. Ada yang menyebut bekas gudang pelabuhan, ada juga yang menyebut dulu berfungsi sebagai penjara. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Harfiandri Damanhuri, peneliti pulau-pulau kecil Sumatera Barat dari Fakultas Perikanan, Universitas Bung Hatta, Padang mengaku prihatin dengan kondisi bangunan-bangunan peninggalan era Kolonial Belanda yang terabaikan di kedua pulau ini.

“Saya beberapa kali mengunjungi pulau ini, saya mendengar banyak cerita dari penghuni pulau atau nelayan yang nongkrong di sana, ada banyak tinggalan yang dirusak, dicuri, atau dirubuhkan, dan sayangnya hingga sekarang tak ada upaya proteksi dari pemerintah,” katanya.

Lampiran Gambar

Bekas telapak menara suar yang dibongkar di Pulau Pisang Gadang.(Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Ia menyebutkan, prasasti kuburan di Pulau Pisang yang rubuh adalah akibat tangan jahil yang menggali kuburan untuk mencari emas milik orang yang dikuburkan. Bahkan ada orang yang melarikan prasasti marmer putih. Ia juga mendengar cerita dulu ada rel dan gerbong kereta untuk mengangkut batubara dari gudang ke dermaga yang dilarikan orang pada 1980-an.

DELAPAN PULAU KECIL LAIN

“Juga ada delapan pulau kecil lainnya di perairan Sumatra Barat yang memiliki menara suar dari besi yang dibangun era Kolonial, tapi kemudian beberapa tahun lalu diganti dengan yang baru tanpa meninggalkan jejak bangunan lama,” kata Harfiandri.

Lampiran Gambar

Bekas tapak menara suar era Kolonial Belanda di Pulau Kasiak Pariaman. Hilang sudah karena dianggap tak berharga. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Kedelapan pulau itu adalah Pulau Katang-Katang dan Pulau Karabak Ketek (Pesisir Selatan), Pulau Kasiak (Kota Pariaman), Pulau Pidago (Pasaman Barat), Pulau Simonga, Sibaru-baru, dan Tanjung Sigep (Kepulauan Mentawai) dan Pulau Bojo (masuk wilayah Nias). Rata-rata bangunan setinggi 20 meter ini didirikan akhir 1800-an hingga awal 1900-an.

Tim pendata peninggalan maritim Sumatera Barat dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Sumatra Barat, Riau, dan Kepulauan Riau, Yusfa Hendra Bahar mengakui belum mendata seluruh peninggalan kolonial di pulau-pulau kecil ini.

Lampiran Gambar

Sisa dermaga Pulau Cingkuak di Painan, Pesisir Selatan yang dibuat VOC pertengahan abad ke-17 sebelum menguasai Padang. (Foto: JP/Syofiardi Bachyul Jb)

“Yang ditetapkan sebagai cagar budaya adalah dermaga dan Benteng Pulau Cingkuak, sedangkan yang lain kami baru mendata peninggalan di Pulau Pisang Gadang, di Pulau Pandan belum,” katanya.

Menurutnya, bekas dermaga dan prasasti kuburan di Pulau Pisang Gadang bisa dijadikan benda cagar budaya. Namun pihaknya belum mengajukan usulan kepada Pemerintah Kota Padang sebagai pihak yang berwenang menetapkan.

Lampiran Gambar

Zune Vele Vrienden en Kameraden. Prasasti di kuburan prajurit Belanda di Pulau Pisang Gadang. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Sejarawan dari Universitas Andalas, Profesor Gusti Asnan mengatakan, peninggalan fasilitas transportasi laut era Kolonial Belanda di pantai barat Sumatra Barat dipastikan banyak berubah, bahkan ada yang hilang. Itu karena sejak zaman Jepang, kemudian setelah Indonesia merdeka mulai tak diacuhkan.

“BPCB harus melengkapi bahan-bahan tentang itu semua, bangunan-bangunan pelabuhan dan menara suar bagaimana bentuknya, fungsinya, kapan dibangun, siapa arsiteknya, di arsip-arsip nasional benda-benda cagar budaya maritime seperti itu tentu ada, informasi tentang itu harus diperkaya,” kata ahli maritim pantai barat Sumatera itu.

