ORANG Mentawai yang tinggal di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat terkenal sebagai satu dari tiga suku bangsa di Indonesia yang memiliki budaya menato tubuh. Dua lainnya adalah Dayak di Kalimantan dan Suku Moi di Papua Barat.
Saat ini tradisi menato tubuh di Mentawai yang disebut “titi” hanya tinggal di Pulau Siberut. Sedangkan di tiga pulau besar lainnya, seperti Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan sudah lama hilang. Penyebab hilang adalah pemberangusan oleh pemerintah seiring dengan masuknya agama modern.
Di sejumlah kampung di Siberut pedalaman, seni menato tubuh sudah mulai berkurang. Hal yang sama juga terjadi pada orang-orang yang mahir menato atau yang disebut “sipatiti”. Hanya sedikit orang berusia di bawah 40 tahun saat ini yang masih menato tubuh.
Meski sejak Era Reformasi tidak ada lagi pelarangan tubuh bertato di Mentawai, namun banyak orang Mentawai tak mau lagi di tato. Selain merasa akan menyulitkan bergaul dengan masyarakat luar, juga karena ditato itu sakitnya minta ampun.
Pada Festival Pesona Mentawai 2016 yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Mentawai dan didukung Kementerian Pariwisata pada 20 April di Mapadeggat, Tuapejat, Pulau Sipora ditampilkan proses penatoan tradisional Mentawai.
Josep Teuki Ogok Salakirat, 60 tahun, seorang sikerei dari Buttui, Siberut Selatan yang juga ahli menato memperagakan keahliannya. Dibantu anaknya, Lauklauk Manai Salakirat, ia menato dua pria dan seorang wanita Mentawai yang mau dijadikan “kelinci percobaan”.