PAGI yang dingin. Saya terbangun oleh pekik suara binatang yang terdengar seperti orkestra dari rimba. Serasa sedang bermimpi. Saya tidur dalam kamar berdinding papan. Buka jendela, matahari belum terang, suara-suara itu muncul dari balik pohon-pohon dari hutan gelap di belakang. Baru sadar saya ada di mana: di tengah hutan Supayang. Tempat rehabilitasi siamang dan owa.
Tempat ini dikelola Kalaweit Indonesia, sebuah lembaga konservasi untuk siamang dan owa di Nagarai Supayang, Kecamatan Payung Sakaki, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Saya bergegas mandi dan bergabung dengan staf Kalaweit sarapan pagi.
Saya ke gudang logistik karena ingin ikut penjaga memberi makan primata. Di gudang logistik, lima orang penjaga satwa berseragam oranye sedang mempersiapkan bermacam buah-buahan. Pepaya dan timun di antaranya, dipotong besar-besar tapi dibiarkan berkulit. Lalu memasukkannya ke dalam keranjang plastik bersama pisang.
Kelihatannya segar sekali. Kalau tidak malu itu untuk makanan satwa, ingin sekali saya ambil satu piring untuk tambahan sarapan pagi.
Saya bergegas mengikuti staf Kalaweit yang membawa keranjang buah ke kandang owa dan siamang yang tersebar di tengah rapatnya pepohonan. Di balik pohon terdapat sebuah kandang yang tinggi terbuat dari baja ringan dan kawat seluas 6 x 6 meter. Di sana sudah menunggu siamang yang mulai lapar. Suaranya begitu gaduh, bahkan mengguncang-guncang kandangnya seolah ingin mengintimidasi.
Kedua siamang berbulu hitam menjauh dan melompat ke ban mobil bekas yang digantungkan sebagai ayunan di dalam kandang, saat petugas mendekat memasukkan sarapannya ke dalam panci yang tergantung di depan kandang. Masing-masing mendapat 10 pisang, sepotong besar pepaya, dan mentimun.
Begitu sarapan buah segar terhidang dengan cepat tangan mereka yang panjang menyambarnya dari balik jeruji dan kembali memanjat dan bergayut di tali karet ban di bagian paling tinggi sambil menikmati buah. Di kandang lainnya ada seekor siamang besar yang belum punya pasangan.
Terlihat masih jinak dan mendekat saat diberi makan dibalik jeruji kandangnya yang rapat. Tak disangka, saat saya melewatinya, tangannya yang panjang melalui jeruji yang longgar di lantai kandang menyambar ujung baju saya sehingga saya tak bisa bergerak. Harus bersusah payah saya melepaskan diri dari siamang yang usil itu.
Kandang-kandang primata sengaja dibangun terpisah dan masing-masing terlindung oleh pepohonan agar tidak berinteraksi dengan siamang atau owa lain.
Karena di alam mereka hidup dalam satu keluarga kecil, induk dan anak yang punya daerah teritori sekitar 20 hektare. Jadi di tempat rehabilitasi juga diusahakan terpisah, masing-masing pasangan dalam satu kandang. Siamang yang belum mendapat pasangan juga dipisah dalam satu kandang.
Di kandang lainnya, sepasang owa terlihat tak kalah agresifnya saat akan diberi makan. Perawakan owa lebih kecil dari siamang dengan alis yang agak putih. Kedua primata ini sama-sama berwarna hitam dan tidak berekor.
200 TANDAN PISANG
Dengan lingkungan yang nyaman dan makanan yang selalu terjaga, sebagian besar satwa terlihat sehat dan bugar.
Dalam seminggu, primata-primata di tempat rehabilitasi ini menghabiskan 200 tandan pisang, 100 kilogram papaya, 100 kilogram wortel, 200 kilogram semangka, dan 100 kilogram nanas. Ditambah sumber protein seperti daging ayam, telur rebus, dan susu.