Lampiran Gambar

Bekas bangunan Belanda di Pulau Pandan. Ada yang menyebut bekas gudang pelabuhan, ada juga yang menyebut dulu berfungsi sebagai penjara. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

Gusti menduga, Reede Pulau Pisang Gadang sudah difungsikan sejak akhir 1600-an.  Pembangunan fasilitas sangat lengkap kemungkinan dibuat ketika terjadi puncak pendaratan kapal pada 1850 hingga 1860-an.

GARA-GARA KOPI

Saat itu komoditas kopi lagi booming, sedangkan Padang menjadi titik konsentrasi penjualan di Sumatra Westkust yang wilayahnya dari Singkel, Barus, Sibolga, Natal hingga Indrapura (perbatasan Bengkulu).

Kondisi ini membuahkan prestasi, Pelabuhan Muara Padang (dengan reede-nya) akhirnya naik kelas dengan ditetapkan sebagai Pelabuhan Kelas A, setara dengan Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

Lampiran Gambar

Salah satu sumur era Kolonial Belanda yang masih dipakai di Pulau Pisang Gadang. (Foto: Courtesy Sea Turtle Information of Indonesia/Setia)

“Waktu itu banyak kapal besar antre dari berbagai negara, saya rasa untuk menampung limpahan kapal-kapal ini dibangun reede tambahan di Pulau Pandan,” katanya.

Sedangkan beberapa menara suar sudah dibangun awal abad ke-18. Ini dibuktikan dengan laporan tertulis awak kapal pada 1730 yang menyebutkan di Air Bangis (Pasaman), Indrapura, dan Padang mereka terbantu dengan adanya menara suar ketika berlayar malam hari.

“Namun data bentuk menara suar itu, apakah dari kayu atau besi tidak ada,” kata Gusti.

Lampiran Gambar

Contoh menara suar di Pulau Katang-Katang, Kabupaten Pesisir Selatan yang sudah hilang. Ini menara suar yang dibangun 1903 dan diganti dengan yang baru beberapa tahun lalu. (Foto: Courtesy Dok. Sea Turtle Information of Indonesia/ Setia)

Pelabuhan Muara Padang dengan pelabuhan pembantu di Pulau Pisang Gadang dan Pulau Pandan dilupakan, sejak pelabuhan secara resmi dipindahkan ke Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) pada 1892.

Waktu itu Emmahaven terlihat gagah karena pelabuhan terbesar di Asia Tenggara. Rel kereta api pun sudah selesai menghubungi kota-kota penting di Sumatera Barat, terutama menuju pusat batubara di Ombilin, Sawahlunto.

Namun kebesaran Teluk Bayur pun meredup sejak Belanda angkat kaki dari Indonesia. Peninggalan zaman keemasan maritimnya di pulau-pulau kecil terabaikan. Sedangkan menara-menara suar masih dilanjutkan untuk memandu kapal-kapal yang lewat. Tapi fungsinya hanya sebagai alat. Faktor historisnya tak pernah diperhatikan dan hilang begitu saja. (Syofiardi Bachyul Jb/JurnalisTravel.com)

 

Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)

Dapatkan update terkini Jurnalistravel.com melalui Google News.

Baca Juga

Bekas Kerajaan Dharmasraya dan Kisah Dua Arca Bhairawa
Bekas Kerajaan Dharmasraya dan Kisah Dua Arca Bhairawa
Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak
Melompat ke Masa Lalu di Pulau Cingkuak
Seperti Apa Rumah Kelahiran Tan Malaka?
Seperti Apa Rumah Kelahiran Tan Malaka?
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
Sepenggal Kisah Cinta Soekarno di Bengkulu
Deretan Rumah Gadang Tua di Padang Ranah
Deretan Rumah Gadang Tua di Padang Ranah
Menelusuri Keunikan Kota Tambang Sawahlunto
Menelusuri Keunikan Kota Tambang Sawahlunto