Di sebelah klinik hewan, ada kandang pemeliharaan untuk siamang dan owa yang lebih kecil. Dalam sebuah kandang, tiga ekor owa berusia dua tahunan berayun dan terlihat seperti boneka yang menggemaskan. Satu berwarna hitam seekor bilou Mentawai dan dua lainnya berbulu coklat muda.
Sementara, seekor siamang kecil masih tidur dalam boks hangat di dalam klinik. Khusus untuk owa dan siamang bayi ini dipelihara dokter hewan.
“Seperti merawat bayi, diberi susu, dan yang sudah agak besar diberi buah,” kata Rina Iswati, dokter hewan Kalawet yang merawat keempat primata kecil itu.
Sarapan untuk anak-anak primata ini dimulai dengan pemberian empat karton kecil susu. Untuk tiga owa dalam kandang, susu langsung dituang ke panci dan dengan tangkas langsung diambil dengan menggunakan tangan oleh ketiga owa. Lalu dilanjutkan dengan memakan buah-buahan.
Setiap melihat anak owa dan siamang yang diserahkan, Rina dirisaukan nasib induknya.
“Anaknya menggemaskan seperti ini, tapi bagaimana nasib induknya, pasti sudah dibunuh,” kata Rina.
Primata yang diterima Kalaweit sebagian besar dari sitaan dan lainnya dari serahan masyarakat kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang dititipkan ke Kalaweit untuk persiapan diliarkan dan dikembalikan ke habitatnya. Siamang dan owa ini biasanya adalah hewan peliharaan sedari kecil, sehingga sudah terbiasa dengan kehidupan manusia.
Bahkan makanannya juga sudah seperti manusia, biasa diberi roti. Mereka hewan peliharaan sejak kecil, dan saat mulai remaja, primata ini mulai agresif, bisa mencakar atau menggigit, saat itulah pemiliknya mulai kewalahan dan menyerahkannya kepada BKSDA.
Satwa baru yang masuk ke Kalaweit langsung dibiasakan memakan buah dan pucuk daun, seperti makanan pada habitat aslinya. Satwa yang dewasa mulai dicarikan pasangan yang cocok.
Siamang dan owa yang telah mendapat pasangan yang cocok akan ditempatkan dalam satu kandang. Bahkan kini ada tiga pasangan owa dan enam pasangan siamang yang merawat anaknya dalam kandang.
Sebelum dilepasliarkan, para satwa ini harus dicarikan pasangan, karena di alam mereka nanti tidak percaya diri untuk mencari pasangannya. Siamang dan owa bersifat monogami.
DIDIRIKAN CHANEE
Menjelang petang hari saya jalan-jalan di hutan Supayang di belakang kantor Kalaweit bersama manajer Kalaweit Asferi Ardiayanto dan Andre Agusman, staf observasi hewan.
Tetapi karena sudah waktu istirahat bagi primata, saya hanya sebentar melihat siamang dan owa di kandang terdekat, tak ingin mengganggu kenyamanan mereka.
“Saat ini mereka istirahat, groming atau membersihkan diri, lalu tidur, besok jam 5 pagi bangun lagi,” kata Andre.
Memang tak terdengar lagi suara lengkingan dan owa yang tadi terdengar ramai.
Kami meninggalkan lokasi rehabilitasi dan mendaki jalan di puncak tertinggi yang banyak ditumbuhi tanaman langka kantong semar. Dari atas ketinggian itu terlihat hutan supayang yang hijau serta Gunung Talang.
Yayasan Kalaweit Indonesia, kata Asferi, didirikan oleh warga negara Perancis Aurelien Brulle atau biasa dipanggil Chanee di Kalimantan Tengah pada 1998. Ia mendirikan tempat rehabilitasi owa di Muara Teweh, Kalimantan Tengah atau Konservasi Center of the Gibbon. Chanee yang menjadi Direktur Yayasan Kalaweit Indonesia kini menjadi warga negara Indonesia.
Pada 2003 didirikan tempat rehabilitasi siamang dan owa di Sumatera yang berpusat di Sumatera Barat di bawah pengelolaan Asferi. Awalnya di Pulau Marak di Pesisir Selatan dan pada 2011 pindah ke Supayang di Kabupaten Solok.
Sebagian hutan Supayang yang menghijau kini menjadi milik Kalaweit untuk kawasan konservasi seluas 208,4 hektare. Awalnya Kalaweit hanya punya lahan 6 hektare untuk tempat rehabilitasi. Tetapi masyarakat sekitar yang menjadi pemilik hutan meminta Kalaweit membelinya, karena selama ini hanya mereka manfaatkan untuk mencari kayu bakar dan tempat berburu babi.
BERUANG HOBI BERCANDA
“Awalnya ide saya agar Kalaweit membeli hutan ditolak Chanee sampai empat kali, katanya mimpi kamu mau beli lahan lagi, tapi saya katakan, di hutan itu dari dalam 10 x 10 meter persegi terdapat 50 batang pohon, kalau berhasil mendapatkan 200 hektare berarti Kalaweit sudah menyelamatkan 1 juta pohon beserta satwanya,” kata Asferi.
Akhirnya Chanee setuju dan mengajukan proposal ke donor untuk program penyelamatan hutan dengan membeli hutan di sekeliling Kalawet.
Tak disangka, ternyata banyak donator yang bersedia menyumbang untuk tambahan pembelian lahan untuk konservasi.
Pada 2013 akhirnya Kalaweit punya 208,4 hektare hutan di Supayang yang berbatasan dengan anak sungai. Di areal 8 hektare untuk tempat rehabilitasi Kalaweit memiliki 10 kandang karantina, 55 kandang rehabilitasi, pos untuk staf, dan klinik hewan.
Kami kembali ke posko dan sebelumnya, saya diajak melihat beruang. Ada 4 ekor beruang madu dalam kandang yang luas dari beton setinggi 1,5 meter. Di dalamnya sebenarnya banyak pohon, tetapi sudah mati karena habis dicakar dan ditumbangkan keempat beruang madu di dalamnya. Untuk melihatnya saya naik ke tunggul pohon dan melihat ke dalam.
Tak disangka, di depan saya hanya berjarak dua meter seekor beruang dewasa juga sedang menatap saya yang langsung membuat saya terkejut dan mundur. Takut beruangnya melompat atau mencakar.
“Tenang, beruangnya memang hobi bercanda, lagi pula pagarnya ada kawat listrik, jadi mereka tidak berani lebih dekat,” kata Andre.
Di atas pagar memang terlihat kawat yang dialiri listrik tenaga surya. Tetapi listrik itu tidak mematikan, hanya membuat yang menyentuhnya kaget atau terjengkang ke belakang.
Walaupun fokus pada rehabilitasi siamang dan owa, namun satwa lain juga seperti beruang madu serta lutung dan monyet juga ditampung karena dititipkan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Begitu juga semua Siamang dan Owa yang ada di sini adalah titipan BKSDA. Suatu saat, mereka akan dilepasliarkan ke hutan.
Primata ini memang terancam kelestraiannya. Saat ini habitat siamang dan owa menurun sangat drastis, karena pembukaan lahan hutan, kebakaran dan juga perburuan untuk peliharaan. Diyakini dalam 20 tahun terakhir hanya tersisa 40 persen siamang di alam, jika tidak diambil langkah perlindungan.
Kami kembali ke posko yang sudah diterangi lampu dari listik tenaga diesel. Malam cepat datang karena listrik hanya sebentar dinyalakan. (Febrianti/ JurnalisTravel.com)
Tulisan dan foto-foto ini adalah hak milik JurnalisTravel.com dan dilarang mengambil atau menyalin-tempel di situs lainnya atau keperluan publikasi cetak di media lain tanpa izin. Jika Anda berminat pada tulisan dan foto bisa menghubungi redaksi@jurnalistravel.com untuk keterangan lebih lanjut. Kami sangat berterima kasih jika Anda menyukai tulisan dan foto untuk diketahui orang lain dengan menyebarkan tautan (link) ke situs ini. Kutipan paling banyak dua paragraf untuk pengantar tautan kami perbolehkan. (REDAKSI)